Dari jendela kaca ruang kantornya yang mewah, khas ruangan para eksekutif elite, ia dapat dengan mudah melihat sebuah lapangan hijau yang terbentang luas, jajaran pohon-pohon berdaun lebat dan beberapa kolam air bening semakin menambah suasananya menjadi demikian teduh dan asri. Disana, berkumpul beberapa orang mengenakan topi putih, berkaos santai dan bercelana pendek. Kulit mereka bersih, sehat-sehat, potongan rambutnya pun rapi. Dari tampilannya, kita langsung tahu mereka adalah kaum priyayi metropolitan, nasabah prioritas bank-bank terkemuka. Di lapangan itu, Mereka beradu cepat memasukkan sebuah bola kecil nan padat ke sebuah lubang. Walau tampak sederhana, baik dari segi prinsip maupun cara memainkannya, namun olahraga super mahal ini begitu diminati masyarakat kelas atas. Masih begitu misterius apa yang ditawarkan olahraga ini sehingga mereka rela merogoh koceh yang tidak sedikit untuk berkeringat dengan olahraga ini.
Bersebrangan dengan lapangan golf itu, tak jauh, hanya dipisahkan garis-garis pohon yang tipis serta pagar tinggi dipasangi kawat berduri, sebuah paradoks terhampar, kumpulan manusia memadati jalan, kendaraan berlalu lalang tak habis-habis. Sebuah macet yang sangat klasik di Jakarta. kiranya, telah ribuan cara, wacana, taktik, strategi diberlakukan dari jaman ke jaman, oleh para petinggi yang berbeda-beda, namun, kemacetan memang bagian dari Ibukota republik ini, rasanya tanpa kemacetan, Jakarta seperti kehilangan ruhnya, macam wanita kehilangan kepadatannya .
Dari jendela itu pula, ia pun begitu mudah melihat wajah asli dari Jakarta, perumahan-perumahan yang sangat kontras, komplek-komplek perumahan yang hijau nan rimbun dengan letak bangunan yang simetris dan teratur, menjadi hiasan dari rumah-rumah yang bahkan tak layak huni bertebaran dan jumlahnya lebih banyak. Seperti kemacetan, kemiskinan juga mayoritas di republik ini, dan seperti juga tawaran solusi untuk kemacetan, beragam disiplin ilmu dicoba mengatasi kemelaratan itu dari periode ke periode oleh penguasa yang berbeda-beda, tapi, kita dengan jelas tahu apa yang terjadi, kemiskinan masih dan masih terus menjadi identitas bagi republik ini.
Sejatinya, ia sudah bosan dengan pemandangan ketimpangan sosial itu dari jendela, tapi yang tersedia hanya panorama ruang besar para pegawai kantor yang geraknya mononton dan membosankan, untung saja ruangnya kedap suara sehingga tak menambah deritanya dengan suara-suara dari gerak monoton itu. Maka ia lebih memilih berdiri, memeluk kedua tangannya, menyaksikan panorama alam dari jendelanya, sambil merenung.
Seseorang itu, yang melihat Jakarta dari jendela kaca ruang kantornya, memiliki demografi demikian unik dan istimewa. Ia adalah seorang eksekutif muda cemerlang di perusahaan multi nasional yang bergerak di bidang komunikasi. Di departemen yang ia pimpin, ia membawahi puluhan karyawan dengan fasiltas berlimpah, punya ruang sendiri dan bergaji tinggi, pakai dollar pula. Apa yang membuatnya unik? karena ia adalah seorang perempuan. Dan apa yang membuatnya istimewa? Sebab ia berhijab. Di dunia perkantoran, sangat sulit dan bahkan hampir mustahil menemukan seorang perempuan muda, berumur dua puluh tujuh tahun, belum menikah dan berhijab menjadi kepala departemen di sebuah perusahan multi-nasional yang bergengsi. Pakaiannya sederhana namun berkelas nan elegan. Meskipun tak terlalu syar’i—tak memakai gamis atau rok besar seperti perempuan-perempuan hijrah pada umumnya—ia menutup rapat-rapat setiap jengkal tubuhnya dan hanya memperlihatkan bagian-bagian yang diperbolehkan oleh agama untuk dilihat. Lagipula, ia langsing sehingga setiap lekukan kewanitaannya tak terlalu menonjol. Dan dalam dari pada itu, para koleganya tak terlalu awas pada bentukan tubuh sebab kualifikasi dirinyalah yang membuat ia bisa berada di puncak kesuksesan.