Semuanya kembali berjalan dengan normal dan sebaik apa yang sudah Maya harapakan. Froz Kafe mendapatkan para pelanggannya lagi, bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Tuhan memang selalu memberikan hadiah istimewanya lewat ujian yang Ia berikan. Maya yakin, orang yang sudah menaruh mahluk pengerat itu mungkin sedang merasakan api emosi yang meluap-luap karena usahanya gagal untuk membuat Froze Kafe jatuh dan terpuruk.
“Kenapa, Mbak? Udah mulai jatuh cinta, ya?” Riri meyenggol lengan Maya pelan, yang tengah duduk di salah satu kursi kafe seraya menatap ke arah pintu masuk.
“Tidak, aku hanya senang kafe kita kembali ramai,” sahut Maya tanpa menoleh.
Riri mengangguk, “Oke, kalau bagaimana kelanjutan hubungan Mbak dan Harij?” bisik Riri menatap sekitar.
“Jatuh cinta itu seperti apa, Ri?” tanya Maya membuat Riri terdiam sejenak, lalu menebak-nebak dalam hati.
“Selalu ingat wajahnya. Entah mau tidur, makan, atau apapun,” jawab Riri terdengar asal, “yang lebih jelas, ketika dekat dengan dia, jantung kita terasa berdebar dengan perasaan terbakar.”
Maya hanya tersenyum simpul.
“Jangan-jangan …” Riri mencoba menerka.
“Jangan-jangan apa?” serobot Maya langsung menatap Riri.
“Tidak ada, hehe,” sahutnya nyenggir ala kuda.
Dari arah pintu, Harij muncul dengan lengan kiri menenteng sebuah tas jinjing kecil berwarna merah muda. Sementara tangan kananya berada di balik punggung menggengam buket mawar merah yang tampak segar nan cantik. Pria itu berjalan menghampiri dua wanita yang tengah duduk mengobrol di salah satu kursi kafe diantara para pengunjung.
“Hai, Sayang,” sapanya menatap salah satu wanita itu dengan senyuman hangat.
Kedua wanita itu menoleh secara bersamaan. Maya menatap kekasihnya, menyambut dengan lengkung bibir yang tampak manis, “Halo.”
“Aku punya kejutan untuk kamu,” ucapnya seraya menunjukan buket mawar merah kehadapan Maya.”
“Ya ampun, terima kasih.” Maya tampak senang menerima buket bunga tersebut. Hatinya semakin melambung tinggi dengan wajah terasa memanas saking bahagianya.
“Aku mana?” sambung Riri menadahkan kedua tangannya sembari menatap Harij dengan senyuman.
“Oh ada, tunggu.” Harij mengodok saku di belakang celananya dan mengeluarkan sebuah kertas, lalu memberikannya pada Riri.
“Voucer makan KFC. Terima kasih, lho,” cengir Riri.
“Udah dapat, tuh. Sana kerja!” titah Maya sembari menggerakan dagunya ke arah dapur kafe.
“Mau nonton sinetron dulu,” rengek Riri dengan manja seraya mengedikan kedua matanya centil.
“Apaan, sih, ini anak,” protes Maya menatap ke arah Riri sebal.