Hari-hari berlalu terasa begitu cepat. Siang dan malam silih berganti dengan singkat. Semua yang Maya rencanakan berjalan dengan baik. Sebaik hubungannya dengan Harij sekarang. Harij pun mulai terang-terangan menunjukan rasa sukanya pada Maya. Bahkan tak segan, setiap hari ia datang hanya untuk melihat keadaan Maya.
Hubungan yang mereka jalani sudah melewati garis sebagai teman, mungkin lebih dari itu. Meskipun, Harij sendiri belum mengambil keputusan untuk menjadikan Maya sebagai kekasihnya, tetapi Maya yakin, pria itu akan segera melakukannya. Dan ketika ia melakukannya, Maya akan membuatnya menunggu, sedikit melakukan tarik dan ulur.
“Semuanya terlihat berjalan dengan mulus, bukan?” tanya Maya menatap Riri yang tengah membaca isi pesan Harij.
“Wow, ini terlihat natural, Mbak. Hati-hati ke bawa arus, lho…” sahut Riri mencoba mengingatkan.
“Mana mungkin aku jatuh cinta padanya, Ri, yang benar saja,” komentar Maya dengan setengah senyum.
“Oke, aku percaya pada, Mbak, tetapi aku lihat Harij benar-benar tulus.Aku jadi kasihan.”
“Kasihan?” ulang Maya menatap Riri dengan dahi mengerut.
“Aku harap kita tidak membuat luka yang cukup dalam.” Riri menatap Maya dengan senyuman tipis, ia menyimpan ponsel Maya di samping gelas kopi di hadapannya, lalu menatap sekitar dengan hembusan nafas panjang.
“Jangan-jangan kamu suka padanya?” ucap Maya dengan asal.
“God!” pekik Riri buru-buru menatap Maya, “aku lebih milih terus mengejar cinta Rian, ketimang jatuh cinta dengan Harij.”
Spontan Maya menatap Riri dengan senyuman menggoda. Gadis itu telah salah berkata-kata apalagi di depan Maya. “Rian itu?” tunjuk Maya pada seorang pria yang tengah mengantarkan pesanan pelanggan.
“Bukan!” sargah Riri dengan cepat membuat rona merah di kedua pipihnya timbul.
“Mau aku bantu?” tawar Maya mencondongkan wajahnya ke dekat Riri.
“Masa aku dulu yang PDKT. Malulah!”
“Oh, jadi beneran, Ri? Kamu suka sama dia? God! Kenapa aku nggak sadar selama ini? Pantesan kamu care banget sama dia.”
Riri menarik lengan Maya, menatap wanita itu dengan memohon, “please, Mbak, jangan bocorin rahasia ini. Dia udah punya pacar.”
Maya menatap ponselnya, mengingat kejadian tempo lalu, “Dia udah putus. Baru beberapa hari, sih.”
“Lho, Mbak tahu dari mana?”
“Masa, sih, kamu nggak tahu?”
“Permisi, Bu …” sambung seseorang yang entah kapan menghampiri meja Maya dan Riri, keduanya buru-buru menoleh. Riri tampak syok melihat kedatangan pria tersebut, yang tak lain adalah Rian, “ada yang mencari!” tunjuknya dengan ibu jari, mengarah pada seorang pria dengan kemeja putih.
“Siapa?” tanya Maya menatap punggung lelaki yang ditunjuk Rian.
“Namanya Pak Raihan.”
“Kamu bilang sama dia, saya lagi nggak ada,” sahut Maya seraya menarik buku menu untuk menutupi wajahnya.
“Saya sudah terlanjur bilang, Ibu ada.”
“Rian, se-sejak kapan di situ?” sambung Riri menatap pria yang berdiri di sampingnya.
“Kenapa? Takut ketahuan lagi ngomongin?” Rian menyahut dengan tampang kesal.
Maya kembali menatap pria bernama Raihan itu, yang sedang berdiri membelakanginya. Matanya menatap sekitar untuk memastikan kemana ia harus kabur, alias menjauhi Raihan.
“Ih, bukan gitu, Rian, kita lagi ngomongin soal bisnis,” sahut Riri buru-buru menjelaskan.
“Bisnis apa?”
“Mbak, kita lagi ngomongin bisnis kita ‘kan, Mbak?” Riri menarik lengan Maya, menatap wanita itu dengan memohon, “iya, kan, Mbak?”
Belum sempat Maya menjawab, tiba-tiba seseorang menyela dengan ucapan salam.
“Assalamualaikum.”
Maya menurunkan buku menu yang menutupi wajahnya, lalu menatap si pemilik suara.
“Waalaikumsalam,” sahut Rian dan Riri bersamaan.
“Mas Raihan, ada apa?” tanya Maya dengan tampang polos tanpa menjawab ucapan salam dari Raihan.
“Kebetulan lewat, sekalian mampir. Sudah lama tidak bertemu Maya. Bagaimana kabar, Maya?” tanya Raihan dengan suara lembut.
“Alhamdulillah, Maya baik.”
“Saya permisi kembali ke belakang, Bu?” timpal Rian, menyambung ucapan Maya dan melangkah pergi.
“Mbak …” Riri kembali menarik tangan Maya seraya merengek pelan.
“Jelasih aja nggak apa-apa. Kalau ditahan-tahan nanti makin sakit.”
“Tapi, Mbak …”
“Udah sana, keburu di ambil orang.”
“Aku coba, ya.”
Riri segera beranjak dari kursi, menyusul langkah Rian yang berjalan menuju dapur. Setelah melihat kepergian Riri, Raihan memutuskan untuk duduk di samping Maya.
“Maya sedang tidak sibuk, ‘kan?” tanyanya menatap ke arah Maya.
“Kebetulan lagi istirahat. Mas Raihan, tidak mengajar?”
“Sudah pulang. Kalau hari sabtu cuman mengajar satu kali.”
“Oh.”
Beberapa saat tidak terdengar lagi perbincangan Maya dan Raihan, keduanya tampak membisu.
Ini alasan aku nggak suka sama kamu, bisik Maya dengan hatinya. Ia menatap ke arah Raihan yang sedang tertunduk diam, seperti memikirkan sesuatu.
“Masih ada yang perlu dibicarakan, Mas?” tanya Maya dengan suara malas, kedua matanya mengedar di sekitar kafe dan menangkap sesosok pria dengan kemeja abu tengah berjalan masuk ke dalam kafe.