Di langit sana, di ujung horizon sebelah barat, Matahari mulai turun ke perlahan, setia pada Titah Tuhannya, yang termaktub dalam hukum fisika untuk bergerat sekian derajat dengan konstan dalam waktu empat menit hingga cahayanya perlahan-lahan mulai berwarna jingga. Melihat alam yang indah lagi bersahabat, orang-orang keluar, menikmati anugerah Tuhan tersebut dengan mengunjungi tempat-tempat wisata, rumah kuliner, atau sekedar berlalu lalang di jalanan. Menggunakan mobil, motor, sepeda atau jalan kaki sesuai dengan kemampuan maupun keinginan bersama keluarga, istri, anak, kekasih maupun teman-teman, bahkan tak jarang dengan selingkuhan. Masyarakat lokal menyebut aktifitas menyenangkan ini dengan istilah jalan-jalan sore. Masyarakat Kota Takengon sangat menikmati aktifitas di sore hari itu dibandingkan melakukan hal menyenangkan itu pada malam hari. bukan karena disana terdapat aturan pelarangan untuk beraktifitas di malam hari dalam peraturan daerah yang dibuat pemerintah seperti diperlakukannya jam malam pada waktu konflik puluhan tahun lalu. Itu karena sewaktu malam, udara di kota itu terlalu dingin karena letak geografis kota mereka hidup tersebut berada di dataran tinggi. yang sangking tingginya, hawa dingin itu sudah menusuk tulang sejak sore hari.
Apa yang membuatnya kota ini begitu spesial? Karena kota ini adalah asal produk dari produsen yang menghasilkan salah satu komoditas yang paling dicari di dunia. Pernah mendengar nama Kopi Gayo? Disinilah tempatnya berasal. Banyak dataran tinggi di belahan dunia lain yang memiliki tanah yang begitu subur, namun tak semua diberi privilege, diberi keistimewaan untuk memiliki rahim yang sempurna untuk membiakkan biji kopi. Dan tentu, kabar yang anda dengar tidak salah, biji kopi Gayo ini memiliki kualtitas di atas rata-rata diantara biji-biji kopi lainnya di seluruh di dunia. Tak berlebihan jika menyebutkan kalau Kopi Gayo merupakan ras elite, kaum bangsawan diantara biji-biji kopi lainnya. Inilah kopi yang harga secangkirnya, jika anda beli di perusahaan retail yang gerainya menjamur di seluruh dunia bernama Starbucks itu, jauh lebih mahal dari harga setengah karung beras. Maka masyarakat kota ini, yang mayoritasnya adalah petani, makmur-makmur. Sebab industri kopi adalah bisinis ekspor dan tentunya, komoditasnya dihargai dengan Dollar. Berbeda dengan Aceh lainnya, terutama di wilayah pesisir yang komoditasnya adalah sawah. Kita tahu berapa rupiah dihargainya sebutir padi.
Sebab itu, kota ini juga dipenuhi dengan warung kopi di berbagai sudut. Mulai dari caffe elit yang biji kopinya diolah sedemikian rupa dengan cara modern dan termutaakhir mengikuti perkembangan zaman sampai warung kopi kampung yang bijinya di gongseng dalam wajan yang dipanaskan di atas kayu bakar. Warung kopi disana hanya sepi sewaktu hari raya Islam. selain itu, seluruh lapisan strata sosial: masyarakat sipil, pelajar, mahasiswa, pedagang, wiraswasta, pegawai negeri sipil, tentara, polisi, pejabat, pelancong, turis, tukang becak, para diplomat, kaum sosialita, para pencuri: baik pencuri rumah tangga maupun kas negara, para partikelir, para tim pemenangan partai, para penyitas gender, mereka-mereka yang mengalami disorientasi fungsi maupun para penjahat kelamin, semuanya, secara bergantian, shift shift-an, memenuhi warung kopi di setiap sudut kota kecil itu. Kiranya, tak berlebihan kata-kata anak senja itu, yang mengatakan bahwa kopi adalah teman terbaik dari setiap kondisi maupun situasi apapun yang dialami setiap manusia. Sebab kopi selalu jujur dan tak pernah menghakimi identitas penikmatnya.
Keindahan lainnya dari kota ini, kita bisa langsung ngopi di kebun kopi. seperti Zumi dan Arfa yang tengah duduk berdua di sebuah kedai kopi bertema retro yang menawarkan konsep ngopi langsung di kebun kopi. Hal itu tambah unik sebab kopi mereka di hidang dengan cangkir enamel yang klasik lengkap dengan sungguhan makanan ringan lokal yang masih hangat. Mereka berdua saling bercerita tentang masa lalu dan tertawa dengan kejadian-kejadian lucu, sambil ngopi menikmati senja.
“Emang gitu? Serius?” Tanya Arfa sambil lekat memperhatikan layar hp Zumi.
“Sampe segitunya si Dika?” tanya Arfa lagi dengan melihat Zumi, memastikan, Ia masih tak percaya dengan fakta yang Zumi ungkapkan. Mereka tengah membicarakan keabsahan cerita masa lalu dari seseorang di sekolah mereka.
“Dibilang ngeyel, yee, “ seru Zumi, menanggapi ketidak percayaan Arfa pada ceritanya.
“Tu orang emang udah aneh dari SMA.” Terang Zumi pada perempuan di depannya.
“Hehehe. Gua ngeh sih dia gitu. Cuma ya gak nyangka sih sampe se aneh gitu.” komentar Arfa.
“Jangan kan lu yang cewek ya! Gua aja yang cowo sampe sekarang masih syok! Gila aja dia sampe...”
Tiba-tiba mengalun sebuah dawai biola yang dimainkan seorang pria yang menginterupsi dialog Zumi. Pria itu tak jauh berada dari tempat mereka duduk, Alunan biola yang diaminkannya itu begitu apik terdawai sampai Zumi tak kembali melanjutkan pembicaraan dengan Arfa untuk mendengar ia bermain, hampir seluruh pengunjung warung kopi juga melakukan hal yang sama, berhenti sebentar dari kesibukan mereka untuk mendengar pria itu berdawai dengan biolanya. Tak butuh waktu lama bagi para pendengarnya untuk tahu, nada-nada jernih yang dimainkan pria itu adalah sebuah lagu romantis ciptaan Ed Sheeran, berjudul Thinking Out Loud.
“Apaan tuh Mik”? Tanya Arfa pada Zumi. ia melihat ke arah orang yang orang memainkan biola dengan heran.
“Gak tau” jawab Zumi singkat.
Dawaian sang violinis dalam memainkan biola itu begitu merdu dan syahdu sampai banyak para pelanggan di kedai kopi retro itu tak tahan untuk ikut membahasakan instrumental romantis itu.
When your legs don't work like they used to before
And I can't sweep you off of your feet
Will your mouth still remember the taste of my love
Will your eyes still smile from your cheeks
And darling I will be loving you 'til we're seventy
And baby my heart could still fall as hard at twenty three
And I'm thinking 'bout how peo
ple fall in love in mysterious ways
Maybe just the touch of a hand
Oh me I fall in love with you every single day
And I just wanna tell you I am.
So honey now
Take me into your loving arms
Kiss me under the light of a thousand stars
Place your head on my beating heart
I'm thinking out loud
Maybe we found love right where we are
Ketika sampai pada verses 2, bagian kedua dari lagu itu, Di dekat lelaki yang memainkan biola, ada sepasang mudi-muda. Sang perempuan yang dari tadi ikut menyanyikan lagu tersebut tampak keheranan dengan aksi pacarnya yang tiba-tiba berdiri di hadapannya lalu merunduk dengan sikap seorang gentleman, berlutut dengan khidmatnya, memperagakan sebuah gerakan yang sering digunakan untuk melamar seseorang. Take a knee, istilahnya. Meski gerakan itu juga sering direpretasikan sebagai sebuah perlawanan terhadan rasisme, tapi si pria itu tak peduli, atau lebih tepatnya tak tahu. Yang ia tahu gerakan itu adalah pembuktian cinta, jadi, setelah sempurna pose gentlemannya itu, si pria mengeluarkan sebuah kotak dari saku jaketnya, lalu membuka isi kotak itu di hadapan perempuannya. Sang wanita memekik, dan tak mau kalah juga, teman-teman wanita itu menjerit jauh lebih histeris dari si perempuan ketika melihat sebuah benda tersemat indah di dalam kotak itu. Tanpa perlu waktu lama, wanita itu mengangguk dan menangis bahagia karena isi kotak itu sesuai dengan harapannya, sebuah cincin. Ia menerima lamaran dari laki-lakinya itu. Sang perempuan tampak begitu bahagia karena di lamar dengan sangat romantis. Teman-teman yang merubungnya tak berhenti mengucapkan selamat dengan sangat berlebihan.
Arfa tersenyum geli melihat histeria teman-teman perempuan itu. Baginya hal itu lucu. Kenapa mereka harus ikut menjerit sedangkan semua berjalan sesuai ekspektasi mereka. Isi kotak itu adalah cincin, sesuai dengan perkiraan mereka. Terkecuali isi kotak minimalis yang disodorkan pacarnya itu adalah jenglot, barulah Arfa sepakat dan menerima dengan lapang kalau mereka menjerit dengan histeris.
Sang violinis tampak tersenyum sambil terus memainkan lagu romantis itu. Ia tersenyum bukan hanya karena ia bahagia melihat sebuah adegan yang begitu romantis di depannya dan ia turut ambil bagian dalam momen kebahagiaan itu. Tapi ia salut pada lelaki yang melamar itu, ia begitu jeli dalam memilih musik tema acara pelamaran itu. lelaki itu juga tahu benar interpretasi dari tembang Thinking Out Loud yang frasanya begitu romantis sebab lirik-liriknya menyampaikan cinta yang takkan usai meski sudah lanjut usia. Ia jadi kian semangat menghabiskan lagu itu, apalagi orang-orang makin semangat ikut bernyanyi.
When my hair's all but gone and my memory fades
And the crowds don't remember my name
When my hands don't play the strings the same way, mm
I know you will still love me the same
'Cause honey your soul can never grow old, it's evergreen
Baby your smile's forever in my mind and memory
I'm thinking 'bout how people fall in love in mysterious ways
Maybe it's all part of a plan
I'll just keep on making the same mistakes
Hoping that you'll understand
But baby now
Take me into your loving arms
Kiss me under the light of a thousand stars
Place your head on my beating heart
I'm thinking out loud
That maybe we found love right where we are, oh
So baby now
Take me into your loving arms
Kiss me under the light of a thousand stars
Oh darling, place your head on my beating heart
I'm thinking out loud
That maybe we found love right where we are
Oh baby, we found love right where we are (maybe)
And we found love right where we are
Lagi itu diakhiri dengan tepuk panjang, aspresiasi kepada violinis yang begitu apik mendawai biolanya dan juga, sekaligus ungkapan selamat kepada calon pengantin baru. Melihat itu semua Zumi dan Arfa saling berpandangan. Jeda sebentar, Lalu Arfa tertawa. Zumi keheranan melihat Arfa tertawa.
“Kok lo ketawa sih?” Tanya Zumi.
“Hahaha, lucu aja. Dimana-mana gitu, klise tau!” jawab Arfa sambil tertawa geli.
“Terserah lo deh. Tapi Bagi gua, bagi gua nih ya. Cinta, gimanapun bentuknya, gak pernah klise.” Ucap Zumi dengan mimik muka “terserah” pada jawaban Arfa.
“Entar Lo bakal ngelamar cewe kek gitu?” tanya Arfa lekat menatap Zumi.