Sejak diresmikan, Bandara Internasional Kuala Namu yang berlokasi di Deli Serdang, Sumatera Utara ini menjadi bandara dengan aktivitas paling padat di pulau Sumatera karena memiliki fasilitas yang lebih lengkap dari bandara kota-kota besar lainnya di daratan Andalas. Pesawat-pesawat besar kerap transit di bandara ini sebelum terbang ke kota bandara-bandara kecil di belahan utara dan barat Sumatera lainnya seperti Banda Aceh, Padang dan Pekan Baru. Sedang kota-kota di bagian timur dan selatan Sumatera lainnya seperti sepert Jambi, Palembang dan Lampung, pesawat kerap mampir dulu ke Bandara Hang Nadim, Batam.
Data-data itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan mengapa traffic dari Bandara Kuala Namu hampir tak pernah sepi. Sejak ia duduk, Puluhan pesawat, terbang maupun mendarat, pergi dan datang, telah dilihat Arfa dengan jelas dari dinding kaca transparan terminal dalam waktu kurang dari satu jam.
Di antara bangku-bangku panjang di ruang tunggu besar bandara, Arfa duduk sendirian, ia memegang buku puisi itu di tangannya sambil membolak-balikkan halaman, bukan untuk membacanya melainkan untuk mengusir kerisauannya. Ia gelisah dan lebih parahnya lagi, ia tak tahu harus bagaimana.
Lebih dari sekedar ketinggalan pesawat, barang-barang sangat pentingnya, dompet dan handphone tertinggal di dalam kabin penumpang pesawat. Ia tak bisa memesan tiket lain karena atm-nya ada di dalam dompet. Ia juga tak bisa menghubungi siapapun karena seluruh kontak ada dalam ponselnya. Hal itu diperparah dengan tak satupun nomor telepon dari koleganya dihafalnya, baik sahabat, keluarga maupun orang-orang yang mungkin menolongnya. Satu ironi dari semakin canggihnya tekhnologi dan informasi membuat orang terlalu sepele untuk menghafal nomor-nomor penting.
Sebelum-sebelumnya, tak pernah Arfa menyesali menghapus akun instagram maupun facebooknya, yang ia ingat hanya akun emailnya, tapi akun email itu tak banyak membantu, akun email dari masa SMA yang sangat jarang dibukanya. Ia juga tak punya kenalan yang berdomisili di sekitaran Kota Medan. Kali ini Arfa betul-betul gusar karena tak menemukan solusi dari situasi yang di hadapinya. Hampir satu jam, ia duduk melamun, menyaksikan pesawat mondar-mandir sebari melihat aktifitas yang ramai di ruang tunggu, memandangi orang berlalu-lalang dengan kesibukannya atau sekedar membolak-balikan halaman buku untuk mengusir kerisauannya.
“Emang sih, gua gak pernah baca satu buku full tulisannya Amrita Pritam, karena referensi sastra gua masih di dalem negeri, gak ke luar. Puisi–pusi terkenal kayak aku mencintaimu dengan sederhana karyanya Sapardi, kangen-nya Rendra, sama beberapa puisi karya Chairil Anwar jadi favorit list gue. Ya bisa dibilang, favorit gue, juga favorit semua orang.”
Arfa berhenti membolak-balikan halaman buku, telingan terasa akrab dengan sosok pemilik dari suara yang baru ia dengar itu. Spontan, Arfa melihat ke belakang, ke arah sumber suara itu, untuk memastikan. Dan ternyata, telinganya tak salah, laki-laki mengesalkan yang dia temui di pesawat tadi, Zumi, duduk santai membelakanginya. Melihat keterkejutan Arfa, Zumi berdiri, lalu berjalan memutari bangku panjang, hendak ke hadapan Arfa.
“Tapi salah satu karya beliau, kita akan bertemu lagi, bener-bener wow banget, its really blow my mind. Pemilihan katanya, cara penyampaiannya,” Zumi menunjuk sebuah bangku kosong di samping Arfa. Dengan mimik wajah, ia meminta pada Arfa agar berkenan mempersilahkan dirinya untuk duduk disampingnya. Arfa tidak mengiyakan maupun menolak permintaan tersebut karena masih tak percaya dengan keberadaan lelaki di hadapannya. Zumi membalasnya dengan senyum, lalu duduk deretan kursi di depan Arfa.
“Jadi gue gak heran kenapa lu bisa fokus banget baca puisi-puisinya beliau, sampe gak mau di ganggu.” Zumi meletakkan ransel yang ia bawa di lantai.
Arfa tak mengomentari apupun, setelah hilang keterkejutannya, ia memilih diam. Zumi melihat buku yang dipegangi Arfa.
“Jiwa sastra lo emang luar biasa ya? Tas, dompet sampe hp lo ketinggalan, tapi tu buku masih lu pegang?” Zumi membaca keadaan Arfa. Perempuan itu tak mengiraukannya, ia kembali membolak-balikan halaman buku.
“Baru nemu gue cewe yang lebih pilih buku ketimbang hp.” Zumi mengucapkan itu sambil tersenyum.
“Gausah ngeledek ya pak!” komentar Arfa sambil menutup buku.
“Enggak, gua gak ngeledek kok! Gak ada niat juga.” sanggah Zumi sambil tertawa.
“Terus kenapa lu ketawa?” tanya Arfa
“Lucu sih soalnya, hehe.” Zumi masih tak bisa menahan tawa.
“Itu namanya tetap ngeledek, bapak!” ucap Arfa padanya.
“Hehe, sorry. Tapi serius. Gua gak pernah nemu gue cewe yang lebih pilih buku ketimbang hp.” Zumi memperbaiki gaya duduknya menjadi lebih baik.
Arfa menatap Zumi dalam-dalam
“No! I really mean it.” Zumi menegaskan kekagumannya. Arfa tak niat menanggapi, moodnya tak bagus.
“Tenang aja kok, ni masih siang, pesawat ke Aceh masih banyak, pake duit gua aja dulu.” Zumi mengubah lagi gesture duduknya, sebuah gestur untuk lebih serius.
“Eh! Gausah Zumi!” Arfa menolak dengan cepat, tampak jelas di wajahnya bahwa ia tak ingin punya utang budi, apalagi dengan laki-laki mengesalkan di hadapannya.
“Gapapa loo, aman. Entar di Jakarta tinggal lu balikin. Gimana?”tawar Zumi padanya.
“Gua gak enak entar ngerepotin elu lagi,” Jawab Arfa kekeh menolak.
“Dompet sama hp lu ketinggalan, lu mau minta tolong ama siapa disini? Elu emang harus ngerepotin orang kalau ketinggalan pesawat!” ucap Zumi beretorika.
Arfa tertawa mendengar retorika Zumi itu.
“Makasih mi, tapi gapapa kok. Kalau boleh gua pinjem hp lo aja, boleh? Buat nelpon orang tua?” Arfa mengulurkan tangannya.
“kalau gua saran sih, jangan.”
“Kenapa?” Arfa menarik tangannya.
“Lo mau bilang sama orang tua lo, kalo lo ketinggalan pesawat? Terus tas, dompet ama hp lo gak lu ketinggalan di kabin. Lo bisa bayangin kan gimana paniknya mereka?"
Arfa terdiam sejenak, dalam hatinya ia setuju dengan saran Zumi. Tapi ia tetap tak ingin punya utang budi dengannya. Namun, ia juga sadar hanya Zumi satu-satunya peluangnya untuk bisa keluar dari masalah ini.
“Seriusan lu mau bantuin gua?” Arfa lalu memandang mata Zumi dengan seksama, mencoba membaca isi di dalamnya.
“Gak! Gua becanda, lucu gak?” wajah Zumi tampak serius.
Dahi Arfa mengernyit, lalu ia sadar Zumi cuma bercanda. Ia tertawa.
“Tapi Mi, emang bisa pesan tiket gak pake identitas?” tanya Arfa, ia gelisah sebab tahu transaksi dalam bisnis transportasi udara wajib memakai identitas pengenal.
“Kan udah gua bilangin dari tadi, lu tenang aja!” jawab Zumi sebari meraih ranselnya di lantai. Arfa masih risau karena jawaban Zumi menggantung, ia ingin bertanya lebih lanjut untuk mendapat kepastian, tapi melihat ketenangan Zumi, ia memilih ikut saja.
Zumi beranjak dari tepat duduknya, ia berjalan beberapa langkah, lalu berbalik.
“Lu megang boarding pass pesawat tadi gak?” tanya Zumi
“Enggak. Emang kenapa?” Arfa menggeleng
“Gapapa, aman. Oh ya! nama lu siapa?” Zumi kembali bertanya pada Arfa
“Arfa,” Arfa menjawab dengan bingung. Zumi lantas tertawa.
“Haha! Itu gua tau. Maksud gua, nama lengkap lu, siapa?” tanya Zumi sambil tersenyum.
“Arfaana Sofyan.” jawab Arfa kalem.
Mendengar nama itu Zumi tersenyum. Ia langsung bergegas ke loket penerbangan. Arfa mengikuti Zumi dari belakang.
***
Di dalam ruang loket maskapai, Zumi begitu cekatan berurusan dengan petugas loket, ia begitu handal berbicara dan bernegosiasi, ia dengan mudah dapat mengurus tiket Arfa meski perempuan itu tak punya kartu identitas. Zumi tampak begitu profesional. Dalam daripada itu, Zumi juga mengurus barang-barang bawaan Arfa yang tertinggal di dalam kabin pesawat untuk di kirimkan ke rumah tinggal Arfa di Banda Aceh. Melihat itu semua, dari semula kesal pada Zumi, Arfa menjadi kagum padanya. Ia begitu macho ketika bernogosiasi dengan petugas loket, sampai petugas itu tak punya pilihan selain mengikuti kemauan Zumi.
“Lu kok bisa tau gini-ginian sih?” tanya Arfa padanya.
“Gua jalanin bisnis travel, jadi udah biasa ngurus-ngurus beginian.” Zumi santai saja menjawabnya, negosasi macam begini sudah menjadi pekerjaannya. Jadi ia tak dapat menangkap hawa kegaguman Arfa padanya.
“Oh, pantes...” ucap Arfa sambil tersenyum
“Ini adanya jam empat sama jam tujuh, kakak mau penerbangan jam berapa?” tanya seorang perempuan yang menjadi petugas loket tiket menyela obrolan mereka. Arfa berfikir sejenak.
“Yang paling cepet jam empat ya kak? Emm, jam empat aja deh!” jawab Arfa.
“Baik kak!” petugas loket itu mengangguk, lalu memproses tiketnya.
Tak lama, Arfa sudah memegang tiketnya, mereka keluar dari ruangan itu. Zumi lalu mengajak Arfa untuk ngopi.
“Lu laper gak?” tanya Arfa
“Ngak, pengen ngopi aja. Kenapa, lu lapar ya?” tanya Zumi balik.
“Lumayan sih.” jawab Arfa sambil menyengir.
“Bilang dong dari tadi! Yaudah makan dulu yuk! pesawat lu juga masih dua jam lagi.” ajak Zumi sambil melihat jam tangann di lengan kirinya..
“Oke deh!” senyum Arfa demikian sumringah. Mereka berjalan menuju sebuah tempat makan di suatu sudut bandara.
“Lu kok mau nolongin gue?” tanya Arfa membuka pembicaraan.
“Kan lu temannya Ina. Temannya Ina, temannya gua juga.” Zumi menjawab dengan santai.
“Masa itu doang alasannya kenapa lu nolongin gua?” Arfa mendalamkan tone suaranya, menyelidiki lebih jauh.
“Ok ok. Gini ya buk! Gua pernah, bahkan sering banget dulu ketinggalan pesawat pas-pas masih kuliah. Gua tau gimana rasanya ketinggalan pesawat. Rasanya berada di tempat asing, gak ada kenalan, gak ada tempat buat minta tolong. Tau banget gua. Jadi, gua gak mau di hantui rasa bersalah seumur hidup gua, gara-gara gua gak nolong elu. Jadi, jangan geer ya buk.” Zumi agak kesal, ia menangkap kesan dari Arfa bahwa tindakannya menolong perempuan itu, ada udang dibalik batu.
Mendengar itu semua, Arfa tersenyum.
“Makasih ya...”demikian sumringah senyumnya.
“Ya.” jawab Zumi singkat.
Mereka sampai di restoran. Memesan makan lalu duduk di sebuah pojokan dekat dinding kaca.
“Serius lo gak makan?” Arfa melihat Zumi hanya memesan kopi saja, sedangkan ia memesan dengan porsi penuh.
“Gak lapar gua, udah makan aja lagi! Santai...” Zumi menyeruput kopi di tangannya.
“Dibeliin tiket pesawat, di traktir makan, selanjutnya apa nih pak? Di ajak check-in?” celetuk Arfa.
Zumi yang tengah menyeruput kopi dari gelas tersedak, pakaiannya sedikit basah terkena cipratan kopi dari mulutnya. Matanya terbuka lebar, memastikan Arfa benar-benar memberi pertanyaan tersebut.
“Ya gua mastiin aja lo bukan penjahat kelamin, soalnya gua gak pernah nemu trik beginian...” Arfa dengan mantab memastikan pada Zumi bahwa itu pertanyaan itu dilontarkannya kepadanya dengan kesadaran penuh.