Menunggu kopinya siap, Litta merogoh-rogoh tas-nya dan mengeluarkan smartphone. Mengecek entah apa—mungkin e-mail atau pesan Whatsapp, Ia menyambi ngobrol dengan barista yang menyiapkan pesanannya dari balik konter. Gadis itu tersenyum. Senyuman super manis—bisa bayangin hasil kombinasi rahang lebar, lesung pipit, satu taring menyembul imut, dan attitude ekstrovert? Ya. Mematikan! That. Sweet. Ia tersenyum sambil mengangkat wajahnya dan membalas komentar si barista sebelumnya. Mereka bertiga kompak tertawa. Yup. Si cashier guy juga tak mau ketinggalan terlibat keseruan mereka. Kemudian Litta beralih pada satu-satunya pelanggan di antrian. Wajahnya komat-kamit seperti meminta dukungan dari si pelanggan mungil yang tidak mengerti apa-apa itu. Sambil satu tangannya menjuntai mengambil gelas kopi yang disodorkan si barista, Litta masih menghadapkan wajah ekspresifnya, dan bercerita pada si pelanggan. Dasar multitasker alami. Bisa ditebak, si gadis muda yang tadinya tampak pendiam itu pun tertarik menanggapi. Tawa si gadis, kasir, dan barista menyebar di kafe kecil itu ketika Litta berjalan pergi dari area pesanan—masih dengan kepala memutar berlawanan arah jalannya, Ia menyerukan keras kalimat penutup obrolannya.
Aku tersenyum. Menyambut satu cangkir bertatak dari Litta sebelum Ia berhasil duduk, kulihat senyum lebar masih tertinggal di bibir ber-lip tint marun-nya.
“Cerita apa sih Lo, pada heboh semua gitu.” Masih tersenyum mengingat aksinya dari tadi, ku mengambil satu bungkus gula dari sisi cangkir dan hendak menyobek-bukanya, ketika hidungku menyesap sedap aroma kafein dari seberang meja menyerang tanpa peringatan.
Baru sadar setelahnya, ku barusan mengaduk teh-ku sambil mengangguk-angguk. Seperti setuju hanya seorang Litta yang bisa menjadi dirigen sekelompok orang asing hingga menghasilkan suatu simfoni percakapan semenarik tadi. Kalau Aku, bisa kubayangkan: Aku hanya akan tersenyum sekali pada si kasir, lalu berdiri di tepi konter, mengetuk-ngetukkan kartu member atau ATM atau hanya jari-jariku, berdansa mengikuti irama musik yang mengalun di kafe itu. Ketukan kartunya atau jariku—yang berdansa, bukan Aku pastinya. Aku sih se-fleksibel x-banner di samping konter itu tuh—mengharap senggolan angin atau orang baru bergoyang.
Litta duduk. “Itu… yang tadi pagi gue curcol ama kasir Alpamaret,” Ia menyobek buka kemasan sedotannya, menjeda untuk membenahi sebentar bagian pinggang blus-nya dengan satu tangan, “dan gue jadi curcol lagi tadi ama Joan!”
“Joan?” Aku mendeliknya dari balik cangkir di depan mulutku kini.
“Noh. Si kasir.” Litta menggigit-gigit sendok pengaduk sebelum menghirup-minum moccachino-nya, mengisyaratkan dagunya ke arah konter.
Aku tersenyum. Dan dia tau namanya, tentu saja. Ekstrovert dan sensor alaminya.
“Gue bilang, ‘Men, ini kedua kalinya pagi ini gue ditawarin makanan. Kenapa orang-orang perhatian banget gitu sih ama gue. Gue bilang gue sehat kok, don’t worry, tapi kalo semua orang mendukung gue untuk nyemil mulu, well I’m in full trouble, ya kan?’”
Aku mendengus geli setelah habis tegukan pertamaku, nyaris saja tersedak earl grey panas.
“Si Hery itu juga, resek banget malah nggodain. ‘Nggak pa-pa mbak, segitu juga masih oke kok!’ Whaaat?” Ia menggoyang-goyangkan kepala, berekspresi mencemooh gaya bicara si Hery ini, dan melotot, mengundang pembenaran dariku.
“Si barista?” Aku mengangkat alis.
“Yeeep.”
“Naksir lo kali.”
Litta memutar kedua bola mata Boneka Russia-nya. Aku tertawa.
“Terus dia pake mancing-mancing, Tuna Croissant-nya buat siapa.”
“Terus? Lo konfirmasi?”
“Iya lah.” Ia memonyongkan bibirnya padaku. “Gue bilang dong, temen gue satu ini butuh energi banyak. Mau perang besok dia.”
Aku tergelak spontan. Tidak lama. ‘Coz the spoken Devil is coming.
“Tuna Croissant with Extra Ricotta-nya, mbak?”
Kami berdua menahan senyum. Litta mengangguk.
“Makasih yaa…” Ia menarik gelasnya ke tepi, menyediakan ruang untuk Hery meletakkan pesanan kami dan menata pisau-garpu di meja bulat imut itu.
“Sama-sama, mbak Litta.” Pemuda itu balas tersenyum—yep, senyum genit menggoda, checked!—sebelum berputar pergi.
Dan kami segera kompak menutup mulut, membatasi porsi tawa kami agar tidak bercerai-berai mengundang curiga si Hery.