Malam, tepat pukul 07.00.
Riri menatap heran bosnya yang sedari tadi mondar-mandir dengan wajah bingung. Ia tidak bisa melakukan apa-apa selain duduk dan memerhatikan. Jikalau bertanya pun, sudah pasti tidak akan disahutnya, tetapi semakin lama, semakin terasa gatal bibirnya untuk berucap. Akhirnya, Riri memantapkan hati untuk bertanya.
“Ini nggak bisa dibiarin, Ri!” teriak Maya kesal membuat Riri spontan menutup mulutnya, yang baru saja setengah terbuka.
“Gimana ini, Ri …” rengek Maya kemudian, menghempaskan pantatnya ke tepi kasur.
Dengan susah payah, Riri mencoba menelan ludahnya yang terasa meyangkut di ujung tenggorokan, “Ke-”
“Kasih aku pencerahan, Ri!” sambar Maya menggoyangkan kedua bahu Riri cukup keras, membuat si empunya oleng.
Riri menghembuskan napasnya kasar, “Aduh! Stop!” teriaknya sembari menggoyangkan tubuh untuk terlepas dari cengkraman Maya, “Kenapa, sih?!” tanyanya heran sekaligus kesal.
Seketika Maya melepaskan kedua tangannya dari Riri dan membantingkan punggung ke kasur, terlentang menatap lurus plafon kamar yang dihiasi bintang-bintang, “Kita harus buat rencana selanjutnya untuk segera menghancurkan Harij. Aku takut … aku nggak mau jatuh semakin dalam.”
“Wait!” Riri memekik seraya menoleh kearah Maya dengan wajah syok, “Mbak, beneran jatuh cinta sama dia?” imbuhnya dengan mata melebar.
“Aku nggak tahu, Ri. Semuanya sama seperti apa yang kamu bilang. Wajahnya benar-benar kaya hantu, yang datang tiba-tiba,” keluh Maya sembari merengek.
“Kita kembali ke rencana awal. Mbak harus tinggalin dia ketika acara lamaran,” sahut Riri kembali mengingat-ngingat rencanya dengan Maya.
“Kamu benar, Ri, tapi gimana?”
“Mbak harus ingat tentang kematian Silia. Rasa yang sekarang tumbuh di dalam hati, Mbak, nggak boleh merubah semuanya. Bukankah Silia satu-satunya harapan, Mbak, dulu?”
Mendengar perkataan Riri, mengingat kejadian beberapa bulan lalu, hati Maya kembali mengeras. Rasa sakit itu kembali menjalar di dalam hatinya, membuat dadanya sesak bercampur perih.
“Iya aku tahu! Kamu tenang saja, aku tidak akan pernah lupa dengan semua yang terjadi pada Silia dan penderitaanya.”
Maya segera bangkit dan meraih ponselnya, ia menghubungi seseorang.
“Mbak, mau telepon siapa?” tanya Riri heran.
“Harij,” jawab Maya dengan singkat.
“Ini nggak kecepetan, Mbak?” Riri menatap Maya dengan seksama.
Belum Maya menjawab pertanyaan yang Riri ajukan, seseorang di sebarang sana sudah menjawab panggilan teleponnya lebih dulu.
“Halo, Sayang. Ko kamu telepon duluan, sih? Aku baru sampe rumah habis lembur.”
Maya menatap Riri dengan ekspresi bingung.
“Halo, May.”
“Halo, Mas,” sahut Maya seraya berjalan menuju jendela.
“Ko, jadi Maya yang telepon, kan Mas yang ada janji.”
“Tidak apa-apa, Maya boleh bertanya sesuatu?”
“Tentu saja.”
Maya menekan jantungnya dengan lengan kanan, sementara lengan kirinya menahan ponsel di telinga kiri. Debaran yang ia rasakan benar-benar membuat konsentrasinya hampir buyar.
“Sayang, halo.”
“Iya, halo,” sahutnya buru-buru tersadar kembali.
“Jadi, apa yang ingin Maya tanyakan?”