Sensasi beku menyeruak ketika Aku menyusul Litta ke dalam ruangan berlabel 'Ruang Tunggu Studio 1'. Melihatku masuk, Ia tidak mengubah posisi duduknya: menyilang satu kaki, menopangkan satu tangan di satu dengkul, jari membuku menopang dagu. Ehh, malah senyum-senyum kecil dia. Kuhapal benar meledek aku dia.
Aku mengedikkan otot alisku sejenak, dan bersedekap berdiri menyender di dinding yang menghadapnya. “She’s so determined.”
“She’s good.” Dengus kecil Litta.
“But, I don’t get it…” Aku menolakkan diri dari senderan, geleng-geleng. Melangkah satu set langkah sejajar dinding, “Kamu tahu banget kenapa, kan, Tta.” dan kembali dua set langkah ke arah sebaliknya.
“Kalau dari awal emang Aku niat mau cerita,” bufet kaca di ujung ruangan entah kenapa seperti menarikku berjalan kesana, “ya gak perlu repot-repot pake Abbrevia!”
“She said she understands. HAH!” Aku meneleng kepala tapi tidak sepenuhnya menghadap pada Litta, sudut mataku menangkap mulutnya sudah setengah menganga , lalu ku melanjutkan berjalan, “Of course she doesn’t! Dia gak tau apa-apa! Dia gak tau Aku. Dia gak tau apa-apa soal hidup Aku. Jelas gak bakalan ngerti apa maksudku, jelas gak ngerti itu bukan sekedar nama!”
“Hah.” dengusku. Produser profe. Bulshit!. “Yah, emang gak kebayang dan gak niat bakal ada interview segala kan?” ku berbalik. Kujauhi sudut itu dan kini ku hampiri sudut yang lain dengan cermin besar menghias dindingnya.
Di depan cermin kini. Kulihat bayanganku. Kulihat bayangan Litta di belakang. Dan furnitur-furnitur yang berkapar di ruangan itu. Cermin itu mematut seluruh ruangan itu, tak satu sudut pun ketinggalan. Cermin itu besar sekali, berarti. Mencondongkan badan, kuperhatikan lebih dekat cermin itu, apa cembung? Tidak, tidak cembung. Cermin itu besar sekali, berarti. Terlalu besar untuk ukuran ruang itu. Terlalu besar untuk ukuran ruang tunggu belakang stage. Hmm… Apa untuk efek ‘membesarkan ruang ini? Mundur… mundur… mundur…Tidak. Masih terlalu besar.
“Ya.” Aku berbalik seketika. Menatap Litta yang ternyata menatap padaku. Dari tadi Ia tidak melepas pandangannya dariku, kutahu. “Ini terlalu besar.”
Litta mengangkat kedua lengannya, “Apanya?”
“Ya semua ini.” Aku bersedekap, memutarkan daguku meliputi seukuran ruangan itu. “Interview ini. Talk show ini, gue rasa terlalu besar buat gue. Gue rasa kita gak usah lanjutin kali ya. Kita balik aja dengan rencana semula. Cara awal kita, gimana? Yuk.” Aku beranjak menuju pintu.
Dan Litta berdiri cepat menghadang.
Lalu gerakan Ia selanjutnya melambat tiba-tiba. Hampir seperti menonton adegan slow motion, bisa kurekam bagaimana matanya perlahan melotot, lengannya yang tadi di sisi pinggang berangkat ke depan, jemarinya mulai mengacungkan si telunjuk, dan kutangkap kepalanya meneleng sedikit sekarang. Menatapku tanpa ampun.
“Tis…”
Aku diam. Mengantisipasi. Tapi menolak kalah. She’s going to defy. She’s going to defy.
Lalu Litta tiba-tiba menurunkan tangannya dan menghela keras napasnya.
“My friend,”
Mukaku mengernyit.
“Kamu tahu kalo jari kita berdarah, karena kuku kita yang patah,” temanku itu berkata, “yang kita potong kukunya atau jarinya?”
I know this. But, where she going is?
“Ehm?” Ia menunggu jawabanku.
“Ya kuku lha.” Mendengusku keras, sengaja menunjukkan ku kesal. “Maksud lo apa, Tta?”
Ia mendengus balas, “Ya kalo lo gak mau nurutin saran Mbak Rurin, ya tinggal gak usah diturutin.” Serunya malas, “Kenapa harus pake batalin ini segala?”