“Semuanya sudah siap, Ri?” tanya Maya menatap ke arah Riri yang tengah menghitung lampion terbang berukuran kecil.
Riri menoleh sekilas dengan anggukan, “Beres.”
“Lima menit lagi kita berangkat. Pastikan tidak ada yang tertinggal,” sahut Maya seraya mengikat rambutnya menjadi satu gunukan di bagian belakang kepala, terikat kuat dengan benda lentur berwarna hitam.
“Aku sudah cek semua, lengkap.”
“Oke, ayo pergi!” ajak Maya menyambar jaket levis di atas ranjang dan menarik satu koper besar.
“Aku tidak sabar melihat reaksi wajahnya,” sahut Riri yang berjalan di belakang Maya menuju mobil.
“Aku pun.” Maya menyambung singkat sebelum masuk ke dalam mobil.
“Mbak, sudah hubungi dia?” tanya Riri setelah duduk di samping Maya.
“Kemarin aku memberitahunya, tidak perlu khawatir,” jawab Maya menatap ke arah Riri dengan senyuman tipis. Ia berusaha menyembunyikan kegugupun yang dirasakannya.
“Ayo, Pak, jalan!” Riri menepuk bahu seorang pria yang berada di balik kemudi. Seorang supir yang sengaja mereka sewa untuk mengantar keduanya ke sebuah tempat.
Tidak berselang lama, Riri dan Maya sampai di sebuah vila kecil yang berada di dataran tinggi Kabupaten Bandung. Sebuah tempat yang masih asri dengan udara segar dan pohon pinus. Ada banyak alasan kenapa Riri dan Maya memilih tempat tersebut. Selain tempatnya yang strategis untuk acara lamaran, mereka pun dapat melihat terangnya bulan di malam hari. Setidaknya, tempat ini cukup manis untuk dijadikan sebuah kenangan.
Setelah menyimpan koper hitam di salah satu kamar, Maya segera meluncur ke tempat eksekusi bersama Riri tentunya. Mereka berdua membawa dua kotak besar dengan lampion-lampion kecil di dalamnya.
“Kita mulai dari mejanya, Ri,” ucap Maya menunjuk pada meja putih, “kita simpan dekat pohon saja.”
Riri segera menghampiri Maya dan berdiri di sisi seberangnya. Kedua wanita itu mengangkat meja tersebut, memindahkannya dekat pohon. Begitu pun dua kursi yang menjadi pelengkap si meja, di simpan saling berhadapan.
“Aku hias pohonnya, ya, Mbak,” sahut Riri sembari membuka salah satu kotak.
Gadis itu membawa beberapa lampion di saku sweater-nya, lalu naik ke atas tangga besi yang sudah disenderkan pada batang pohon. Dengan hati-hati, lengannya meletakan setiap lampion di dahan kecil.
“Permisi, wahai penghuni pohon,” ucapnya pelan, “Audzubillah Himinas Syaiton Nirojim. Aku Cuma mau nitip ini sebentar.”
Sementara Riri menghias pohon, Maya menata meja dengan vas kaca yang sudah berisi mawar merah. Menyimpan dua buah piring di atasnya, lengkap dengan dua gelas anggur, sendok, garpu, dan pisau. Ia pun menyimpan dua buah lilin kecil berbentuk mawar dengan wangi khasnya.
Selesai dengan meja, Maya turut membantu Riri untuk menghias pohon dengan lampion dan untuk batang besar, ia menggunakan lampu tumblr putih.
“Harusnya yang melakukan semua ini pria. Jika aku bisa berharap, aku ingin Rian melakukan ini untukku,” ucap Riri setengah berteriak.
“Kalau begitu, berharaplah,” sahut Maya seraya turun dari tangga begitu selesai menghias pohon.
“Hanya berharap saja? Sakit, tahu.”
“Kalau begitu, beraksi.” Maya kembali menyahut.
“Kadang berbicara lebih mudah daripada melakukan.”
“Kadang,” sahut Maya mengangkat kedua bahunya seraya menatap ke arah Riri.
“Sudah, Mbak, siap-siap sana!”
“Oke, aku serahkan semuanya padamu,” sahut Maya kemudian, berjalan menuju vila untuk berganti pakaian dan berdandan secantik mungkin.
Waktu berlalu sekitar 60 menit, Maya segera menghampiri Riri yang masih berada di taman. Gadis itu terlihat sedang menikmati malamnya sendirian, menatap rembulan malam yang berseri dengan cahaya putih. Sebenarnya, Maya sangat ingin membantu Riri mendapatkan Rian namun, melihat Rian yang masih meratapi kegalauan hatinya, mana mungkin ia mampu menyatukan mereka. Maya hanya takut, Rian menjadikan Riri sebagai pelampiasannya saja. Maya tidak ingin Riri terluka, sama seperti Silia.
“Hai, Ri,” sapa Maya menyentuh pundak gadis itu. Riri segera menoleh dengan kedua mata melebar, melihat Maya mengenakan gaun putih bertabur mutiara. Wajahnya pun terlihat menawan dengan make up natural dan rambut teergelung rapi.
“Cantik banget, Mbak. Kayaknya ini bakalan jadi kenangan yang istimewa.” Riri mendorong bahu Maya dengan bahunya.
“Kita kan harus buat kesan yang super,” sahut Maya seraya membereskan rambutnya, “Tadi Harij kasih kabar, katanya dia udah sampe. Ngumpet sana, inget, ya, jangan sampai gagal.”
“Oke … oke, good luck, Mbak.” Riri segera berlari ke balik semak tinggi yang tidak begitu jauh dari tempat Maya berada.
Maya menatap sekitar taman, mencari sosok Harij yang katanya sudah sampai. Dan benar saja, pria itu datang dengan pakaian sangat rapi. Berbalut tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu menempel di bagian kerah membuatnya tampil menawan. Belum lagi tatanan rambutnya dibuat ala pompadour yang menampilkan kesan elegan nan maskulin.
Kenapa … kenapa dia semakin tampan? hati Maya bergumam dengan senyum lebar.
“Hai, Sayang,” sapa Harij berdiri di hadapan Maya.
Menyadari hal tersebut, spontan Maya menyentuh dadanya, “Oh, hai,” sahutnya dengan hembusan nafas panjang. Jantungnya tiba-tiba berdegup dengan kencang, lebih kencang dari gebukan genderang perang.