Beberapa jam kemudian, setelah Maya terlelap dengan nyenyak, kedua matanya kembali terbuka. Ia berjalan keluar dari kamar menuju taman belakang. Duduk sendirian seraya menatap langit malam yang masih tampak berwarna pekat.
“Kak … kenapa tega melakukan ini? Aku mencitainya, Kak!” Seorang gadis menatap ke arah Maya dengan wajah bersimbah air matanya. Rambutnya terurai lurus dengan gaun pengantin berwarna merah.
“Tapi, aku …” Maya mencoba membuka mulutnya, ia berusaha menjelaskan, tetapi lidahnya terasa kelu.
“Tidak, Kak! Aku tidak terima! Aku membencimu!” teriak gadis itu seraya menggebrak meja. Ia mencondongkan tubuhnya ke hadapan Maya, “Aku tidak mau semua ini!”
Maya terhenyak pelan, “Aku … Sil.”
Gadis itu beranjak dari tempatnya, tangisnya kembali pecah membuat hati Maya teriris perih, lalu ia hilang entah kemana.
“Kak May.” Suara itu terdengar tak asing di telinga Maya, suara anak perempuan yang sangat ia kenal. Ia bergegas menoleh ke belakang tubuhnya, kedua matanya membola melihat kedua orangtuanya bersama Silia saat masih kecil .
“Ibu … Ayah!” seru Maya segera berlari ke arah kedua orangtuanya. Memeluk dengan erat sembari menangis.
“Kakak! Aku belikan ini tadi!” seru seorang anak kecil menarik pakaian Maya.
Maya segera menoleh, ia melihat Silia kecil di sana dengan kedua tangan membawa cotton candy berbentuk kuda poni.
“Sil …” gumam Maya pelan, tubuhnya seketika ambruk di hadapan gadis kecil itu. Kedua tangannya terbuka lebar untuk memeluk gadis kecil itu. Didekapnya tubuh mungil Silia dengan erat, bahkan Maya tidak bisa lagi menahan tangisnya. Air mata yang sudah menumpuk itu seketika meluncur deras.
“Kakak!” Tiba-tiba Silia menjerit kencang hingga membuat kedua telinga Maya sakit. Seketika ia membuka kedua matanya, bayangan tentang masa lalu terputar di sekitar tubuhnya. Ia menatap sebuah pintu yang tutup dengan rapat, jeritan gadis kecil terdengar begitu memekakan telinga. Sementara sebuah mobil melaju kencang, meninggalkan halaman rumah itu.
“Aa!!” Maya berteriak sekencang mungkin diiringi isak tangis. Kedua tangannya menutup telinga dengan kuat.
×××
“Mbak … Mbak,” Riri menggoyangkan lengan kanan Maya pelan. Wajahnya tampak khawatir melihat Maya yang tengah menangis pelan, “Mbak, kenapa?”
Maya membuka kedua matanya, remang-remang ia menatap wajah Riri, lalu beralih menatap sekitar. “Udah pagi, ya, Ri?” tanya Maya pelan seraya mengusap wajahnya.
“Iya, Mbak, kenapa?” Riri kembali bertanya.
“Apanya? Jam berapa sekarang?”
“Jam delapan,” sahut Riri, masih dengan wajah bingung.
Perlahan Maya bangkit dari ranjangnya, “Kita pulang, yuk!”
“Sekarang?”
Maya turun dari atas kasur dan berjalan menuju kamar mandi, “Buruan, Ri!” teriaknya.
Riri menggeleng heran, otaknya terasa beku menatap keanehan Maya. Wanita itu menangis dalam tidurnya dan ketika bangun … seperti tidak ada yang harus dijelaskan.
“Kenapa bengong?” Maya menatap Riri dengan dahi mengerut.
Riri menoleh ke arah Maya dengan mata menyipit, “Aneh, tahu!” sambarnya segera bangkit dari ranjang.
“Kamu ngingau, Ri?”
“Mbak, mimpi apa semalam?”