Panggilan kepada penumpang pesawat dengan nomor penerbangan JT 0198 tujuan Tanjung Pandan. harap ke segera masuk ke ruang tunggu...
Matahari mulai tampak benderang saat Arfa sampai di terminal keberangkatan Bandara Soekarno Hatta. Ia mengambil penerbangan pagi, jam sembilan. Ia membawa satu koper besar bersama satu tas sandang yang berisikan barang-barang penting yang ia apit di lengannya. ia datang sendiri dan tak ada yang mengantarnya. Pakaiannya santai, khas orang-orang yang sudah biasa berpergian menggunakan pesawat, lagipula kali ini adalah perjalanan domestik yang perjalanannya tidak panjang, paling lama empat jam. Sesudah memastikan tak ada barang yang tertinggal dalam taksi, Arfa segera masuk ke terminal untuk check in.
Karena hari ini adalah weekday, hari kerja, suasana di dalam terminal tak terlalu ramai. Arfa segera bergabung dalam antrian di salah satu loket check in. Agar tak kebosanan menunggu, ia memakai headset. Tanpa Arfa sadari, di muka barisan antrian, ada sesosok laki-laki yang tak asing, laki-laki yang beberapa hari lalu menghampiri dirinya dan sahabat-sahabatnya di meja mereka duduk saat acara reoni, laki-laki rese yang mereka panggil Cumik alias Zumi. Tapi laki-laki itu juga tak tahu akan kehadiran Arfa, perhatiannya tertuju pada sosok perempuan cantik yang menjadi petugas di counter check in.
“Mbak? Oo mbak?!” Zumi mencoba mengajak ngobrol petugas perempuan di hadapannya, tapi petugas konter check in tersebut cuek, ia fokus menghadap layar komputernya.
Tak dihiraukan petugas perempuan itu, laki-laki itu mengetuk-ngetuk meja desk board dengan telunjuknya, making some noise sembari melihat identititas si perempuan pada name tag yang ia semat.
“Mbak risa, oo..mbak risa, cuek banget...” laki-laki itu menghalus-haluskan suaranya.
Petugas perempuan itu kesal, mengalihkan pandangannya ke arah Zumi.
“Mas! Tolong! Jangan ganggu saya, saya lagi kerja.” meskipun kesal, perempuan ini tetap menjaga kesopanan tutur bahasanya.
“Waah! Bener kan tebakan saya...” mata Zumi berbinar
Dahi dan mata petugas wanita itu merengut, tak disangkanya respon Zumi akan sesenang itu.
“Iya mbak! Bener banget tebakan saya, mbaknya lebih cantik kalau ngomong.” Zumi mengucapkannya sambil memanis-maniskan senyumnya.
Dari merengut, dahi dan mata petugas perempuan itu melebar, tak percaya, tak percaya bahwa Zumi menggodanya. Dan tampak jelas pula diwajahnya, godaan Zumi sedikit memikatnya.
“Eh! mbaknya senyum,” goda Zumi lagi.
Petugas perempuan itu mengalihkan pandangannya ke layar komputer dengan sedikit tertawa, sebuah ekspresi yang tergaris karena lucu dan senang. Lucu karena tak menyangka di umurnya yang matang ini masih ada lelaki yang merayunya dan senang karena diumurnya yang sekarang ini, ia masih memilki pesona untuk membuat lelaki menggodanya.
“Boleh minta ktpnya mas?” sang petugas wanita menjulurkan tangannya ke arah Zumi
Zumi mengambil dompet dari saku belakang, mengeluarkan kartu identitas yang di minta si petugas perempuan, lalu memberikan kartu itu pada sang petugas perempuan. Sang petugas perempuan memegang kartu itu, mencoba mengambilnya, namun tangan Zumi masih erat memegang ktp itu.
“Eh!” petugas perempuan itu kaget, mendapati tangannya dan tangan Zumi saling memegang ktp itu. dan terlebih, mata zumi menatapnya dengan menggoda.
Yang terjadi adalah sebuah momen romantis yang filmy, dimana Zumi dan sang petugas perempuan saling memegang sebuah kartu sambil memandang lekat satu sama lain. Zumi agak mendekatkan wajahnya pada sang petugas perempuan.
“Cukup ktp aja kan, Mbak Risa?” Zumi mengatur tempo kata-katanya sedemikian rupa sambil menyimpulkan senyum dibibirnya, sebuah gaya khasnya ketika menggoda wanita. Sang Perempuan itu tersenyum geli mendengar godaan Zumi. Untung saja dia bukan lagi gadis remaja yang kan tersipu dan terbuai dengan gombalan murah itu, tapi wajahnya tak dapat menyembunyikan bahwa ia senang. Detik itu ia sadar, bahwa drinya, sebagai perempuan, sedewasa apapun, tetap suka digombalin.
“Saya udah tunangan mas,” katanya lembut, perempuan itu menatap mata Zumi dengan manis, tak ingin laki-laki itu memperpanjang harap.
“Tapi nikahnya belum kan?” Zumi belum mau kalah.
Sang petugas perempuan itu tertawa mendengar kalimat Zumi. Lalu ia mengangkat tangan kirinya.
“Mas nya telat dua bulan.” perempuan itu mengayunkan jari-jarinya di hadapan Zumi, memamerkan sebuah cincin emas yang tersemat di jari manisnya
“Aih” Zumi memegang dadanya sambil memejamkan mata, sangat kentara terlihat Zumi seolah tersakiti. Tapi wanita itu tahu, dari bentukan dan gerak-geriknya, Zumi tak serius dengannya, laki-laki itu hanya iseng saja dan ia pun senang di isengi secara sopan oleh Zumi, ia mendapat hiburan ditengah shift panjang yang melelahkan.
“Udah cantik, setia lagi, Ah! kalau kesempatan kedua memang ada, Whatsapp saya ya mbak! Nomer saya ada kan disitu?” Zumi menunjuk ke arah monitor komputer.
Sang petugas perempuan merobek kertas boarding pass dari mesin print, merapikannya, lalu menyerahkan boarding pass itu beserta ktp pada Zumi dengan tertawa geli. Zumi menerima tiketnya lalu berlalu, namun beberapa langkah, ia berbalik, sedikit berteriak.
“Hp saya aktif mbak, dua puluh empat jam.” seluruh orang yang mendengar teriakan Zumi menatapnya. Zumi malah tersenyum dilihati orang-orang. Mendengar teriakan itu, si petugas perempuan itu menggeleng-geleng sambil tersenyum geli. Ia mempersilahkan seorang bapak-bapak dalam antrian untuk mendekat ke counternya.
“NEXT!”
Dalam antrian itu, Arfa fokus melihat layar handphone sambil memakai headset, ia tengah mendengar sebuah podcast seru tentang perdebatan LGBT yang dibahas dengan berbagai sudut pandang. Jadi, ia sama sekali have no idea tentang apa yang terjadi di muka antrian. Tak beberapa lama, ia telah memegang boarding passnya.
Di ruang tunggu, sambil menunggu jadwal keberangkatan pesawat, Arfa iseng mampir ke sebuah toko buku. Seperti para penggemar fashion yang sangat suka mengunjungi butik, orang yang hobi membaca juga sangat gemar menghabiskan waktu di toko buku. Semula ia tak niat membeli buku, ia hanya ingin melihat-lihat saja, memanjakan matanya memandangi cover-cover lusinan buku yang terpajang rapi dalam rak sambil membaca sedikit sinopsis di bagian belakang buku. Tapi sebuah buku, yang telah lama ia tahu dan ia gemari penulisnya, mengambil perhatiannya. Telah lama ia ingin membaca buku itu, sebuah terjemahan kumpulan puisi karya seorang penulis perempuan legendaris dari India. Dan sekarang, di perjalanan tiga jam menuju tanah kelahirannya adalah waktu yang tepat untuk membacanya.
***
Saat ini anda berada di penerbangan menuju Bandara Kuala Namu, Medan. Dengan ketinggian sepuluh ribu kaki di atas permukaan laut...
Setelah lepas landas, aturan untuk tetap duduk di kursi penumpang dan mengikat seat belt di nonaktikan, suara seorang pramugari menggema syahdu di dalam kabin pesawat. Keadaan di dalam kabin tidak terlalu ramai, banyak bangku-bangku kosong. Dalam barisnya, Arfa duduk sendiri, ia fokus membaca buku terjemahan puisi yang ia beli di ruang tunggu tadi.