Tiga hari berlalu setelah kematian Silia. Maya meminta izin untuk kembali ke apartemen tempat Silia tinggal. Ia hanya ingin menatap sisa-sisa kehidupan Silia sebelum ditemukan bunuh diriĀ atau hanya untuk menghirup aroma tubuh Silia di sana. Namun, ia juga bingung harus bagaimana ke depannya nanti karena selama ini hanya Silia yang menjadi tujuannya untuk pulang. Silia satu-satunya harapan yang ia punya. Gadis itu adalah hal terakhir yang ia miliki setelah orangtuanya lebih dulu menghadap Sang Khalik.
Andai saja Bibi tidak memisahkan aku dan Silia mungkin sekarang aku dapat memeluknya, melihat senyum manis bibirnya, atau mendengar keluh kesahnya, hati Maya berbisik pelan membuat si empunya harus meneteskan air mata. Tetapi untuk apa meratapi semuanya walaupun, ia berteriak dengan kencang memanggil Silia. Gadis itu tidak akan pernah kembali hidup, tidak akan ada yang terjadi. Menyesal hanya akan membuat hatinya semakin sakit dan pilihan terakhir adalah ikhlas.
Setidaknya Ayah dan Ibu ada untukku, hatinya kembali berbisik untuk menguatkan si pemilik.
Setelah menempuh perjalan selama 3 jam, akhirnya Maya sampai di halaman depan apartemen. Ia segera melangkah masuk menuju tower rubi dan menaiki lift untuk sampai di lantai tiga. Saat menaiki lift, ia tidak sendiri, ada dua orang wanita yang sebaya dengannya membawa beberapa plastik makanan.
"Mau ke lantai berapa, Mbak?" tanya salah satunya menatap Maya.
"Lantai tiga," jawab Maya dengan mengangguk.
"Oh samaan. Mbak tetangga baru, ya? Soalnya saya belum pernah lihat," tanyanya lagi.
Maya menyunggingkan senyuman kecil sebagai jawaban, ia tidak suka banyak bicara dengan orang asing.
"Sekarang lantai tiga jadi serem, Mbak. Sejak ada yang bunuh diri, katanya arwah dia suka gentayangan gitu. Padahal orangnya cantik dan ramah, sayang gara-gara cinta jadi bunuh diri. Mbak, hati-hati deh, nanti didatangin," cerocos salah satunya seraya menampilkan wajah ngeri.
"Hush!" sambar temannya melotot.
"Ekhm." Maya berdeham pelan berusaha menenggelamkan rasa sesak yang tiba-tiba menyerbu dadanya ketika mendengar wanita di sampingnya bercerita soal kematian Silia.
"Mbak, tinggal di nomor berapa? Mungkin kami bisa mampir," tanya wanita yang pertama menyapanya.
Tiba-tiba lift berdenting dengan pintu terbuka, mereka telah sampai di lantai tiga. Maya menatap keduanya dengan senyuman manis seraya berkata dengan jelas, "Saya Maya, Kakaknya Silia yang meninggal di kamar duapuluh empat."
Keduanya terlihat syok dengan mata melebar dan mulut menganga.