A Trip to Your Wedding

Rahmatul Aulia
Chapter #10

Di Tepi Danau Laut Tawar

Meski ia tak terlalu akrab dengan Arfa, tapi sejauh yang Zumi kenal, dari semenjak zaman sekolah dulu, pribadinya memang cuek, hemat kata dan diplomatis bagi mereka yang tak terlalu mengenalnya. Tapi di dekat sahabat-sahabatnya, kepribadiaanya berbalik seratus delapan puluh derajat, menjadi pesona seorang seniman. Maka Zumi tak heran dengan pribadinya seperti saat ini. Bersahabat, perasa, lucu, cerdas dan setia, begitu menyenangkan berada di sisinya.

Justru yang Zumi herankan adalah ketika berjumpa kembali dengan Arfa di acara reoni, perempuan itu tampak seperti orang kebanyakan berpikir, tak terlalu suka bersosial dan cenderung tertutup, tampak jelas bahwa ia lebih suka bergaul dengan buku daripada manusia, kata-katanya jauh lebih hemat dari pada karakter perempuan yang jelita nan angkuh. Hal itu bahkan tak dapat disamarkannya meski tengah bersama para sahabatnya, di tempat dimana ia menjadi sebenar-benar dirinya. Gejala psikologis itu semakin jelas tampak pada dirinya saat Zumi satu pesawat dengan perempuan itu, matanya redup dan letih, tanda pemiliknya memiliki gejolak batin yang susah dimengerti bahkan oleh dirinya sendiri..

Jadi sekarang Zumi senang, meski mata perempuan itu tengah redup, auranya mulai membinar karena bibirnya tak berhenti tersenyum dan tertawa. Zumi senang kembali menemukan kepribadian Arfa yang dulu dikenalnya saat bersama-sama sahabatnya. Lihatlah perempuan itu sekarang, yang sibuk memilih baju di toko pakaian. Aura kebahagian kewanitaanya begitu meletup-letup sebab berbelanja saat liburan. Meski tampak kebingungan, namun jelas ia senang karena kebimbangan memilih model ukuran dan warna pakaian yang tepat untuknya, sebuah kebahagian klasik perempuan. Melihat itu semua, Zumi semakin senang, pemandangan seperti itu, kebahagian yang muncul saat orang sedang liburan, adalah salah satu dari sekian alasan Zumi menjalankan bisnis travel.

Arfa lalu keluar dari toko dengan ditemani dua orang pria yang ikut menenteng kantong-kantong berisi pakaian, belanjaannya begitu banyak sampai pegawai toko ikut membantu membopong belajaananya.

“Banyak bener Fa! Mau buka toko Lu?” celetuk Zumi melihat betapa banyaknya belanjaan Arfa sampai penuh bagian belakang mobil.

“Alah Bacot! Bantuin kenapa Mi?” suruh Arfa yang tampak sibuk mengatur belanjaannya. Setelah beres, Arfa kembali ke jok depan, siap berangkat.

“Habis ini kemana kita, Mi?” tanya Arfa sambil memasang seat belt.

“Takengon!” jawab Zumi. Ia memutar junci, menghidupkan mesin mobil.

“Berangkat!!!” pekik Arfa, ia mengacungkan tangan kanannya dengan semangat.

***

Cuaca demikian mendukung dan bersahabat untuk menikmati alam, mereka membuka penutup atas jeep, menikmati paduan hangat cahaya matahari pagi dan udara sejuk pegunungan. Sebuah pemandangan indah terhampar di depan mereka, Danau Laut Tawar, sebuah danau luas yang tenang dikelilingi gunung-gunung hijau yang asri. Arfa berdiri, merentangkan kedua tangannya sambil menutup mata, laju mobil dengan kecepatan sedang membuat kain hijabnya melambai-lambai.

Mereka lalu mampir di salah satu tempat wisata di pinggir danau tersebut.

“Dari dulu pengen banget gua kesini, tapi gak pernah kesampean. Asli, keren banget pemandangannya. Parah!” selain Arfa kesenangan dengan panorama yang dilihatnya, ia juga senang salah satu impiannya terwujud.

“Jangan kayak bocah Jaksel deh, lebay banget.” Komentar Zumi menanggapi kesenangan Arfa yang diartikan Zumi sebagai sebuah tindakan yang norak.

“Gua gak lebay ya! Dan Hush! Saya bukan cabe-cabe jaksel!” Arfamenggeleng-gelengkan telenjuknya, ia tidak setuju dengan judge Zumi padanya.

“Aksen ngomong gua emang kaya anak-anak jakarta, tapi gak melambai kaya cabe-cabe Jaksel.” sambung serta tegasnya pada Zumi.

“Kayak gimana emang cara ngomong cabe-cabe Jaksel?” tanya Zumi dengan melakukan mimik tanda kutip dengan kedua tangannya. Arfa lalu memperagakan cara berbicara norak ala-ala anak hits Jakarta Selatan. Zumi tertawa mendengarnya.

“Ya lo tau sendiri lah, ngomongnya campur-campur inggris biar keliatan lebih keren. Gua sih gak masalah apa-apa ya sama mereka yang ngomong campur-campur bahasa. Soalnya gua juga kadang suka gitu. Cuma yang gua kurang setuju nih sama anggapan kalau make bahasa inggris itu tandanya lebih pinter dari mereka yang gak pake. Karena menurut gue nih ya, bahasa cuma alat, bukan esensi dari komunikasi.” jelas Arfa panjang lebar. Penjelasan itu membuat Zumi kagum, ia lalu tersenyum-senyum sendiri. Arfa melihat senyum Zumi itu, ia jadi curiga.

“Napa lo senyum-senyum?” tanyanya pada Zumi.

“Gak ada, Cuma salut gua ama lo... Udah cantik, pinter, kerjaan lo bagus, tapi gak songong, gak merasa paling keren gitu.” Ucapnya pada Arfa. mendengar pujian itu, malah membuat Arfa yang tersenyum-senyum sendiri sekarang.

“Jadi lu ngakuin nih, kalo gue keren?” tanya Arfa padanya, memastikan kembali apa yang ia dengar. Zumi mengangguk, membuat Arfa senang.

“Yang paling gua salut sih, dengan lo yang sekarang, lu tetap milih buat berhijab. itu... Wow! hehe.. gak tau gue harus menggunakan kata-kata seperti apa buat ngejelasin hal yang tepat buat itu.” ucap Zumi. Seketika wajah Arfa berubah menjadi lebih kalem.

“Lucu ya?” respon perempuan itu.

“Lucu kenapa?” tanya Zumi, ia menangkap perebuhan ekspresi pada wajah Arfa.

“Ya lucu aja...” jawab Arfa. kalimat-kalimat itu menggantung. Membuat Zumi semakin diam untuk menyimaknya.

“Kadang gua suka mikir, apa gua kurang bersyukur sama apa yang gua punya sekarang. Dan gua tahu banget banyak orang di luar sana yang pengen di posisi gua saat ini. Gua tahu, tahu banget malah, ada banyak orang diluar sana yang gak seberuntung gua,” lirih Arfa sambil memandang jauh. Zumi mendekatkan tubuhnya, agak merapat di samping Arfa.

“Lo tau gak Mi? Padahal gua pengen banget jadi penulis, tapi Abi gua gak ijinin,” ucapnya lirih pada Zumi. Tubuh perempuan itu terlihat sedikit bergetar, tanda ia menyimpan suatu permasalahan yang ingin sekali ia bagikan.

“Kenapa?” tanya Zumi lembut padanya.

“Seperti yang bisa lo tebak, kaya jawaban klasik para orang tua pada umumnya, gak ada kepastianlah, gak aman lah, duitnya dikit lah, gak ada masa depannya lah, intinya yang bokap gue bilang, poinnya adalah kita hidup di jaman yang gila ini, semuanya udah serba praktis. semua informasi udah ada di internet. Tinggal tanya sama mbah google. Beres! Dan, siapa lagi coba yang mau baca buku?” jelas Arfa. ia menutup dengan sebuah pertanyaan retorik.

“Klasik ya?” respon Zumi. Ia menjawab pertanyaan retorik Arfa dengan mengajukan pertanyaan pula.

“Klasik parah! Haha! Terus, yaudah, habis tamat SMA, gua kuliah di jurusan pilihan Abi. Singkat cerita disini lah, ama elu...” tutup Arfa. walaupun raut wajahnya sedih, ada sedikit kelegaan dalam dirinya setelah menyampaikan kejujuran itu pada Zumi. Sedangkan Zumi sendiri menganggu-anguk paham. Ia tak tahu harus berkata apa, sebab sulit harus berkomentar bagaimana pada mereka yang berani jujur pada kegagalan mereka. Jadi, seperti pada kebiasaannya. Diam adalah komentar terbaik.

“Lo sendiri gimana? You love your job?” tanya perempuan itu pada Zumi.

“I do. Tapi standar sih.” Jawab Zumi.

“Standar gimana? cerita dong! gua kan juga pengen tahu kisah hidup lo” kulik Arfa lebih dalam.

“Simpelnya sih gini Fa! Karena gua udah terlalu banyak berdamai sama hidup, jadi, gua gak mau berdamai sama cara gua hidup. Gua mau hidup dengan apa yang gua suka!” jelas Zumi. Sekarang gilirannya yang memandang jauh. Arfa tersenyum mengangguk-angguk. Ia selalu suka pada kalimat-kalimat puitis nan filosofik.

“Dan itu kenapa lo suka traveling?” tanya Arka kembali pada Zumi.

“emm.. sama kaya kenapa lo suka baca buku?” jawab Zumi.

I know, its a passion, of course, keliatan banget. Tapi, gua pengen denger aja alasan kenapa? Biasanya, orang-orang yang milih kerja dengan apa yang mereka suka, pasti alasannya keren.” jelas Arfa. Zumi tersenyum mendengarnya, sebab pembicaraan mereka semakin menarik.

“Sama kayak banyak hal sih Fa! Kayak sastra, seni, musik, film, politik dan hal-hal lainnya yang jadi passion orang, dimana mereka bisa mencari, mempertanyakan dan bahkan menemukan kebenaran sebenarnya tentang mengapa mereka hidup.” jelas Zumi, mendengar itu, Arfa tak dapat menyembunyikan kekagumannya.

“Wih keren. Bisa ya lo!” respon Arfa pada penjelasan Zumi.

“Tapi, bedanya, gua traveling, biar gua bisa mengasingkan diri,” Zumi menggantung kalimatnya dengan sengaja, agar suasana lebih dramatis.

“Dari diri gua sendiri.” sambungnya, juga tutupnya dari menjawab pertanyaan Arfa dengan lengguhan panjang.

“Gimana-gimana? Gua gak paham.” ucap Arfa. dahinya mengernyit serta matanya mengecil. Zumi malah merespon ketidak pahaman Arfa dengan menyimpulkan sebuah senyum di bibirnya.

Lihat selengkapnya