A Thousand Lights

Desi Ra
Chapter #15

#Usai

Minggu, sekitar pukul delapan pagi.

 

“Meet me on the battlefield. Even on the darkest night. I will be your sword and shield. Your camouflage and you will be mine. Echoes of the shots ring out. We may be the first to fall. Everything could stay the sameor we could change it all. Meet me on the battlefield …” SVRCINA – Meet me on the battlefield.

 Suara itu muncul dari balik jendela lantai dua Froz Kafe. Seorang wanita dengan piyama merah muda tengah sibuk membereskan kamar seraya bersenandung diiringi musik dari ponsel. Bukan kebahagian yang membuatnya mampu melakukan semua itu, melainkan sebuah perasaan mendalam yang sedang mencabik hatinya.

Beberapa hari ini awan hitam dan halilintar menghiasi harinya. Entah karena kebingungan yang tengah menimpa hidupnya atau semuanya karena apa yang sudah ia tanam, yang kini berubah menjadi duri dalam daging. Ia pun tidak mengerti, tetapi yang jelas ia rasakan bahwa ia sedang berada di kegelapan. Berjalan ke sana kemari tanpa kejelasan.

 “Stay with me until I fall asleep. Stay with me … Kiss it all better. I'm not ready to go. It's not your fault, love. You didn't know, you didn't know.” He is We – Kiss it Better.

 “Huuh …” Wanita melepaskan nafasnya panjang, lalu mengusap dahinya dengan punggung lengan. Bulir-bulir keringat tampak berjatuhan selepas membereskan kamar, yang mungkin nanti akan ada orang lain yang menetap di kamarnya.

Beberapa saat kemudian, terdengar seseorang mengetuk pintu. Wanita itu segera meredam suaranya, lalu berjalan menuju pintu dan membukanya.

“Ada apa?” tanyanya dengan wajah datar setelah melihat siapa yang mengetuk pintu.

“Rian sudah datang, Mbak,” jawab Riri dengan wajah tertunduk.

“Oh!” Maya menyahut, lalu keluar dari kamar. Sebelum pergi ia menutup pintu lebih dulu.

Riri mengikuti langkah wanita itu menuju salah satu meja di dalam kafe.

“Ri, tolong buatkan aku kopi hitam dan cappucino,” titahnya yang segera Riri laksanakan.

Tidak banyak waktu yang ia habiskan untuk menunggu dua kopi itu terhidang di atas meja. Tidak sampai lima menit, kedua cangkir berisi kopi itu sudah berada di sana.

“Kamu sudah tulis bahwa hari ini kita buka lebih siang?” tanya wanita itu menatap ke arah Riri.

“Sudah,” angguk Riri dengan yakin.

“Aku ingin Rian di sini, di depanku. Ke mana dia?”

Tak lama seorang pria muda datang menghampiri Maya dan duduk di hadapannya.

“Kau tahu kenapa aku memanggilmu?” tanyanya dengan wajah terlihat marah.

Lantas pria muda itu menggeleng, “Tidak, Bu.”

“Apa kau tidak memiliki rasa bersalah padaku?” Wanita menyodorkan secangkir kopi hitam ke hadapan Rian.

“Saya tidak mengerti maksudnya, Bu.” Pria itu menatap dengan rasa takut.

“Apa kau ingin membuat pengakuan kecil padaku?” Wanita itu kembali bertanya namun, sorot matanya terlihat sinis, bagai elang yang siap menerkam mangsanya dengan kuku-kuku tajam yang ia miliki.

“Pengakuan apa?” Pria itu terlihat kebingungan.

“Informasi apa yang sudah kau jual tentangku!” teriaknya seraya menggebrak meja, “kamu pikir aku tidak tahu, hah? Kamu salah satu orang yang aku percaya dan kamu … aku bingung harus apa.” Maya mengadahkan wajahnya ke langit-langit kafe seraya menahan bibinya untuk tidak tersenyum.

Semua yang hadir di sana tentu terkejut dengan apa yang sudah bosnya lakukan. Riri menatap pada salah satu teman wanitanya yang tampak diam tertunduk.

“Apa kamu masih mencintai orang seperti dia, Ri?” Maya beralih menatap ke arah Riri dengan mata tajam, “Dia menghancurkan semuanya, Ri!” imbuhnya seraya berteriak kencang.

“Bu, saya bisa jelaskan.” Pemuda itu menyahut dengan suara rendah.

“Saya tidak percaya bahwa … Ri, kau tahu apa yang dia lakukan padaku?” Maya masih menatap gadis itu.

Riri menggeleng pelan.

“Dia menjual informasi tentang kehidupanku pada orang lain. Dan pertanyaanku, dari mana dia mengetahui semuanya? Pasti ada seseorang yang …”

“Tidak, Bu! Riri tidak mengetahui apa-apa,” sambar pemuda itu.

“Kenapa? Kamu takut Riri saya pecat? Kamu jangan main-main dengan saya, Rian.”

“Walaupun saya tidak mengerti maksud semua ini, tetapi saya benar-benar tidak ingin melibatkan orang lain untuk turut masuk dalam masalah saya. Riri sudah terlalu baik pada saya.”

Lihat selengkapnya