A Trip to Your Wedding

Rahmatul Aulia
Chapter #13

Memang Mengapa Bila Aku Perempuan?

Dunia, di awal abad ke dua puluh, dari mata seorang gadis Jepara, tak lebih dari sekedar penjara, dengan laki-laki sebagai sipir, polisi, pengacara, jaksa serta hakimnya. Dunia hanya memberi ruang pada perempuan sebagai tahanan. Sebenarnya, gadis itu ingin menjadi perempuan biasa, dari keluarga yang biasa dalam lingkungan masyarakat yang biasa. Bisa bermain seperti anak kecil pada kebiasaanya, bisa tertawa cekikikan seperti gadis belia pada umumnya, bisa melakukan apapun yang ia suka tanpa embel-embel kehormatan, strata sosial, kasta atau apapun sistem yang dibuat manusia untuk membeda-bedakan antar sesamanya. Terlebih, ia ingin sekali menjadi gadis biasa, tak dipanggil Raden Ayu, tak menjadi seorang bangsawan, karena tak dapat tidur seranjang lagi dengan ibu kandungnya. Dan yang lebih parah, gadis itu diwajibkan memanggil dan menganggap ibu kandungnya sendiri sebagai pembantu dalam lingkungan keraton sebab adat residen Jepara mengharuskan itu semua.

Ia jengah menjadi perempuan, yang setiap inci hidupnya dimonopoli oleh nafsu lelaki. Baginya, perempuan diciptakan hanya untuk menjadi alat atau perpanjangan tangan dari laki-laki, dalam wilayah teritorial dimana lelaki begitu lemah, entah itu di sumur, di dapur maupun di kasur. Hal itu semakin dipertegas dengan sebuah adat yang bernama pingitan, yakni sebuah prosesi yang harus dilakukan oleh para gadis priyayi ketika menjelang kedewasaan, mengasingkan diri untuk belajar tata krama adat secara menyeluruh. Singkatnya, agar lebih jelas, pingitan adalah proses pengkaderan gadis-gadis lingkungan keluarga keraton agar menjadi wanita seutuhnya, yang sesuai dengan keinginan laki-laki bangsawan tentu saja. Prosesi pingitan yang tercipta karena budaya patriarki yang sangat kental itu akan terus dilakukan sampai ada seorang pria bangsawan yang melamarnya, untuk dijadikan istri. Baik itu menjadi istri pertama, kedua, ketiga atau bahkan keempat.

Di tengah pergolakan itu, secara tak sengaja, ia berkenalan dengan Hilda Van Suylenberg, seorang perempuan Belanda yang berprofesi sebagai pengacara yang menjadi pembela para kaum tertindas yang fakir lagi miskin. Dan yang lebih mengesankankan, yang membuat gadis Jepara itu terbelalak matanya, karena Hilda telah bersuami dan mempunyai seorang anak perempuan. Gadis Jepara itu demikian terpukau dengan demografi yang dimiliki Hilda. Sejauh pengetahuan gadis itu, yang ia dapat dari hidup dalam budaya patriaki yang begitu mengakar dalam lingkungannya, bahwa matinya karir seorang perempuan adalah hari dimana ketika ia dipaksa untuk menikah. Kodrat wanita memang untuk dinikahi, tak peduli ia suka maupun tidak. Begitulah dogma yang terbangun dalam diri gadis jepara itu, sampai ia bersikeras untuk tidak menikah. Tapi dogma seperti itu patah berkeping-keping ketika ia berkenalan dengan Hilda. Meskipun ia seorang istri dan seorang ibu, ia tetap bisa berkarir, menjadi seorang pengacara yang membela kaum fakir dan miskin, begitu hebatnya sosok Hilda di mata Gadis Jepara itu.

Dari perkenalannya dengan Hilda Van Suylenberg, sosok fiktif dalam buku karya Cecile de Jong, mengubah cara pandang gadis Jepara itu melihat dunia. Hilda Van Suylenberg adalah buku legenda sebab buku ini merupakan tonggak sejarah, karena buku itu adalah buku pertama yang dibaca oleh sosok perempuan yang kita kenal kemudian hari sebagai Raden Ajeng Kartini.

Buku Hilda Van Suylenberg menjadi jendela yang membantu Kartini melihat dunia. Sehingga ia berani tampil, membuktikan kekuatan seorang perempuan di hadapan dunia yang sudah terlalu nyaman menganut paham patriarki. Ia membawa pertanyaan besar pada dunia, Memang Mengapa Bila Aku Perempuan? dengan geraknya, ia menjawab sendiri pertanyaan besar itu, dengan karya dan pemikirannya. Sehingga pada hari ini, bukan saja sejarah menuliskan dengan harum namanya pada lembar-lembar buku pelajaran, nama besar Kartini menjadi perlambang bahwa tak ada yang salah menjadi seorang perempuan.

Ada banyak perempuan-perempuan hebat lainnya dari berbagai macam latar belakang dan profesi serta sumbang sih mereka pada sejarah yang Arfa dan Zumi bahas, mereka berdiskusi panjang sambil menikmati panorama diatas atas gunung dengan dihangati api unggun.

“Eh mi, gua boleh tanya sesuatu gak?” tanya Arfa pada Zumi setelah diam lama sehabis mereka berdiskusi panjang tentang emansipasi.

“Apa?” Tanya Zumi padanya.

“Lo kok gak ngomong sih?”

“Gak Ngomong apa?” Tanggap Zumi tak mengerti dengan maksud Arfa.

“Yaa, kalau lo suka sama tuh cewek?" Tegas Arfa. Zumi tersentak, perubahan topik dari pembahasan emansipasi menjadi soal ranah pribadi membuatnya kaget.

“Boleh dong gua tanya, secara gua heran aja, lo yang anteng banget kalo ngomong, kok cupu ngungkapin cinta?” sambung Arfa lagi, menperjelas maksudnya. Zumi tertawa kecil merespon menanggapi pertanyaan Arfa sambil kemudian ia berpikir tentang bagaimana menjelaskannya dengan baik pada Arfa..

“Hmmm, gak ada momen sih. Gua juga gak deket ama dia. Dan yang palin parahnya, dia mungkin juga gak kenal sama sekali ama gua.” terang Zumi sambil menatap Arfa.

Mendengar jawaban Zumi, Arfa berekspresi tak percaya. Dengan mimik wajah ia mempertanyakan kembali kejujuran Zumi.

“Iya Fa, gua seorang secret admirer, mengagumi dari jauh, mencintai jarak, gitu-gitulah.” Jelas Zumi, meyakinkan Arfa bahwa ia tak salah dengar.

“Kan lo bisa usaha buat ngedekatin dia? Gimana sih jadi cowo?” selidik Arfa.

Zumi meperbaiki gesture tubuhnya, tanda ia mulai agak serius.

“Gini, misal ada cowo di luar sana, yang slengean kayak gua, gak pernah lo kenal sebelumnya, tiba-tiba dateng, bilang suka sama elo, lo bakal gmna?” tanya Zumi dengan gaya retorik pada Arfa.

“Ya gak gitu juga dong Mik! pake strategi dong! Elu kan cowo soalnya.” sangah Arfa pada Zumi.

“Persis, makanya, sebagai cowo, ya gua ngepantesin diri dululah, cari kerja, mapan. Ya gitulah rencana gua.” terang Zumi. Arfa diam menyimak.

“Tapi ya rencana alam lain ternyata.. Hehehe!” sambun Zumi sambil tertawa kecil, menyikapi keadaan yang tak berpihak padanya.

“Dia nikah ama orang lain ya?” tanya Arfa lembut.

“Kok lo tau?” selidik Zumi.

“Gampang banget nebaknya, umur-umur kayak kita kan rawan banget ditikung trus ditinggal nikah. Persoalan begitu doang mah tinggal pake ilmu statistik, Selesai!” terang Arfa dengan elegan, menjawab penyelidikan Zumi dengan logika dasar.

Lihat selengkapnya