A Trip to Your Wedding

Rahmatul Aulia
Chapter #8

Ek Ladki Ko Dekha Toh Aisa Laga

Setelah hampir satu jam melewati gapura perbatasan antara provinsi Aceh dan Sumatera Utara, hanya beberapa mobil yang dilihatnya berlalu-lalang di jalan, bahkan Zumi sampai menghitungnya, tak lebih dari tujuh mobil dilintasi atau melintasi mobil yang mereka kendarai. Zumi maklum soalnya ini bukan waktu yang biasanya orang gunakan untuk pulang maupun pergi. Tak ada sepeda motor yang ia lihat melintas, dan itu wajar. Tak ada orang waras yang cukup gila melewati jalur ini pada malam hari dengan mengendarai sepeda motor. Nyaris tak ada perkampungan yang dilihat Zumi, dari tadi ia ditemani oleh paduan suara-suara binatang yang tak terlalu ia tahu namanya dari kegelapan hutan sana. kalau tak ada cahaya dari lampu mobil jeep yang menerangi jalan, otomatis, yang ada hanya gelap total sebab selain kiri maupun kanan jalan adalah hutan belantara, almanak menunjukkan akhir dari sistim penanggalan bulan. Jadi satelit Ciptaan Tuhan dilangit sana tak tampak.

Berjam-jam menyetir, Zumi kelelahan, lelah itu lalu menciptakan rasa kantuk, tanda ia butuh istirahat. Ia melihat jam tangan yang tersemat di lengan kirinya, jam menunjukkan pukul satu dini hari. Di sampingnya, Arfa juga terlihat lelah, matanya juga tak bisa membohongi kalau ia juga ngatuk berat. Tapi urung ia pejamkan mata, tak sampai hati ia meninggalkan Zumi sendirian. Untuk menghilangkan rasa kantuknya, Arfa membuka pembicaraan.

“Jalanan sepi banget ya?” ucap perempuan itu sebari menyapu pandangannya pada panorama di samping jalan.

“Bukan jalan utama, pasti sepi lah Fa! lagian kita lagi di hutan, ya wajarlah. Kalau rame baru gak wajar,” meskipun letih, Zumi tak kehilangan selera humornya.

Arfa hanya menyegir mendengar lelucon itu, sebetulnya joke itu cukup lucu baginya, tapi rasa kantuk yang berat menghilangkan gairahnya untuk tertawa. Arfa memandangi Zumi, pria itu tampak keletihan menyetir, dari tadi, tak henti-hentinya lelaki itu menguap.

“Sini Mik! Biar gua yang nyetir!” Arfa menawarkan bantuan.

“Gapapa kok Fa! Masih kuat gua.” Zumi fokus memandangi jalan sambil memegang erat stir mobil.

“Udah! Sini gua yang nyetir, lu udah capek banget tuh!” paksa Arfa.

Huaaaaapp! Lo emangnya gak capek?” Zumi tak dapat menyembunyikan rasa kantuknya.

“Cape juga sih! Tapi ya gimana, masa istirahat disini? Entar ditongkrongi macan lagi.” kali ini giliran Zumi yang cuma menyengir mendengar gurauan Arfa, rasa lelah dan kantuk juga menghilangkan gairahnya untuk tertawa.

Sekilas di kejauhan, di ujung jalan sana, dengan samar mata Arfa menangkap sebuah kilatan cahaya.

“Eh Mi! Itu disana kayaknya ada penginapan. Istirahat disana bentar yuk! Sambil mungguin pagi?” ucap Arfa, benar prasangkanya, kilas cahaya itu adalah harapan bagi mereka, sebuah cahaya yang menerangi plang sebuah losmen di ujung jalan.

“Ok!” Jawab Zumi singkat sambil mengucek matanya. ia benar-benar butuh istirahat.

Zumi lalu memakir mobil di halaman penginapan. Ada beberapa truk-truk muatan besar dan mobil-mobil pribadi terpakir di depan losmen yang jauh dari kesan mewah, bahkan terlihat kusam.

“Jelek ya penginapannya ya?”Zumi melihat sekilas losmen itu. wajahnya yang cemberut tampak begitu jelek karena letih.

“Lumayan lah buat Mi buat istirahat bentar! pagi kita langsung cabut, ok?” sebenernya ia setuju dengan betapa kusamnya losmen ini, tapi ia kasihan melihat Zumi yang keletihan. Jadi, dikesampingkan dulu kenyamanannya.

“Ok buk!” Zumi mengacungkan jempolnya.

Mereka lalu masuk ke dalam losmen. Begitu membuka pintu, di dalam lobby penginapan, tampak seorang lelaki, tak begitu tua, namun terlalu tua untuk disebut muda terlihat duduk sendirian di meja resepsionis. Lelaki itu memakai jaket tipis plus menyelendangkan sarung di badannya serta mengenakan kuplu di kepalanya agar tak kedinginan. Tubuhnya kurus dan matanya kuning, tanda keseringan begadang. Ia menghisap rokok kretek murah sambil menyaksikan sebuah tontonan dari layar ponsel. Kedatangan Zumi dan Arfa membuatnya menghentikan aktifitasnya, tapi rokok kreteknya yang murah itu masih mengantung di bibirnya yang hitam. Ia lalu berdiri, merapikan sarung di pundaknya, membenarkan topi kuplu di kepalanya lalu membuka sebuah buku besar di depannya. Karena konsepnya sederhana dan tentu saja, murah, sistem penginapan ini masih tradisonal. Zumi mendekat pada resepsionis itu sambil membuka dompetnya.

“Bisa pakek credit card gak, bang?” tanya Zumi.

“Gak ada kredit-kredit, CASH!!!” laki-laki resepsionis itu emosi, ia tampak kesal diganggu Zumi yang menurutnya justru meminta utangan di pagi buta untuk memakai jasa penginapan.

Zumi lalu mengeluarkan kartu kreditnya dari dalam dompet.

Kartu kredit?” Zumi mengacungkan sebuah kartu kredit di depannya. Resepsionis itu bingung melihat secarik kartu yang diacungkan Zumi. Zumi lantas sadar kalau respsionis itu tak mengerti pembayaran dengan credit card. Zumi lalu memasukkan kartu kreditnya ke dalam dompet.

“Net-nya?”Zumi kembali bertanya.

“Hah?” resepsionis tampak bingung dengan apa yang dikatakan Zumi. Zumi menyadari kalau laki-laki si resepsionis ini juga tak paham dengan istilah-istilah canggih perhotelan. Ia segera paham lelaki seperti apa di hadapannya.

“Gini-gini Bang. Berapa sewa kamar per harinya? Paham ya?” Tanya Zumi dengan hati-hati untuk memastikan orang di depannya paham dengan apa yang ia mau.

Resepsionis lalu melihat Arfa yang berdiri dibelakang Zumi, tiba-tiba ia menyeringai halus, sebuah seringai yang dibarengi dengan tatapan mesum.

“Abang... Butuh kamar... Yang ... Per jam gak?” Resepsionis men-ter-bata-batakan suaranya dengan maksud menggoda.

Zumi terkejut. Ia langsung paham dengan maksud si resepsionis.

“Hey Ucok! Kau jawab aja apa yang aku tanya. Gausah macem-macem kau ya! Berapa sewanya per hari?” Zumi mengacunkan telunjuknya tepat di depan wajah resepsionis. Tersinggung berat ia pada anggapan tak senonoh itu.

Mendapati Zumi marah, resepsionis langsung ciut, ia jadi takut melihat Zumi. Ia mengalihkan pandangan ke sebuah buku besar di depannya. Arfa yang dari tadi diam saja, maju ke depan meja resepsionis.

“Ngapain ngambil satu hari Mik? kita kan gakkan tinggal lama sampe satu hari.” katanya halus pada Zumi.

“Fa, biar gue aja yang ngomong,”

“Kita kan bisa sewa kamarnya per jam, hemat biaya!”

“Fa, gini...” Zumi mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Arfa, namun.

“Duit cash kita tinggal dikit lagi, beg*! Kita juga gak tau besok ketemu ATM apa enggak. Udah! Sewa per jam aja!” belum sempat Zumi menjelaskan, Arfa memotong dengan cepat, ia heran kenapa Zumi malah marah saat diberi solusi yang lebih ekonomis. Lalu ia sendiri yang mengambil tindakan.

“Bang! kita sewanya per jam aja!” kata Arfa pada resepsionis.

“Fa! Lo gak ngerti, maksudnya dia...” Zumi kembali mau meluruskan keadaan yang salah pahami Arfa, namun perempuan itu kembali memotongnya.

“Kenapa ribet amat sih?! Kan kita gak sampe satu hari disini! Udah bang! Deal!! Kami sewa kamarnya per jam!” tegas Arfa. Zumi melihat Arfa dengan tatapan tak percaya. Tapi ia tidak ingin memperpanjang urusan, Zumi tahu hanya akan memperbanyak masalah mendebat perempuan berkarakter berurat tegang sepertinya. Jadi, solusi terbaik ialah memilih diam. Zumi kemudian menngagguk tanda setuju dengan ide Arfa untuk menyewa kamar dengan tarif per jam.

“Berapa jam bang?” Resepsionis hotel itu tersenyum ke arah Zumi. Dari raut wajahnya, tampak ia menikmati pertengkaran Arfa dan Zumi

Zumi lalu melihat ke arah Arfa, meminta keputusannya akan berapa lama mereka menyewa kamar.

“Hmmm... Tiga... Tiga jam cukup kan?” tanya Arfa pada Zumi, Zumi membalas dengan mimik muka “terserah lo aja.”

Lihat selengkapnya