Setelah kejadian malam itu, Harij mencoba kembali menghubungi Maya, berusaha menjelaskan semua kekacauan yang telah Pounda lakukan. Ia pun meminta jawaban atas apa yang sudah ia pertanyakan sebelumnya, tentang kedekatan mereka selama ini. Tetapi sepertinya Maya masih kesal dengan apa yang terjadi. Terlebih rasa malu yang sudah ia rasakan. Namun, demi apa yang sudah ia rencanakan, akhirnya Maya menerima Harij sebagai kekasihnya.
Hubungan mereka berjalan dengan baik selama satu minggu terakhir. Keduanya selalu tampil romatis dengan perhatian-perhatian yang selalu Harij berikan. Bukan hanya itu, ia pun selalu mengirim buket mawar merah setiap pagi, yang sebelumnya ia pesan dari Toko Florist untuk diantarkan kurir pada Maya.
Sementara di sisi lain ada seseorang yang begitu iri dengan hubungan Maya dan Harij. Seorang wanita cantik yang namanya sudah terkenal di media masa. Model dan juga aktris yang sedang naik daun. Wanita itu adalah Pounda Risma Sari, ia begitu terobsesi dengan Harij, pria yang sudah menjalin pertemanan dengannya selama duapuluh tahun terakhir. Satu-satunya pria yang begitu ia cintai sehingga semua mimpi dan memorinya hanya berisi pria itu.
“Apa?! Sekarang mereka pacaran?” Pounda tampak terkejut dengan informasi yang ia dapatkan dari dua orang pria berpakaian serba hitam, “ini nggak bisa dibiarin! Gue nggak terima. Mana buktinya?!”
Salah satu dari pria berpakaian hitam itu memberikan sebuah amplop coklat pada Pounda, “Ini buktinya, Bos.”
Pounda segera membuka amplop tersebut, di dalamnya terdapat beberapa foto Maya dan Harij yang tampak romantis di dalam Froz Kafe.
“Mincah!” teriak Pounda memanggil asisten pribadinya.
“Di sini, Nyonya,” sahut seseorang mencolek bahu Pounda membuat si empunya menoleh.
“Lu kasih buat mereka!” titahnya seraya menunjuk dengan dagu pada kedua pria di hadapannya, “dan gue nggak mau tahu soal hubungan Harij sama si Maya. Lu urus semuanya! Gue mau lu beresin semua ini!” teriak Pounda dengan wajah merah seraya melempar foto di dalam amplop pada Mincah.
“Beres, Nyonya.” Mincah menyahut sembari mengusap kedua kupingnya yang terasa sakit akibat teriak Pounda.
“Gue mau dia menderita!” teriak Pounda lebih kencang. Ia menghentakan kedua kakinya kesal, lalu pergi.
“Nih, jatah lu berdua!” seru Mincah memberikan amplop coklat yang cukup tebal pada kedua pria itu.
“Oke, terima kasih,” sahut keduanya dan pergi.
×××
Terlihat keramaian menyelimuti Froz Kafe, deretan para pengunjung yang berdiri di balik front desk kafe hanya untuk memesan menu baru yang baru saja di luncurkan, yaitu Froz Mood. Perpaduan ice blend coklat dan yogurt, plus satu ice creammochi gratis. Sebenarnya, Froz Mood sendiri sudah ada dalam menu, tetapi berada dalam posisi terbawah. Padahal di awal pembukaan kafe, Froz Mood adalah menu dengan five star. Setelah banyaknya perkembangan dengan berbagai macam minuman yang hadir, akhirnya menu itu menurun drastis.
Diantara banyaknya deretan para pengunjung, tampak seorang wanita dengan rambut abu-abu berdiri di paling belakang. Fashion yang ia kenakan terlihat mencolok dengan dengan short pants merah dan kemeja polos berwarna orange. Ia pun terlihat membawa tas jinjing berwarna ungu dan beberapa shopping bag.
“Selamat siang, ada yang bisa kamu bantu, Ibu?” sapa Riri dengan senyum ramah ketika pengunjung tersebut berada di hadapannya.
“Saya mau pesan Froz Mood satu, tapi take away, ya, Mbak,” ucap wanita kemeja orange tersebut seraya menatap sekitar.
“Boleh, untuk topping-nya ada marsmellow, bubble, jelly, dan trimit sprinkles,” sahut Riri menunjukan empat gambar topping yang ada pada selembar menu.
Wanita itu menatap sejenak setiap gambar, lalu memutuskan untuk memilih butiran yang berwarna warni, “Trimit sprinkles,” ucapnya kemudian.
“Froz Mood dengan trimit sprinkles, totalnya jadi tiga puluh ribu.” Riri menyahut dengan senyuman lebar.
“Sebentar,” jawab wanita itu, menyimpan semua shopping bag yang dibawanya di dekat tas jinjing yang ia simpan di lantai. Lengannya bergerak untuk membuka resleting.
“Ini, Mbak!” katanya sembari memberikan uang lima puluh ribu.
“Uangnya lima puluh ribu,” sahut Riri menekan tombol entar untuk mencetak nota, “kembaliannya dua puluh ribu berserta nota. Ditunggu sebentar, ya, Bu,” imbuhnya.
Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan wanita di hadapannya, tetapi melihat fashion yang ia kenakan entah kenapa, Riri ingin berkomentar bahwa pakaiannya benar-benar terlihat begitu mencolok mata. Sesekali Riri memerhatikan tingkah wanita tersebut yang kini sedang memegang ponsel dengan layar yang di hadapankan ke arah wajahnya.
“Mbak, mau Froz Mood dua!” seru seseorang membuat Riri menoleh padanya.
Seorang remaja dengan seragam abu-abu yang terlihat menggandeng lengan seorang pria.
“Boleh, mau di minum di sini atau take away?” tanya Riri dengan ramah.
Belum sempat remaja itu mengeluarkan jawaban, tiba-tiba terdengar jeritan kencang dari wanita dengan rambut abu-abu yang tengah menunggu pesanan. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak membuat getaran di lantai, mengingat bobotnya yang lumayan berisi.
“Ada apa, Mbak?” tanya Riri buru-buru menoleh pada wanita tersebut.
“Tikus!” jeritnya dengan gaduh membuat semua yang ada di dalam kafe menatap ke arahnya, “Tikus!”
Semua orang menatap ke sekitar lantai, beberapa ekor tikus putih berkeliaran di sekitar lantai membuat suasana semakin gaduh. Beberapa pengunjung berlarian keluar ketika melihat mahluk pengerat itu berlarian kesana-kemari.
“Tenang, tolong, tenang!” teriak Riri menatap seisi kafe.
Beberapa pegawai laki-laki segera membawa sapu dan toples bekas untuk menangkap tikus yang tiba-tiba berkeliaran.
“Saya nggak jadi beli! Masa ada tikus di tempat makan? Jangan-jangan semua makanannya tidak higienis!” sembur wanita dengan rambut abu-abu itu yang terlihat sangat marah, memancing emosi semua pengunjung.