A Trip to Your Wedding

Rahmatul Aulia
Chapter #2

Asmara Lama

Arfa sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya akhir-akhir ini, ia tidak dalam keadaan kecewa maupun depresi. Kerjaan, kolega, teman-teman dan keluarga tak ada masalah, semua masih baik-baik saja. Ia pun tak menginginkan sesuatu yang tak bisa dicapainya, semua dalam kendalinya atau paling tidak segalanya dilakukan dengan keadaan yang sadar, keputusan-keputusan yang ia ambil semuanya dengan perhitungan matang yang rasional. Namun perasaan gundah itu tak juga minggat dari dalam dirinya.

Ditelusuri lagi lebih dalam, menyelam jauh ke dalam sukma, ia mencoba berdialog dengan seseorang di dalam jiwanya, sosok lain di dalam dirinya, memberikan pertanyaan-pertanyaan mendasar nan filosofis tentang makna hidup, sosok itu menjawab dengan tentram nan damai, namun ia tak puas, jawaban-jawaban penyejuk jiwa itu tak mengusir gundah dalam dirinya, percakapannya dengan sosok itu nihil. Dari mana perasaan gundah itu berasal? Apakah ada sosok lain lagi dalam dirinya yang tak ia kenal, yang berada jauh, jauh sekali dalam dirinya di sebuah tempat yang tak pernah ia jamah? Mungkin, tapi ia telah mencoba segala cara, membaca buku, mengunjungi psikilog, bermeditasi, melakukan yoga dan berdialog dengan uztad, masih saja hampa. Tempat itu jauh sekali, mungkin hanya manusia-manusia terpilih, yang begitu dekat dengan Tuhan, sehingga mereka mengenal dirinya lebih baik yang bisa menjamah tempat asing tersebut, dan orang-orang terpilih itu bukan Arfa.

Satu yang pasti, ia tau ada yang salah dalam dirinya sehingga jiwanya gundah, seperti sesuatu sedang mengusik, entah apa, begitu misterius. Perasaan gundah itu makin menjadi-jadi ketika ia melihat selebaran anggun undangan pernikahannya yang tergeletak di atas meja kerjanya. Warnanya begitu semarak, khas warna-warna perayaan cinta. kata-katanya diukir dengan gaya kaligrafi adaptasi klasik nan cantik di dalam kertas berkualitas indah. sekilas melihatnya, designer undangan itu begitu menggilai pernikahan ala-ala Bollywood. Dan masalahnya, ia tak melakukannya karena terpaksa, meski pernikahan itu diintervensi oleh ayahnya yang begitu ngotot menyuruhnya menikah, namun tak ada pihak manapun yang memaksanya, ia setujui lamaran laki-laki baik itu dengan kesadaran yang penuh.

Lagipula, orangtuanya mendesaknya agar cepat-cepat menikah untuk satu tujuan yang mulia, beribadah. Ia tahu ayahnya begitu menyayanginya sehingga ia sadar, intervensi itu untuk kebahagiaannya. Seorang perempuan muslim karir yang melajang di metropolitan Jakarta sangat rawan terjerumus ke dalam dosa, baik dari faktor eksternal maupun internal. Umurnya pun sudah kelewat matang bagi seorang perempuan menikah. Jadi ia yakin bukan karena ia akan segera menikah yang membuatnya gundah.

Arfa memang punya asmara lama. Dulu, dulu sekali, bertahun-tahun, semenjak masa kuliah, ia mengagumi seorang Uztad muda yang ia kenal lewat Instagram, seorang laki-laki teduh, berwibawa, begitu bersahaja. Ilmunya matang, wawasannya luas, tata kramanya pun sangat mengesankan, air mukanya begitu teduh karena selalu terjaga oleh wudhu, Uztad itu berdakwah di berbagai platform media sosial. Dengan demografi tak ubahnya Fahri Ayat-Ayat Cinta tersebut, tak ayal, ia begitu digandrungi oleh perempuan, termasuk Arfa.

Dan Arfa hanya mengaguminya saja, dari jauh, bertahun-tahun pula. Fitrahnya sebagai perempuan membuatnya hanya mempunyai pilihan untuk menunggu, tunggu punya tunggu, kelewatan menunggu, Uztad itu menikah dengan perempuan lain, masih ia ingat betapa hancur dirinya melihat uztad muda itu bersanding dengan seorang perempuan di pelaminan. Hatinya makin hancur melihat Uztad muda itu dan istrinya malu-malu tapi mau untuk bermesraan. Klasik, klasik sekali.

Tapi itu kisah bertahun-tahun lalu, setelah berton-ton derai air mata, berkilo-kilo tissu dan berbulan-bulan depresi, Arfa akhirnya bangkit, move on, ia kembali tertawa seperti biasanya, kembali fokus pada kerjaanya. Satu chapter hidupnya, sebuah pengaguman pada uztad muda itu telah lama tamat. Ia kembali membuka diri, meledani banyak laki-laki standar tadi sampai lelaki baik itu mengetuk pintu rumah ayahnya, memberanikan diri melamarnya. Ayahnya begitu terkesan pada pemuda baik itu sampai mengintervensi Arfa secara berlebihan, yang berujung persetujuan dari Arfa, walau tak begitu yakin, tapi satu yang pasti, seorang ayah tak mungkin salah dalam menilai dan memilih sosok laki-laki yang akan membahagiakan anaknya. Tak ada yang salah dengan semua itu.

Misi mbak...”

Perenungan Arfa yang panjang ambyar oleh sebuah suara. Oh, salah seorang pengawainya. Arfa menyuruhnya masuk.

“Kenapa Ta?”

Pegawai perempuan itu menyodorkan laptop yang dibawanya ke hadapan Arfa.

“Ini mbak, terkait ama revisian laporan tahunan departemen kita, ada yang perlu diubah lagi gak mbak?”

Lihat selengkapnya