Gelap seketika. Untung sekali refleksku kuat. Adaptasiku yang agak lambat. Terik si pusat tata surya menyentrong kuat ketika Litta membuka sliding door van kami. Berbarengan dengan itu, pintu kaca otomatis gedung tak jauh di depan drop off area tempat kami berhenti terbuka pula. Seperti sudah menangkap sinyal kedatangan kami sedari masih di seberang pulau, Mbak Rurin—bersetelan blazer dan celana pantalon hitam-hitam, rambut panjangnya disisir licin tinggi ke belakang sehingga meskipun terurai masih terlihat sangat rapi—muncul dengan gagah dari baliknya. Bak ‘spotlight’ yang diatur otomatis saja ini si matahari, menyambut kedatangan si bintang utama. Ahem! Ia bintangnya, Mbak Rurin—bukan Aku. Adegan entrance-ku adalah turun terhuyung-huyung, masih membenahi pandanganku paska serangan si ‘bintang utama’ Bimasakti.
Setapakku di teras, tanpa basa-basi Ia menubrukku, menggandeng satu lenganku, dan merendengku—setengah menyeret, lebih tepatnya—memasuki teras, seketika kemudian foyer gedung, seketika kemudian lobby. Aku, yang masih berusaha memproses apa yang sedang terjadi—are we warping to other galaxy or what?—tanpa sadar malah melihat ke bawah, sepersekian detik setelah kami tiba di bawah plafon kubah tinggi lobi gedung tersebut. My heels. Her Heels. Mbak Rurin memakai stiletto hitam glossy dengan hak tertinggi yang pernah kulihat dipakai wanita untuk bekerja. Ia bahkan tidak terengah dan, damn, kaki jenjangnya tidak menampakkan tanda-tanda protes atau long after-effect sedikit pun.
“You okay with those? Seemed uncomfortable.” Aku mengangkat wajah, sedikit mendengak ke sebelah kiri, karena jelas dengan hak setinggi itu otomatis Ia jauh lebih tinggi dariku. Dan seketika kemudian harus menahan tanganku yang bebas untuk tidak menutup mulut. Words already spoken, Tiska. No regrets will useful anyway.
“My shoes is the last thing you need to worry, Dear.” Senyumnya singkat, padat, jelas. “Skenariomu, Say, still bit, ehm, dreary.”
Jalanku melambat tetiba. Dan dengan berat tubuh dibantu berat keraguanku, Mbak Rurin terpaksa ikut melambat. “Ah… meaning?”
Mbak Rurin berhenti sempurna. Melepas gandengannya Ia memutar badan empat puluh lima derajat ke arahku. “Aku udah bujuk Litta buat bujuk kamu, but seems she’s not good at it.” Ia menoleh ke arah kanannya tepat kepada Litta, yang Aku lupa sedari tadi dimana.
Dan Litta bereaksi dengan menautkan rapat-rapat kedua bibirnya, menaikkan alis-alisnya setinggi-tingginya, dan melirikkan si bola mata bergantian pada Mbak Rurin, padaku.
“Ini interview pertama kamu, Tiska, ever. Eksposurnya nasional. Nope, global. SEDUNIA! Karena abis itu pasti kita follow up ke sosmed-sosmed, Youtube, BOOM! internasional!” Lanjut Mbak Rurin mengabaikan Litta.
Ok-kay…
“Penting buat audiens ngerasa tertarik sama kamu.” Ia mengisyaratkan dua jari kedua tangannya menekankan kata ‘tertarik.’ “Karena target kita bukan cuma existed readers, tapi yang potensial juga.”