Di balik jendela ruangan oliv, tampak seorang pria dengan kemeja kotak-kotak tengah berdiri menatap keluar. Pria itu sedang memikirkan sesuatu yang berat, sesekali napasnya terhembus panjang menciptakan uap kecil. Lengan kanannya terlihat bersembunyi di balik saku celana, menggenggam sebuah kunci. Pria itu kemudian melangkah menuju ranjang, menyentuh pundak seorang gadis yang masih terlelap.
“May,” panggilnya pelan.
Tidak mendapatkan respon dari gadis tersebut, ia kembali melangkah ke dekat jendela yang jaraknya hanya satu meter dari ranjang. Rasa takut muncul ketika ia berusaha membuat gadis itu bangun, tetapi hal yang ada di benaknya sudah harus diutarakan pada gadis itu.
Maya membuka kedua matanya ketika merasakan sentuhan di pundak. Ia menatap sekitar seraya mengucek mata.
“Ayah tidak tidur?” tanyanya menatap punggung Pak Rama yang berdiri di dekat jendela.
“Ada yang mau Ayah bicarakan dengan Maya, tetapi tidak di sini,” sahut Pak Rama tanpa menjawab pertanyaan dari Maya, “kita bicara di bawah sambil sarapan.”
Mendengar ucapan ayahnya, tentu membuat jantung Maya tiba-tiba berdegup kencang. Jika memang ada yang harus dibicarakan biasanya Sang Ayah langsung bicara tanpa embel-embel seperti tadi.
“Apa ada hal serius, Yah?” tanya Maya masih menatap ayahnya.
Kali ini Pak Rama menoleh, “Tidak terlalu serius, tetapi cukup penting.”
“Yasudah Maya ke air dulu,” sahutnya langsung berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.
Beberapa menit selanjutnya, Maya dan Pak Rama terlihat sedang duduk di salah satu meja restoran yang berada di seberang rumah sakit. Dua piring nasi goreng tersaji di hadapan keduanya, lengkap dengan kopi hitam untuk Pak Rama dan segelas air putih untuk Maya.
“Jadi, Ayah ingin Maya menjalankan kafe di Bandung?” tanya Maya seraya mengaduk nasi goreng dihadapannya.
“Sebenarnya Ayah tidak mau merepotkan Maya. Kamu bebas bekerja di mana saja sesuai keinginanmu, tapi kamu tahu, ‘kan? Ayah membangun bisnis ini dari nol.” Pak Rama menggeleng pelan, ia menyesap kopinya.
“Maya setuju ko, Yah!” seru Maya dengan antusias setelah diam beberapa detik.
“Kamu nyakin, May?” Pak Rama menatap Maya dengan serius.
“Ayah tinggal jelaskan tugas Maya seperti apa. Terus kapan Maya ke Bandung?”
“Secepatnya karena kafe itu sementara Ayah tutup dulu.”
Maya mengangguk dengan seulas senyuman, “Bagaimana kalau Maya ke Bandung besok? Izin Ibu dulu.”
“Jika keadaan Ibu sudah baik, Maya bisa bebas tugas.”
“Oke,” sahut Maya setuju.
Pak Rama mulai bernapas lega, Maya memang putri yang dapat ia andalkan tanpa perlu perdebatan panjang lebar.
Selepas sarapan keduanya kembali menuju rumah sakit untuk melihat kondisi Ibu Lia. Wanita paruh baya itu terlihat sedang sibuk mengobrol dengan seorang suster yang kebetulan mendapat tugas untuk mengecek kondisi Ibu Lia setiap empat jam sekali.
“Terima kasih, Suster,” ucap Bu Lia dengan senyuman ramah ketika suster itu selesai mengecek tubuhnya.
“Sama-sama, Ibu Lia. Semoga lekas sembuh, saya permisi.”
Maya melangkah ke dekat Ibunya dan duduk di kursi dekat ranjang.
“Ibu kira kamu pulang, Sayang,” ucap Bu Lia menyentuh pipi Maya.
“Maaf, Bu, Maya tadi sarapan dengan Ayah. Sekalian Maya mau minta izin sama Ibu untuk ikut mengurus bisnis Ayah di Bandung. Ibu setuju, ‘kan?”
“Memangnya kamu tidak keberatan, May?”
“Maya senang bisa bantu Ayah dan Ibu. Lagipula, setelah lulus kuliah Maya belum punya pekerjaan.”
“Kalau begitu, Ibu izinkan kamu pergi, tapi kamu harus sering-sering kabarin Ibu.”
“Tentu, Bu. Maya pasti kabarin Ibu setiap saat. Sekarang, Ibu istirahat biar cepat pulih.”
Senyum Bu Lia merekah mendengar ucapan putrinya, tanpa ada bantahan ia segera terlelap kembali.
×××
Esok harinya sesuai rencana, Maya kembali ke Bandung diantar Pak Rama sekalian untuk melihat kafe yang akan dikelolanya. Sepanjang perjalanan Maya tertunduk menatap deretan huruf yang tercetak di atas kertas, disatukan menjadi semacam makalah. Isinya berupa tugas-tugas yang harus Maya kerjakan saat bekerja di Froz Kafe dan semua datayang ia perlukan, mulai dari laporan keuangan harian, bulanan, gaji pegawai, statistik kunjungan, dan beberapa keterangan lainnya yang Maya butuhkan sebagai pengelola kafe yang baru.
“Jika tidak mengerti, Maya bisa telpon Ayah,” ujar Pak Rama sesekali menengok Maya.
“Siap, Yah, tapi Maya rasa di sini semuanya sudah cukup jelas.”
“Nah, ini kita sudah sampai.”
Pak Rama menghentikan mobilnya di depan sebuah kafe yang berada di sudut ruko. Kafe tersebut tampak sederhana dengan furnitur kayu dan hiasan bunga anggrek.
“Ayo, turun!” ajak Pak Rama lebih dulu keluar dari mobil diikuti Maya.
“Ada satu kamar di lantai dua, tempatnya cukup luas, tapi jika Maya tidak suka bisa Ayah carikan apartemen di sekitar sini.”
“Nggak usah, Yah.Maya tinggal di sini saja.” Maya segera menyahut menatap Ayahnya.
“Beneran?” Pak Rama memastikan.
Maya mengangguk dengan yakin, “Iya, serius.”
“Kamu baik-baik, ya, May. Ayah harus kembali ke rumah sakit jaga Ibumu.”
“Salam buat Ibu dari Maya.”
“Pasti Ayah sampaikan.”
“Ayah hati-hati,” ucap Maya seraya mencium punggung lengan Ayahnya.
Pak Rama kembali masuk ke dalam mobil untuk segera kembali menuju Ibu Kota, menemani Bu Lia yang masih membutuhkan perawatan insentif. Sementara Maya, setelah melihat mobil Ayahnya berlalu ia segera masuk ke dalam kafe.
Dilihatnya setiap sudut kafe yang terawat dengan baik. Aksennya pun terlihat memanjakan mata. Deretan kata motivasi yang menghiasi dinding, meja dan kursi yang tertata dengan rapi, serta warna tosca dan putih yang digunakan cukup membuat kafe terkesan penuh semangat.
“Halo,” sapa seseorang masuk begitu saja ke dalam Kafe.
“Hai,” sahut Maya setelah berbalik dan mendapati seorang wanita berdiri di belakang tubuhnya dengan sweater merah.
“Kamu siapa?” tanyanya heran.
Maya segera mengulurkan tangannya, “Saya Maya.”
“Oh iya… Saya Riri karyawan di sini, tadi Pak Rama sudah telepon saya. Beliau meminta saya datang ke sini.”
“Saya sudah baca data karyawan tadi,” Maya menatap ke belakang tubuh Riri, “yang lainnya di mana?”
“Oh, sisanya belum ada intruksi untuk masuk, Mbak. Baru saya saja.”
“Panggil Maya saja, Ri.”
“Nggak enaklah, Mbak, tidak sopan,” sahutnya sembari nyengir kuda.
“Yasudah tidak apa-apa. Saya minta tolong, besok kamu hubungi yang lain untuk segera kembali bekerja lagi. Jadwalnya kamu atur saja.”
“Baik, Mbak. Ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Sudah terima kasih, saya mau pergi dulu.”