A Thousand Lights

Desi Ra
Chapter #5

#Tembok Pertama

“Wah, Mas Harij beneran lucu. Jago kick boxing, tapi takut balon, hahaha …” Maya tampak tertawa puas ketika mendengar pengakuan Harij soal fobianya terhadap balon walaupun, ia sendiri adalah seorang yang bisa dibilang ‘laki’.

           “Saya bukan takut, tapi ngeri lihatnya,” sahut Harij mencoba membela diri.

           “Beneran, lho, nggak kebayang. Pas Mas Harij lagi latihan gitu, udah keringetan banyak, ototnya udah keluar semua terus ada balon pecah … hahaha, kayaknya bakalan lari kocar-kacir,” Maya kembali mengeluarkan tawanya sembari menepuk-nepuk bahu Harij.

           Harij terdiam menatap wanita dihadapannya. Ia merasa perasaannya kembali hangat ketika melihat tawa Maya menyatu dengan udara. Terlintas sebuah wajah yang begitu ia rindukan selama ini. Wajah mantan kekasihnya yang sekarang hilang entah ke mana. Mereka terlihat sama bahkan, cara mereka tertawa begitu mirip.

           Di mana kamu, Sil, hati Harij berbisik pilu.

           “Maaf, Mas, aduh … udah lama saya nggak ketawa seperti ini. Sejak adik saya …” Maya menghentikan ucapannya seraya menatap wajah Harij.

           “Kenapa?” tanya Harij heran.

           “Um.. Nggak apa-apa, ko,” Maya menggeleng pelan dengan senyuman tipis, “oh, iya, sebagai ucapan terima kasih, bagaimana kalau nanti malam saya ajak Mas Harij pergi makan?”

           “Saya nggak bisa, May. Udah ada janji.” Harij menyahut dengan sesal.

           “Oh gitu, yaudah lain kali aja, Mas. Itu juga kalau kita ketemu lagi.”

           “Kalau minggu depan kamu balik ke sini, pasti kita ketemu lagi.”

           “Yasudah, berhubung sudah siang. Saya pamit pulang duluan, sekali lagi terima kasih.” Maya berucap dengan wajah dibuat cemburut, ia segera bangkit dan mulai berbalik untuk segera pergi.

           “May, sebentar!” panggil Harij menahan kepergian Maya.

           Senyum Maya mengembang dengan penuh kemenangan. Ternyata aksinya berhasil juga, sesuai dengan apa yang ia bayangkan sebelumnya.

           “Iya, kenapa?” Maya berbalik dan menatap Harij dengan menaikan satu halisnya.

           “Bagaimana kalau kita makan di Eat Boss? Tempatnya nggak jauh dari sini. Kalau kamu mau saya tunggu jam tujuh malam nanti.”

           Maya mengangguk, “Oke, saya pasti datang.”

           “Jangan telat,” ucap Harij mengingatkan Maya.

           “Bye!” Maya melambaikan tangannya dan berlalu pergi menuju arah timur sport center.

 Sepanjang perjalanan menuju parkiran, Maya menatap setiap gadis yang berada di sekitaran sport center. Ia berharap Riri tidak meninggalkannya sendirian.

“Mbak!” teriakan itu tiba-tiba terdengar dari arah tukang sate, “sini!” Seorang gadis melambai padanya.

Tanpa banyak berpikir, Maya segera menghampiri gadis tersebut, yang ternyata Riri.

“Gimana, Mbak? Sukses?” tanya Riri seraya menyodorkan sate yang dipegangnya.

“Gimana, ya, Ri,” jawab Maya dengan hembusan nafas panjang.

“Nggak apa-apa. Kita coba dengan cara lain,” sahut Riri mencoba meyakinkan Maya.

“Cara lain apa?”

“Tak ada perahu, rakit pun jadi,” seru Riri begitu antusias.

“Yang benar itu, tak ada rotan, akar pun jadi.”

Lihat selengkapnya