Pounda Risma Sari, wanita yang begitu ambisius. Segala yang diinginkannya haruslah terwujud dengan sempurna. Sekalipun batu besar menghalangi jalannya, ia tidak akan mundur atau menyerah. Ia akan terus berjuang untuk apa yang ia inginkan. Baik atau tidak jalan yang ia gunakan, ia tidak akan peduli.
Selama berminggu-minggu, Pounda mencari tahu siapa Maya sebenarnya. Ia menyewa dua orang pria untuk mencari tahu kehidupan Maya meskipun, ia harus mengeluarkan uang cukup banyak untuk membayar mereka. Dan akhirnya, ia mengantongi banyak bukti untuk menjatuhkan Maya. Karena Pounda tidak ingin siapa pun memiliki Harij kecuali dirinya. Jika dirinya sendiri tidak memiliki pria itu maka, tidak seorang pun bisa.
Pagi ini cuaca Kota Bandung sedikit mendung. Sang Surya tidak menampakan cahayanya, bersembunyi di balik awan tebal. Tetapi bagi Pounda, cuaca hari ini begitu cerah dengan cahaya terang yang gemilang. Dengan penuh kebahagiaan, ia berjalan lenggang menuju ruangan kerja Harij.
Mengetuk pelan pintu kaca yang menjadi penghalang setiap ruangan. Pounda tersenyum dengan lebar.
“Masuk!” sahut seseorang dari dalam.
Dengan penuh keyakinan, Pounda membuka pintu dan masuk dengan senyuman.
“Long time no see, how is your life?” tanyanya seraya berjalan mendekati kursi Harij.
“Ada apa?” sahut Harij datar.
“Aku punya kabar yang begitu penting untukmu, Sayang. Lihat ini!” Pounda mengeluarkan sebuah foto dari dalam amplop coklat yang dibawanya, foto dua orang anak kecil.
“Apa kau tidak memiliki hal lain selain mengangguku? Aku tidak tahu siapa mereka. Jadi, pergilah!”
Pounda tertawa pelan, ia duduk di atas meja tanpa rasa bersalah, “Dude, itu Silia dan Maya,” sahutnya.
“Aku tidak percaya pada mulut manismu. Aku sudah tahu sifat aslimu. Kau hanya ingin menghancurkan hubunganku dan Maya.” Harij menyahut dengan santai.
“Lalu, bagaimana dengan ini?” Pounda mengeluarkan selembar kertas putih yang berisi data sebuah keluarga.
Harij menatap kertas itu sekilas, lalu bangkit dari kursinya, “Aku tidak percaya, pergilah, Pounda!” ucapnya penuh penekanan.
“Ini adalah kenyataan, Harij!” teriak Pounda menatap Harij penuh amarah.
“Kamu tidak perlu ikut campur! Pergi!!” teriaknya dengan kencang seraya menunjuk ke arah pintu ruang kerjanya.
Pounda segera turun dari meja, “Aku bersumpah! Aku akan buktikan padamu siapa dia sebenarnya. Karena hanya aku yang mencintaimu dengan tulus, Harij.”
“Tutup mulutmu, Pounda!”
“Baik, kita lihat saja nanti.” Pounda menyahut dengan wajah merah. Segenap kekesalan kini menghampiri dirinya. Ia tidak akan terima dengan perlakuan Harij padanya.
“Kenapa masih di situ, pergi!”
Pounda menyipitkan kedua matanya, lalu pergi dengan hentakan kaki yang cukup keras.