A Thousand Lights

Desi Ra
Chapter #6

#Tembok Kedua

Suasana pagi di Froz Kafe belum terlalu ramai pengunjung. Hanya aktivitas karyawan yang terlihat sedang sibuk membersihkan meja dan menata kursi. Begitupun, Maya dan Riri yang sedang duduk di depan sebuah laptop, membaca biodata milik Pounda Risma Sari. Wanita kemarin yang sempat melabraknya ketika sedang bertemu Harij.

           “Aku rasa dia arogan, Ri. Kemarin pun aku sempat takut melihat wajah garangnya,” komentar Maya sembari menekan tombol panah bawah, menatap deretan foto Pounda.

           “Tenang aja, Mbak, aku bakal beresin ini semua,” sahut Riri mengarahkan kursor pada tombol close.

           “Kamu atur, deh, Ri, saya mau ke atas.”

           “Laksanakan, Kapten!” seru Riri menampilkan senyum manisnya.

           Melihat suasana kafe yang masih sepi, Maya memutuskan untuk kembali ke kamar. Tempat satu-satunya yang dapat membuat hati Maya tentram, terutama ketika mendaratkan tubuh di atas kasur dan memeluk boneka pisang kesayangannya. Dunia terasa jauh di belakang sana.

           Beberapa menit berlalu, terdengar  panggilan  Riri di depan kamarnya dengan suara pelan, “Mbak…”

           Belum sempat Maya merasakan kedaiaman itu, tiba-tiba Riri sudah mengganggunya. Dengan terpaksa, Maya kembali turun dari kasur dan menghampiri pintu.

           “Ada apa, Ri?” sahut Maya setelah membuka pintu.

           “Maaf, Mbak, ada yang nyari di bawah,” jelas Riri dengan wajah pasrah.

           “Siapa?”

           “Namanya Raihan.”

           “God!” pekik Maya buru-buru menutup pintu kamar dan berganti pakaian dengan jeans dan hoodie merah, yang semula berpakaian formal dengan kemeja dan rok span.

           “Di mana dia sekarang?” teriak Maya seraya mengikat rambutnya asal dan menghapus make up di wajahnya.

           “Aku suruh tunggu di bawah.” Riri menyahut setengah berteriak.

           Maya buru-buru keluar dari kamar dengan gaya yang terlihat sederhana, sama seperti saat pertama berjumpa dengan Riri.

           “Kenapa, Mbak?” tanya Riri heran melihat Maya yang begitu panik.

           “Ayo turun!” ajak Maya menarik lengan Riri ke bawah.

           Seorang pria dengan kemeja biru terlihat tengah duduk sembari menikmati secangkir kopi yang dihidangkan oleh salah satu karyawan.

           “Mas Raihan,” sapa Maya dan duduk di depan pria berkacamata bundar tersebut.

           “Assalamualaikum, Apa kabar, May?” sahut pria tersebut menatap Maya dengan senyuman lebar.

           “Mas Raihan, kenapa tahu Maya di sini?”

           “Pak Rama yang kasih tahu, Maya sehat-sehat saja ‘kan?”

           “Sudah Maya duga pasti Ayah yang kasih tahu. Mas Raihan kebetulan mampir? Ada acara tamasya di sekolah atau perjalanan dinas?” Maya menatap wajah Raihan, menunggu jawaban yang ia harapankan bahwa, pria itu hanya datang untuk perjalanan dinas.

           “Mas berniat untuk pindah ke Bandung supaya bisa melihat keadaan Maya,” jawab Raihan dengan halus.

           “Mas serius?!” tanya Maya dengan memekik.

           “Kenapa? Maya keberatan?” tanya Raihan menatap Maya bingung.

           “Oh, nggak, Mas, tetapi hari ini Maya lagi banyak pekerjaan. Mungkin Mas bisa ke sini besok atau besoknya atau minggu depan. Maaf sekali,” sesal Maya dengan mimik sedih.

           Raihan tersenyum menatap tingkah Maya yang tidak pernah berubah, “Tidak apa-apa, May. Mas akan mampir lain waktu.”

           “Ide bagus, Mas!” serobot Maya menjentikan jarinya, “Oh iya, Mas mau pulang sekarang?”

           Raihan menggeleng dengan senyuman, “Kamu selalu bisa mengusir dengan halus. Yasudah, Mas pulang dulu. Kamu hati-hati dan jaga kondisi badan jangan sampai sakit.”

           “Siap, Mas!”

           “Mas bayar dulu, ya,” tunjuknya pada cangkir kopi.

           “Tidak usah! Mas pulang saja, kopi gratis Mas Raihan yang sudah repot mampir ke sini,” sambar Maya menarik lengan Raihan menuju pintu kafe.

           “Assalamualaikum,” ucap Raihan mengelus kepala Maya dan pergi dengan motor matik yang dibawanya.

“Waalaikumsallam," jawab Maya dengan tangan melambai.

 “Siapa, Mbak?” Tiba-tiba Riri muncul di balik punggung Maya.

           “Sekarang, kita harus mempercepat rencana kita. Kita harus segera cari akal untuk bisa bertemu lagi dengan Harij karena jika kita menunggu sampai hari minggu, itu kelamaan,” sahut Maya berjalan menuju salah satu kursi, “apalagi Mas Raihan berencana pindah ke Bandung. Ini gawat, Ri..”

 “Terus kita harus apa, Mbak?” Riri mengikuti dari belakang, “emang Mas Raihan itu siapa?”

 “Mari kita pikirkan!” sahut Maya mengetukan lima jari kanannya di atas meja dengan ekspresi berfikir keras.

Riri terdiam memerhatikan Maya sembari ikut mencari ide.

“Bagaimana kalau kamu pura-pura jadi sales trading?” sahut Maya menatap Riri.

“Sales trading apaan, Mbak?”

           “Itu, Ri, orang yang kerjanya nyari seseorang untuk ikut jual beli saham.” Maya mencoba menjelaskan dengan singkat.

           “Terus aku harus ngapain?”

           “Kamu telepon Harij, tawari dia untuk ikut bermain saham ini. Kamu bisa ajak dia ketemuan di sini. Sisanya aku yang urus, tapi jangan sampai dia kenal kamu, Ri.”

           “Kita mulai kapan, Mbak?”Riri kembali bertanya.

           “Hari ini dong, Babe … buruan!”

           “Laksanakan, Mbak!” seru Riri buru-buru bangkit dan mengeluarkan ponselnya.

           “Kita move ke atas, Ri!” ajak Maya sembari menarik lengan Riri menuju lantai atas.

           “By the way, memangnya kita punya nomor ponsel Harij?” tanya Maya setelah duduk di sofa kamarnya.

           “Aku punya, tapi harus nyari dulu. Bekas Silia yang pernah ikut sms.”

           “Kamu yakin masih ada emang?” tanya Maya menatap Riri yang tengah serius menatap layar ponselnya.

Lihat selengkapnya