A Thousand Lights

Desi Ra
Chapter #9

#Froze Kafe 2

Riri memutuskan untuk menginap di kafe atas permintaan Maya. Semalaman penuh keduanya berbicara ke sana kemari, terlebih membahas perkembangan hubungan Maya dan Harij. Tidak sedikit pun Maya membahas permasalahan kafe tadi siang karena melihat kondisi Riri yang tampak enggan untuk membicarakannya lagi. Hingga pukul dua dini hari Riri tampak sudah terlelap dengan memeluk sebuah guling. Sementara Maya masih terjaga, isi kepalanya tak lain adalah masalah yang menimpa kafe hari ini dan cara agar semuanya tertangi dengan baik sebelum ayahnya tahu. Maya tahu Pak Rama tidak akan menghukumnya atas apa yang terjadi, Maya hanya tidak ingin menambah beban lagi untuk ayah angkatnya itu.

           Maya memijat pelan pelipis kirinya yang mulai terasa sakit, ia memutuskan untuk keluar dari kamar menuju kafe untuk membuat kopi, lalu duduk di salah satu kursi seraya mengotak-ngatik ponselnya. Mencari sesuatu yang dapat mengalihkan pikirannya. Apapun itu.

           Dering menyembul di kamar tidur Maya, suara ringing yang berasal dari ponsel milik Riri. Alarm berbunyi tepat di pukul delapan pagi, menandakan matahari sudah naik ke permukaan bumi dan waktunya bangun. Riri yang begitu hafal dengan suara Harrij J segera membuka mata, mencari di mana benda pipih itu berada. Ia menatap ke arah jendela, lalu beralih pada Maya. Seketika kedua matanya melebar menatap wanita itu tidak ada di sampingnya.

           “Mbak!” panggil Riri seraya menatap sekitar.

           Jangan-jangan, hatinya menebak penuh rasa bersalah. Ia segera mematikan alarm ponsel dan bergegas turun ke bawah tanpa mencuci wajah. Kedua lengannya menarik celana tidur biru yang kebesaran dengan wajah panik.

           “Mbak!” panggilnya ulang.

           Riri menatap laptop Maya yang terbuka di atas salah satu meja kafe. Menatap sekitar, ia mencoba membaca artikel yang terpampang di layar laptop. Isinya mengenai kejadian di kafe kemarin, tentang tikus yang tiba-tiba muncul. Berbagai komentar pedas tampak beruntun di bawah artikel tersebut.

           “Ri!” sapa pelan pelan menatap Riri yang sedang serius membaca.

           “Eh, Mbak.” Riri menoleh dengan wajah panik.

           “Kamu udah baca artikelnya? Masalah ini juga sampai di muat di koran.” Maya menunjukan koran pagi yang baru saja ia beli dari minimarket.

           “Terus gimana, Mbak? Aku ngerasa nggak enak jadinya,” sahut Riri menatap Maya.

           “Aku sudah buat klarifikasi tadi pagi, tapi bisa kamu lihat!” Maya menunjukan instagram Froz Kafe yang ia gunakan sebagai tempat untuk klarifikasi.

           “Ya ampun, Mbak, ini kelewatan banget. Masa ada yang ngomong kalau kita pake pesugihan tikus makannya banyak tikus.” Riri mengerutkan dahinya seraya menunjukan salah satu komentar netizen pada Maya.

           “Terlalu sakit untuk aku baca, Ri. Lebih baik kita pikirkan cara untuk kembali bangkit.”

           “Aku setuju, Mbak!” timpal Riri dengan semangat.

           “Oh, tadi aku beli makanan di depan. Kamu sarapan dulu, gih!” Maya menunjukan satu kotak dus makanan di atas meja.

           Riri menarik kursi untuk duduk seraya menatap dus makanan yang Maya berikan, “Terima kasih. Mbak, sudah sarapan?”

           “Sudah, Ri.” Maya menyahut, ikut duduk di samping Riri.

           “Saya makan, ya, Mbak,” ucap Riri segera menyantap sarapan paginya.

           “Iya,” balas Maya menatap Riri sekilas dengan senyuman kecil.

           Sementara menunggu Riri selesai sarapan, Maya memutuskan untuk kembali mencari cara agar nama Froz Kafe kembali bersih dan semua orang kembali percaya.

           Tak berselang lama terdengar ketukan pintu.

           “Aku buka, Mbak!” sahut Riri segera bangkit.

           Maya menarik lengan Riri, memintanya untuk kembali duduk, “Habiskan  dulu sarapamu. Biar saya yang buka,” ucapnya segera menuju pintu.

           “Pagi, Sayang,” ucap seseorang dengan senyuman ramah ketika Maya membuka pintu.

           “Tumben Mas Harij datang pagi-pagi. Yuk, masuk!” ajaknya membuka pintu lebar-lebar.

           Harij mengikuti langkah Maya untuk masuk ke dalam kafe dan duduk bergabung bersama Riri.

           “Sarapan, Pak,” tawar Riri tersenyum malu ketika melihat Harij duduk di sebelahnya.

           “Kalian sudah sarapan? Tadinya saya mau ajak makan ke depan,” sahut Harij menghela nafas, “saya terlambat.”

           “Minum dulu, Mas,” sambung Maya seraya menyuguhkan segelas cappucino.

           “Wih, ternyata kekasih Mas pintar buat kopi,” puji Harij seraya tersenyum lebar.

           “Ini kopi sachet yang Maya beli di minimarket,” timpal Maya kemudian turut duduk.

           “Mas kira asli buatan Maya.”

           “Lha, rasanya kan nggak jauh beda!” sambar Maya.

           “Masih pagi, lho,” sambung Riri menatap keduanya.

           Harij menatap ke arah Riri, “Memangnya kenapa?”

           “Tidak ada.” Riri menggeleng, lalu kembali melanjutkan sarapannya.

           “Jadi, ada apa? Mas tidak berangkat ke kantor hari ini?” timpal Maya menatap Harij.

           “Hari ini tanggal merah, Sayang,” jawab Harij menunjuk pada kalender duduk di atas meja front desk.

           Maya dan Riri menatap ke arah kalender dengan mata menyipit.

           “Aku nggak sadar sekarang hari minggu,” gumam Riri pelan.

           “Hari minggu atau bukan, toh sama saja, Ri,” sahut Maya kembali menatap Harij.

           “Mas nggak pergi olahraga?” Maya kembali bertanya. Sebenarnya pagi ini Maya tidak ingin bertemu Harij walau satu detik. Mood-nya benar-benar berada di level terendah.

Lihat selengkapnya