A Trip to Your Wedding

Rahmatul Aulia
Chapter #17

FRIENDS!

Agak banyak tayangan film maupun serial tv yang mampu meninggalkan kesan yang mendalam bagi para penontonnya. Seperti film Bajrangi Bhaijan, film yang diperankan oleh superstar Bollywood, Salman Khan ini, yang berkisah tentang seorang laki-laki India penganut Hindu yang amat religius tiba-tiba menjadi seorang penyitas, memasuki negara Pakistan secara ilegal di saat hubungan kedua negara itu sedang keruh, demi mempertemukan kembali seorang bocah Muslim yang bisu lagi lugu yang terpisah dari keluarganya. Film ini mampu memberi pesan pada penontonnya bahwa persaudaraan, kepedulian manusia pada manusia lain adalah ajaran agama Tuhan yang sesungguhnya.

film Schindler’s List yang diarahkan oleh sutradara kawakan Steven Spieberg ini, yang dibuat pada penghujung abad ke dua puluh itu bercerita tentang betapa biadabnya Nazi memperlakukan orang-orang Yahudi Polandia di Krakow pada masa Perang Dunia Kedua di salah satu kamp konsetrasi Nazi. Film ini meninggalkan pesan bahwa relung hati paling dalam manusia berwarna abu-abu, tidak hitam maupun putih sebagai dominannya. Oskar schindler, tokoh utama dalam film itu, mungkin awalnya kita mengira dia adalah seorang bajingan, memanfaatkan situasi perang untuk mengeruk dan menimbun harta sebanyak-banyak dengan memperkerjakan Orang Yahudi yang cost-nya jauh lebih murah daripada memperkerjakan orang Polandia. Namun pada akhirnya, Ia sendiri yang menyelamatkan nyawa orang-orang malang korban perang itu. Film Incidies yang meraih piala Oscar pada kategori film asing tersebut mengajarkan kita bahwa hidup, bisa sebegitu absurdnya dan yang paling utama, pelajaran yang paling berharga, yaitu seseorang yang paling kita cintai, yang paling kita sayangi, adalah orang yang paling mudah untuk menyakiti kita sendiri.

Film The Truman Show yang diperankan dengan apik oleh aktor Jim Carrey, menegur kita atau mempertanyakan lebih tepatnya, apa dunia yang kita hidupi sekarang, realitas yang kita jalani ini, benar-benar dunia yang serius atau hanya sekedar permainan dan senda gurau belaka seperti yang Tuhan Kabarkan di dalam ayat-ayatnya. Film Interstellar yang dinahkodai oleh si jenius Christopher Nolan memperlihatkan pada kita bahwa ilmu Tuhan jauh di atas kita. Dan kita, manusia yang selalu sombong berjalan di muka bumi ini, hanya sebutir debu di ujung di alam semesta yang tidak dihiraukan siapapun, namun kita masih sering tak sadar diri.

Film Titanic, film fenomal yang kisahnya diangkat dari tragedi tenggelamnya Kapal Titanic di Samudera Atlantik pada tahun seribu sembilan ratus dua belas ini mempertegas lagi satu hal pada kita, bahwa cinta dan nasib sering kali kita temukan di tempat dan waktu yang tak kita sangka dan terutama, bagaimana perempuan, sebagaimana fitrahnya seperti melahirkan, juga menyimpan rahasia jauh, jauh sekali di dalam dirinya, yang mungkin hanya Tuhan dan dirinya saja yang tahu. Seperti juga film Veer Zaara, karya kalaborasi antara anak dan ayah keluarga Chopra yang namanya begitu disegani di belantaran industri perfilman Bollywood itu memberi kita pelajaran akan cinta, bahwa cinta begitu sederhana, tak menuntut, tak memihak, tanpa perlu maaf dan terima kasih, walaupun akibat dari cinta dan segala lika-likunya tidak sesederhana itu. Namun, selayaknya, sebagai pecinta sejati, serumit dan sesulit apapun keadaan, kita harus bisa menyederhanakan cinta itu. bahwa yang terpenting dari mencintai seseorang adalah membuatnya bahagia, tak perduli bersamanya maupun tidak.

Serial komedi Friends yang menceritakan tentang enam orang sahabat bagaimana si manja Rachel Karen Green, Dua bersaudara yang kocak Ross dan Monica Geller, si aneh bin ajaib Pheoebe Buffay, si macho yang tulalit Joseph Franciss Tribiani sertas si sarkas yang masa kecilnya kelam, Chandler Muriel Bing dalam menjalani lika-liku hidup di kota New York. Selama 10 musim mengudara, opera sabun ini menawarkan sebuah tontonan pada kita untuk rehat sejenak dari dunia demikian gila dengan tingkah tingkah lucu serta konyol mereka. Namun, ketika di episode terakhir dari serial itu, saat keenamnya berpisah setelah mereka mengucapkan selamat tinggal pada apartemen Monica, ruang itu yang telah menjadi lebih dari sekedar basecamp bai mereka, Apartemen itu telah menjadi bagian dari diri mereka karena disitulah selama 10 tahun terakhir mereka tertawa, menangis, sedih dan bahagia bersama. Dan saat apartemen itu kosong, saat sang cameraman membidik benda-benda yang ada di ruang itu, ditambah dengan arasment musik yang santai namun kiat menyayat hati, karena scene itu mengaktifkan memori yang menyimpan rasa pahitnya sebuah perpisahan, seperti saat kita mengucapkan selamat jalan pada teman-teman di bangku SMA atau seperti saat kita mengantar orang yang kita sayangi ke terminal, pelabuhan maupun bandara yang pergi untuk mengejar mimpi mereka. Saat orang yang kita sayangi tersebut pergi, jiwa kita serasa kosong karena ia turut membawa separuh dari diri kita.

Seakan kita tak mau terjadinya perubahan, tetap berrsama teman-teman dari bangku SMA kita, tetap berada dekat dengan orang yang kita sayang. Kita tahu dengan benar kalau perubahan itu baik, semua hal berubah dan hal itu sudah menjadi hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan bahwa apapun dalam dunia ini, semuanya, tak peduli menjadi lebih baik ataupun buruk, akan mengalami perubahan, Tapi sebagai manusia renta yang sangat lemah ini, terkadang kita menginginkan beberapa hal dunia fana ini tak berubah, tetap seperti sedia kala, sebagaimana kita mengenalnya.

Kurang lebih, perasaan semacam itu pula yang dirasakan Arfa sekarang saat duduk tak beralas di atas pasir putih di pinggir bibir Pantai Lampuuk. Ia memandang jauh ke ujung langit yang mulai kemerah-merahan di ufuk barat horizon sana, dengan wajah hampa. Sulit menjelaskan apa yang ia rasakan sekarang, tapi yang jelas, ia ingin liburan ini, momen ini tak berakhir. Memang, terbilang sangat singkat momen itu, hanya 3 hari perjalanannya dengan Zumi. tapi perjalanan yang tak pernah ia rencakan ini telah meninggalkan kesan yang mendalam baginya. Terlebih, lelaki konyol lagi over kepedean yang menemaninya sepanjang perjalanan, telah mengajarkan Arfa sesuatu tentang dirinya yang tak pernah ia tahu, bahwa hidup seperti inilah yang ia dambakan, bukan hanya menjadi wisatawan, menjadi turis, tapi menjadi pengembara. Tak hanya sekedar mengunjungi tempat, tapi juga menemui manusia, berkenalan dengan kisahnya. Tak hanya singgah atau istirahat, tapi menjadikan perjalanan ini sebagai proses untuk menjadi lebih baik. Tak sekedar hidup, tapi mencari falsafah dari keberadaan hidup itu sendiri.

Bagi Arfa, traveling ini menuntunya untuk menemukan sebuah potongan mozaik yang telah lama hilang dalam hidupnya. Ia akhirnya kembali merasakan menjadi manusia, setelah cukup lama, dengan waktu yang tak bisa di hitung menjadi robot sistemik yang telah nyaman pada keteraturan dalam sebuah prosedur, dan lupa bahwa Tuhan menganugerahkannya sebuah karunia bernama free will, kebebasan untuk bertindak. Dan sekarang, perjalanan yang berkesan dan menyenangkan ini, harus berakhir.

“Sielah, anak indie sedang menikmati senja di tepi pantai, di temani deburan ombak.” Suara Zumi menyadarkan Arfa dari lamunan panjangnya. Lelaki itu tersenyum aneh melihat Arfa duduk sendirian di pinggir pantai.

“Kurang lengkap sih Mik! Soalnya gak ada kopi!” ucap Arfa menanggapi Zumi dengan tersenyum.

“Maka dari itu, untuk membuat momen ini sempurna, Nih gua bawain kelapa muda!” tampak di tangan Zumi, ia membawa dua buah kelapa muda lengkap dengan sedotannya.

“Kan anak indie minumnya kopi, kok air kelapa sih?! ” tanya Arfa dengan nada bercanda.

“Jadi gak mau Nih? Yaudah, gua balikin!” Kata Zumi dengan gestur tubuh ingin becanda.

“Haha! Sini Mi! gak baik lo balikin barang yang mau dikasih.” pinta Arfa dengan menjulurkan tangannya meminta kelapa muda pada Zumi. Lelaki itu lalu memberikannya pada Arfa.

“Bilang aja kalo lo haus, dasar cewe!” respon Zumi melihat Arfa langgung menyedot tanpa henti air kelapa yang diberikannya.

“Hehehe..” Arfa hanya bisa tertawa kecil menanggapi respon Zumi.

Lihat selengkapnya