Sebenarnya, bukan hanya karena kepribadian introvertnya meluap-luap belakangan ini yang membuat Arfa malas ke acara reoni, tapi reoni dewasa ini telah menjadi ajang pamer, tentang siapa yang lebih mapan, lebih kaya atau lebih sukses dari orang-orang di masa lalunya. Entah kapan dimulainya, atau memang sudah sifat manusia itu sendiri, acara temu kangen sambil saling bertukar kisah dan bertanya kabar itu berubah menjadi ajang psywar. Banyak orang-orang yang begitu tak beruntung dalam hidupnya memberi alasan-alasan klasik seperti sibuk, kerjaan menumpuk, dikejar deadline, lembur, tidak ada yang mengawasi anak di rumah dan tak diberi izin suami untuk menghidari hadir di acara tersebut. Mereka tahu, di hidup mereka yang tak beruntung dan tak punya pilihan, mereka mempunyai kemewahan, mempunyai pilihan untuk menolak hadir di ajang psywar itu. Dan orang-orang tak beruntung itu juga tahu, penolakan itu baik bagi kesehatan jiwa mereka.
Sebab, jika mereka datang, tak perlu kata-kata, kalimat-kalimat maupun paragraf-paragraf yang mengandung sinis, hinaan metafora, atau adu argumentasi tentang makna sejati kebahagiaan, cukup satu tatapan sinis, yakni menatap dengan ujung mata dari bawah sampai ke atas ditambah dengan suatu seringai menghina. Ekpresi itu, yang sering kita lihat di wajah para mertua, sudah lebih dari cukup untuk menghantam mental mereka. Maka lebih baik menahan rindu daripada kalah dalam peperangan psikologis itu.
Jadi, semenjak datang, sikap Arfa tak acuh, cuek dan dingin, kata-katanya hemat, bicaranya seperlunya saja meski banyak yang mengajaknya ngobrol. Ia lebih suka meminum es jeruk sambil menikmati live music daripada meladeni orang-orang yang mengajaknya bicara. Sang gitaris gondrong yang eksentrik dipadu vokalis imut nan merdu yang tengah membawakan sebuah lagu indie di muka panggung itu lebih jujur dari topik-topik yang ditawarkan lawan bicaranya yang bias dan palsu, seseorang yang tak terlalu dikenalnya dan sebelum-sebelumnya tak pernah mengajaknya bicara. Dan setelah tahu pendapatan Arfa, ia menunjukkan jati dirinya sesungguhnya. Arfa malas meladeni manusia-manusia tipikal seperti itu, raut wajahnya, dandanannya, cara ia tersenyum, baju yang ia kenakan, parfum yang ia pakai, assesorisnya, sepatunya, mimik wajahnya, pilihan katanya, pujian-pujiannya, semua begitu mudah untuk ditebak. Manusia-manusia tipikal semacam itu akan bermulut manis pada awalnya, lebih manis dari politikus manapun, kemudian akan menuntun topik pembicaraannya, yang juga sangat tipikal dengan meminta kontak pribadi. Dan tak perlu waktu lama, paling lama lima hari, manusia tipikal itu akan muncul di notifikasi layar handphone dengan satu tujuan yang sangat mulia, meminjam uang. Maka, saat manusia tipikal itu menyapa, ia langsung pamit, memasang gestur dan sikap sedang sibuk, lalu berlalu.
“Yah, kirain lu bawa makanan Fa!” Ina melengguh panjang, tampak kecewa melihat Arfa kembali ke meja mereka dengan hanya membawa segelas es jeruk.
“Sorry, gak sempet. Males gua ketemu tu orang!” Arfa memonyongkan bibirnya, menunjukkan lokasi dimana manusia tipikal tadi berada.
“Siapa?” Ina menjauhkan radius pandangannya, melihat kordinat yang ditunjukkan Arfa lewat bibirnya.
“Dika?” Ina menunjuk sesosok lelaki macho di samping manusia tipikal yang dimaksud Arfa.
“Bukan bawel. Tuh! cewek yang di samping Dika!” kode Arfa akan orang yang di maksudnya
“Oooohhhhh...” respon mereka serentak dan berima, langsung paham mengapa Arfa ingin cepet-cepat kembali ke meja mereka. Selain Arfa dan Ina, ada Sarah dan Fani atau yang telah biasa mereka panggil Peni. Mereka berempat merupakan sebuah geng cewe yang tak terpisahkan di masa SMA dulu.
“Eh eh, jeng!” Sarah melempar suara ke forum mereka berempat dengan gimik yang khas.
Kalau Sarah memakai kata panggilan jawa “jeng” pada permulaan topik, ditambah sebuah gimik seperti pembawa acara dihadapan teman-temannya, tandanya ia punya gosip yang yang hendak ia bagikan.
“Apa? Apa? ” jawab Ina tak sabaran. Rasa penasarannya terhadap dunia pertukaran informasi tak pernah lindap walau ia telah mempunyai seorang anak.
“Si Dika...”
Sarah menarik nafasnya, mencoba mengatur sistem pernafasannya, mengedalikan jiwanya yang bergejolak hebat sebab ia mempunyai informasi A1.
“Dia udah punya cowo!” Sarah masih tak bisa mengatur saluran pernafasannya. Dia membuka hp yang tak jauh dari jangkauannya.
“Ini kalo lo gak percaya,” Sarah menunjukkan sebuah foto pada teman-temannya yang kini merubungnya lebih dekat.
Sarah, memang penggosip jempolan, ia punya data lengkap yang sangat akurat atas informasinya yang tak biasa itu. Ina mengambil dengan cepat hp yang di pegang Sarah.
“Waaah! Kita aja yang cewe susah dapet yang ganteng, Si Dika malah gampang banget dapetnya, udah ganteng, bule lagi!” Ina sedikit iri pada objek pergosipan mereka.
“Dan lo tau gak? Si Dika ama tuh bule bakal nikah dua bulan lagi!” tutup Sarah dengan elegan.
Arfa dan Ina terpana, tak percaya. Lama mereka terdiam. Lalu mereka berteriak, seperti gadis remaja.
“AAAAA!!!” pekik mereka berdua hampir bersamaan, disambut tawa berderai. Reaksi histeris itu membuat mereka jadi pusat perhatian seluruh hadirin reoni. Tapi mereka tak peduli, tawa mereka makin lama makin kencang, seperti sudah lama mereka tak tertawa dan Sarah rupanya masih punya informasi baru.
“Kabarnya sih ya, Si Dika ama cowoknya mau ngadain...”
“Udah Rah! Udah... Kita udah terlalu tua buat ngomongin hal begituan. ” potong Arfa, ia tak tahan lagi dengan kepribadian Sarah yang terlalu informatif.
“Arfa? Hellooo! Please deh! Ini kabar belum ada yang tau!” Sarah tak suka acaranya di cut Arfa.
“Ga baik lo Rah nge gosip mulu, dosa tau!” Arfa memberi pandangan yang rasional pada sahabatnya yang gila data itu.
“Uztazah, tolong ya, ini acara reoni, bukan majelis taklim!” Sarah merespon dengan tak kalah ilmiah.
“Tau nih lo Fa, kalau lu mau ceramah tu subuh-subuh, bareng Mamah Dedeh. Jangan malem-malem gini!” Ina membela informan berharganya. Kurang suara, Arfa mengalah.
“Bentar-bentar. Dika mau nikah sama cowok ya? Emang boleh?” Peni, yang dari tadi bingung dengan topik pembicaraan sahabat-sahabatnya membuka suara.
“Tauk... Coba lu tanya sama nih uztazah!” Sarah merespon Peni sambil bergimik menujuk Arfa. Dalam geng mereka, Peni memang agak sedikit lambat prosesornya.
“Dalam Islam gak boleh kan Fa, cowo nikah sama cowo?” Peni bertanya dengan lugunya kepada Arfa.
Arfa hanya tertawa kecil melihat kepolosan temannya. Malah Ina yang tergoda menjahili kepolosan Peni.
“Kadang di agama lain boleh lagi Ni. Lagian kita juga gak tau agama si Dika apa.” Goda Ina. Tampak Peni mulai serius, tapi keseriusan itu membuat tubuh Sarah bergetar karena menahan tawa.
“Gini ya temen-temen, walau mungkin ada agama atau ajaran yang membolehkan pernikahan sejenis, tapi hukum di negara kita tidak melegalkan perkawinan semacam itu, karena ngak sesuai sama undang-undang dasar yang telah kita sepakati.” Jelas Peni