Asap mengepul dari wajan besar saat penutupnya dibuka, bersama asap itu menyeruak aroma yang menggugah rasa. Sang koki tampak santai meski di hadapannya terdapat empat wajan, yang sedang dioperasikan dalam waktu bersamaan, kesantaian itu tampak jelas dari rokok kretek yang bergelantung di mulutnya dari cara menghisapnya dan cara menghembuskannya. Tangan kanannya memegang spatula besi berukuran sedang, yang menjadi perpanjangan tangannya memperdadukan berbagai kekayaan rempah menjadi kelezatan tiada tara, sedang tangan kirinya sesekali membatu mulutnya untuk menghisap rokok. Justru yang tampak sibuk adalah para asistennya, yang berjumlah lima orang, mereka mengerjakan apa saja yang koki itu suruh, mencincang bawang, cabai, seledri, daun bawang, dan kol, menyiangi toge, maupun menambah acar serta kerupuk terhadap mie yang sudah siap disajikan di atas piring, sedang untuk takaran rempah terhadap cita rasa mie, koki itu sendiri yang menghandel.
Warung Mie Aceh yang Arfa dan Zumi sedang singgahi berkonsep retro, seperti balik pada warung-warung jadul, walau dengan nuansa tahun lapan puluhan. Namun, tetap tampak mewah. Meskipun warung ini sudah bisa disebut restoran mewah, namun, seperti kebanyakan warung mie Aceh pada umumnya, dapur di tempatkan di muka dan terbuka. Tak seperti restoran-restoran mewah nan berkelas yang menempatkan dapur di belakang dan agak tertutup. Adakah startegi yang diserap dari ilmu psikologi pasar disini? Hanya akademisi maupun praktisi, para pakar dari psikologi pasar yang mampu menjelaskan mengenai fenomena ini.
Asap masih mengempul hangat ketika pelayan meletakan dua buah piring di hadapan Arfa dan Zumi. Kerupuk serta acar disajikan terpisah dalam piring yang lebih kecil. Yang membuat istimewa, semakin menggugah rasa, piring itu dilapisi dengan daun pisang sehingga menambah kekayaaan rasa yang menyebabkan rasa mie yang lebih terasa akan rempahnya.
“Enak gak?” tanya Arfa pada Zumi sambil menikmati mie. Zumi mengangguk.
“Gua kirain ni warung ramenya pake penglaris,” celetuk Zumi sambil membaurkan acar serta kerupuk dalam piringnya.
“Lo ya! suuzon mulu!” seru Arfa pada Zumi, pemuda itu memang sering berpikiran negatif.
“Hehhe, gak tau ya, mungkin gua kebanyakan baca berita politik, jadi skeptis mulu.” Jelas Zumi akan ke-skeptis-annya.
“Hahaha... Udah lah gak usah bahas-bahas politik, runyem kepala gua!” Sanggah Arfa, kembali menekuri piringnya.
Tiba-tiba seorang menepuk dengan kasar bahu Zumi, spontan, Zumi terkejut dan melihat gerangan siapa yang menepuk bahunya.
“Euy! ngapain lo nyampah di mari?” seru seseorang yang menepuk bahu Zumi itu.
“Eh! Elu Tok! Kok Bisa!?” Zumi kaget melihat sosok yang menepuk bahunya itu. Ia lalu bangkit untuk memeluknya, seorang pemuda yang ia panggil dengan nama Batok, sahabatnya dari kuliah. Sebenarnya, nama aslinya adalah Marwan, namun, karena anatomi kepalanya mirip kelapa uzur yang penuh santan, jadilah panggilan Batok melekat padanya. Mereka berpelukan. Batok lalu ikut duduk bersama mereka.
“Wah, parah lo Mi, ke Aceh gak ngabarin gua!” Ucap Batok dengan nada kesal. Mendapati sahabat lamanya tak mengabari dirinya berkunjung ke Aceh.
“Hehehe, sorry, gua mau ngabarin sih, tapi lo tau sendiri gimana gua...” Terang Zumi pada Batok.
“Alah! Klasik lo Mik! Sok misterius mulu...” tanggap Batok pada karakter Zumi yang tak pernah berubah sejak ia mengenalnya.
Zumi lalu melihat wajah Arfa kebingungan melihat keakraban mereka berdua, tampak jelas dari wajah perempuan itu, kalau ia meminta penjelasan.
“Oh ya Fa! Kenalin, Temen kuliah gua,” Ucap Zumi memperkenalkan Batok pada Arfa.
Batok lalu berdiri, mengelap tangan kanannya pada celemek di dadanya lalu menyodorkan tangan pada Arfa,.
“Marwan...” ucap Batok dengan gagah sembari memperlihatkan senyum termanis yang bisa dibuatnya.
“Arfa,” Arfa menjabat tangan itu sambil membalas senyum Batok.
“Gak usah sok manis lo gebleg!”Canda Zumi melihat senyum yang Batok lontarkan pada Arfa. Batok kemudian mendekatkan diri pada Zumi, hendak membisikkan sesuatu.
“Pacar lo?” desir Batok halus pada Zumi. Suaranya itu agak keras sehingga Arfa mendengar isis bisikan Batok. Zumi seketika panik.
“Eh! Eh! Ngak! Ngak Kok! Bukan! Sorry ya Fa! ni gebleg kalo ngebacot emang gak ada filternya!” umpat Zumi dengan kesal pada Batok.
“Hehe, gak papa kok Mik! Santai aja,” Tanggap Arfa melihat kepanikan Zumi.
“Gua temen SMA Zumi Wan!” jelas Arfa pada Batok.
“Oh begitu, jadi kalian lagi reoni nih ceritanya?” tanya Batok pada mereka berdua.
Arfa dan Zumi saling bertatap-tatapan. Batok curiga melihat mereka.
“Napa nih kode-kodean?” tanya Batok penuh curiga melihat sikap aneh mereka.
“Ya bisa dibilang gitulah!” jawab Arfa singkat.
Zumi lalu menjelaskan kronologi dari awal, tidak terlalu dekatnya mereka di SMA, sampai mereka bertemu di bandara dan insiden Arfa ketinggalan pesawat pada Batok.
“Jadi, sekalian ngaterin, kita traveling lah...” tutup Zumi pada penjelasannya.
“kenapa gak lo beli-in tiket aja buat die, kenapa pake acara antar-antar segala?” tanya batok penuh selidik.
“Gini Tok, kan kami udah lama gak ketemu. Jadi ya sekalian liburan. Lagian udah lama juga gua gak liburan di Aceh.” Jelas Arfa.
“Oh gitu! Tapi kok Si Zumik gak pernah cerita dia punya temen orang Aceh, cewe lagi?” tanya Batok dengan nada heran.