Tak banyak tempat yang dapat menyimpan energi yang begitu kuat dan pada waktu yang bersamaan semua orang dapat mengakses dengan mudah kisahnya, tanpa perlu seorang tour guide, tanpa perlu jiwa spiritual yang mendalam, energi yang tempat itu pancarkan akan begitu sangat kuat terasa, sehingga tanpa perlu kata-kata, kisah itu akan tercerita dengan sendirinya, melalui metafisika. Museum Auschwitz di Polandia contohnya, bekas kamp konsentrasi yang dibuat Nazi untuk membina para Kaum Yahudi. Meski lebih dari tujuh puluh tahun sudah tragedi itu terjadi, namun aura kebiadaan yang seorang manusia dapat lakukan pada manusia lain masih sangat terasa, seolah mereka-mereka yang tewas mengenaskan disitu masih tak terima pada kekejian yang menurut catatan sejarah, hanya Nazi yang tega melakukannya.
Seakan masih kita lihat bagaimana mereka menahan udara dingin dengan pakaian seadanya ketika orang-orang malang itu sampai di Kamp Auschwitz setelah melakukan perjalanan panjang serta bersesakan sesamanya di dalam gerbong kereta yang seharusnya mengangkut hewan, tentu kita tahu, Nazi menganggap Kaum Yahudi jauh lebih hina dari seekor tikus. Yap! Anda tak salah dengar, seekor tikus. Di dalam Museum itu, ketika kita melihat koper lusuh berjejal-jejal, bertumpuk-tumpuk tinggi, foto-foto hitam putih lama yang usang yang menampilkan wajah-wajah berekpresi datar, seakan masih kita rasakan bagaimana identitas mereka diperkosa secara brutal, hak-hak mereka dikebiri, bahkan sededar bernafas pun mereka tak punya hak, mereka di jejal dengan berbagai perbuatan semena-mena yang sadis, hari ke hari selama bertahun-tahun, sampai tentara sekutu berhasil menaklukkan Nazi, setelah mereka hampir kehilangan segalanya dalam hidup mereka.
Dan tentu, yang paling melagenda, saat anda sampai di lorong gelap yang diujungnya terdapat pintu besi yang legam lagi kelam, terdapat pipa-pipa di langit-langitnya yang mengarah ke ruang di balik pintu itu, sebuah ruang yang sistematis dan sangat efisien untuk membinasakan ribuan manusia dalam hitungan jam. Seakan masih kita rasakan raut wajah cemas mereka akan ketidakpastian apa yang terjadi pada mereka selanjutnya setelah pakaian mereka dilucuti dan rambut mereka dibotaki. Serasa masih kita rasakan ketakutan mereka, dalam keadaan telanjang, mereka berbondong-bondong dipaksa masuk dalam ruang penyembelihan itu. Dan tentu saja, seakan masih kita dengar teriakan, jerit histeris mereka saat mereka berhadapan dengan kematian ketika gas-gas kimia menyeruak hingga tak ada pilihan lain selain menghirupnya, itulah contoh harfiah dari sekedar untuk bernafas mereka tak punya hak lagi.
Dan itulah ruang gas lagenda yang membinasakan lebih dari jutaan Umat Yahudi Eropa, yang anda temukan dalam bacaan maupun tontonan pada tema-tema yang mengisahkan tentang tragedi Holocaust. Maka, tak berlebihan jika kita menyebut meseum sebagai lorong waktu, yang mana kita bukan hanya dapat mengakses benda-benda fisik yang menjadi saksi bisu dari sebuah peradaban maupun sebuah tragedi, tapi museum juga menyimpan energi metafisika yang merekam suasana kejadian itu.
Di Aceh, lorong waktu semacam itu ada di museum Tsunami Aceh, sebuah memoar fisik akan bencana alam yang terjadi pada dua puluh empat desember tahun dua ribu empat silam. Korban dari bencana alam yang sangat dahsyat itu lebih dari dua ratus lima puluh ribu jiwa. Ya! Anda tak salah baca, hanya data statitik, angka-angka itu yang dapat mendeskripsikan betapa dahsyatnya bencana hari itu.
Saat pertama masuk ke dalam museum itu anda akan melewati sebuah lorong panjang yang gelap, auranya begitu kuat karena selain kelam, suara ayat Al-Quran serta suara air mengalir berpadu dan bergema di dinding-dinding, yang padi akan membangunkan bulus-bulu halu di punggung anda. Di tengah lorong itu anda akan menemukan sebuah ruang bundar beratap panjang, yang berisikan ribuan nama korban yang menjadi korban dari bencana dahsyat tersebut tertempel di dinding, karena sangking banyaknya korban, nama-nama itu menjulang sampai ke langit-langit, dan di ujung atap sana, kaligrafi Nama Tuhan tersemat indah disana, representasi dari ribuan nama-nama itu telah berada damai disisi-Nya.
Mereka bertiga berjalan ke dalam museum dalam keadaan penuh khidmat, Batok berdiri paling depan sebagai pemandu mereka. Batok dan Zumi, dua sahabat itu, yang dari perjalanan sampai ke parkiran museum tak berhenti bercanda ria dan mengoceh sembarang hal langsung terdiam ketika memasuki lorong panjang itu. bukan rasa mencekam yang mereka rasa, tidak pula rasa takut yang horror yang mereka alami, namun perasaan bahwa ajal bisa datang kapan saja, tanpa peduli dalam tatatan ruang maupun waktu apapun: tua, muda, balita, kaya, durjana, merana, sengsara, ajal itu pasti, sepasti kelahiran itu sendiri. Maka ruang ini mempunyai aura untuk mengingatkan pada manusia bahwa dunia ini fana.
Keluar dari ruangan itu, mereka menuju ke sebuah ruang yang diberi nama dengan Ruang Pameran Temporer: sebuah galeri yang berisikan potret-potret segala hal tentang kejadian itu, baik sebelum maupun sesudah dari bencana tersebut dan proses evakuasi korban maupun reruntuhan puing-puing. Ada banyak gambar yang dilihat Arfa, gambar para tentara nasional, palang merah nasional maupun internasional, organisasi-organisasi kemanusiaan, LSM, Orang-orang terkenal maupun berpengaruh di dunia menjadi relawan yang ikut membantu evakuasi kota dari mayat dan puing-puing reruntuhan. Tapi yang membuat Arfa terdiam dan tertegun sangat lama adalah ketika ia memandangi sebuah gambar yang menampakan sosok seorang ibu yang menangis bisu tanpa suara yang tengah memeluk anaknya yang sudah kaku di pangkuannya. Arfa terhenyak demikian dalam memandangi potret tragis itu, ada banyak yang ingin dikisahkannya, tapi malangnya, ia tak dapat berbuat apa-apa melihat gambar itu.
Hal yang sama juga dirasakan Zumi saat berada di sebuah ruang yang berisi artefak maupun benda-benda fisik yang menjadi saksi bisu kedahsyatan Tsunami. Ia melihat dua gambar saling bersanding dalam satu frame, dua gambar itu adalah foto yang diambil dari satelit yang memperlihatkan sebuah perbandingan suatu daerah sebelum dan sesudah terjadi Tsunami. Peta dalam foto satelit itu menampilkan sebuah tempat di pinggir pantai Ulee lhee, bahkan jika ditarik radius bebeberapa kilometer, dari bibir pantai sampai ke pusat kota, semua luluh lantak di hempas ombak Tsunami. Tak ada satu bangunan pun yang tersisa, semua rata dengan tanah. Kecuali sebuah bangunan putih yang tetap sama baik sebelum maupun sesudah kejadian itu. Dan itulah yang membuat Zumi tertegun, sebuah bangunan putih yang dengan mudah dapat kita kenali sebagai sebuah mesjid tetap berdiri kokoh, tanpa cacat sedikitpun, sedang di sekitarnya semua luluh lantak. Sains manapun tak ada yang dapat menjelaskan bagaimana sebuah mesjid, yang jaraknya hanya beberapa meter dari bibir pantai tetap berdiri kokoh sedang bangunan-bangunan lainnya, berkilo-kilo meter jauhnya dari bibir pantai semua rata dengan tanah.
Sedang batok menyaksikan sebuah miniatur yang mengilustrasikan saat-saat terjadinya Tsunami. Bagaimana orang-orang dengan panik berlarian menjauhi ombak setinggi pohon kelapa, lebih dari sepuluh kali dari tinggi mereka. Meski sudah berulang kali ia berkunjung ke Museum ini dan sudah berulang kali pula ia menyaksikan miniatur ini, ia tetap tertegun memandanginya. Daya magisnya tetap tak pudar meski ia lihat berulang kali.
Setelah mengalami perjalanan spiritual itu, Batok mengajak Arfa dan Zumi ke ruang audio visual, sebuah ruang seperti bioskop yang memutar video dokumenter berdurasi hampir sembilan menit yang merangkum tentang kejadian Tsunami. Sembilan menit yang panjang, karena mereka melihat satu bukti lagi tentang kedahsyatan bencana itu. dan bukti kali ini, lebih menyanyat hati, karena tersirat dari wajah-wajah para korban, mereka melihat sebuah emosi tentang bagaimana manusia menjalani kelamnya kejadian itu.
Selepas itu, mereka kembali melihat-foto-foto, namun berbeda dari pengalaman menyayat hati sebelumnya, kali ini mereka melihat harapan, terpampang senyum-senyum manis yang meruah dari anak kecil, perempuan dan orang tua, ketika dunia melentangkan tangan.
Memang, selain musibah ini murni bencana alam, ada juga konspirasi yang berteori bahwa bencana ini bermusabab dengan sebuah bom nuklir yang tertanam dalam di perairan Samudera Hindia milik Amerika, karena ditemukannya fakta kalau wujud dari air tsunami tidak biasa, ia berwarna pekat hitam dan mayat-mayat akibat dari terjangan Tsunami jasadnya hangus. Bahkan ada yang berkata bahwa saat kejadian sebuah kapal induk milik Tentara Maritim Amerika berada tak jauh dari daratan Utara Sumatera, yang diindikasikan mengoperasikan bom tersebut. Teori ini diperkuat karena kabar yang menyampaikan kalau Kapal induk militer Amerika itulah yang pertama sampai setelah kejadian naas itu. Berdasarkan teori konspirasi ini, dibedah dan dianalisisa menggunakan ilmu politik dunia, masih samar tujuan Amerika ingin memporak porandakan Aceh yang notabe tak punya layar maupun aktor dalam kancah perpolitikan dunia.
Tapi, masyarakat Aceh tak hirau akan teori maupun konspirasi apapun, tak peduli pendapat para politikus, akademisi dan pejabat, terserah mereka mau berkata apa. Bagi masyarakat Aceh sendiri, mereka melihat bencana ini sebagai pengingat, sebagai teguran, bahwa sudah terlalu banyak kemungkaran dalam hidup mereka, sehingga Tuhan mengingatkan mereka. Sesederhana itu mereka melihat hidup. Maka, betapapun dahsyat bencana alam itu, mereka tetap berdiri tegar, tersenyum, siap melanjutkan hidup yang Tuhan janjikan indah.
Kesan itu pula yang di dapat Zumi setelah keluar dari museum, ia tak berhenti terseyum. Ia sadar, diluar sana, masih banyak masalah dan cobaan hidupnya yang lebih parah darinya, namun tak merengek hidup mereka seperti Zumi. Hari ini ia belajar satu hal, tentang jiwa pelaut yang akan makin tangguh, ketika semakin ganas ombaknya.