Sepanjang perjalanan kembali ke penginapan setelah berkunjung ke pantai, dua muda mudi itu hanya terdiam saja di bangku mereka masing-masing, Arfa menyandarkan kepalanya di atas lengannya, memandangi panorama sekitarlewat jendela samping mobil di dekatnya, wajahnya sendu, tampak jelas ia memikirkan sesuatu namun tak jelas apa yang ada di kepalanya sekarang, sedang Zumi sibuk dengan stir mobil, matanya fokus ke depan, karena jalan yang mereka lalui agak sempit dan buruk, di tambah lagi penerangan yang agak buram sebab hanya lampu mobil mereka saja yang menerangi jalanan karena mereka tengah berada di suatu perkampungan yang agak sepi. Untung saja tape mobil mereka biarkan menyala, sehingga kediaman mereka tidak terlalu hening, meskipun playlist dalam tape itu memutar lagu-lagu disko, yang sudah barang tentu bukan genre musik yang mereka suka, mereka tak menggubrisnya. Dari gelagatnya, sekedar membahas atau sekedar mengomentari lagu yang tape itu putar, mereka enggan, bahkan bisa dipastikan mereka senang mendengar lagu-lagu berisik semacam itu untuk mengusir suasana keheningan di antara mereka.
Liburan ini tak hanya berkesan bagi Arfa, yang menjadi otak dari rencana gila ini yang belakangan Zumi tahu sebabnya karena perempuan itu butuh waktu untuk benar-benar memantabkan hatinya sebelum menikah. Lebih dari itu, entah Arfa tahu maupun tidak, tapi travelling kali ini juga demikian berkesan bagi Zumi sendiri. ia memang telah memiliki pengalaman yang jauh lebih seru dari sekarang ini, ia telah berkunjung ke banyak tempat indah dan keren di seluruh dunia, dan juga ia terla berjumpa beragam macam karakter manusia dari sepanjang pengembaraannya backpaking ke seluruh tempat. Bukan juga karena perjalanan kali ini ia ditemani oleh seorang perempuan jelita, karena, dalam pengembaraannya itu, ia telah banyak bertemu perempuan, yang bahkan juga ikut menemani perjalanannya meng-eksplore tempat-tempat yang ia kunjungi, yang tentu jauh lebih seru daripada Arfa karena wanita-wanita traveller yang Zumi temui itu jauh lebih bebas dan terbuka pada hal-hal yang bagi perempuan berkarakter seperti Arfa terlalu tabu untuk dibicarakan, apalagi untuk melakukannya. Bukan, bukan persoalanan syahwat yang membuat perjalanan ini demikian berkesan bagi Zumi.
Lalu, apa yang membuat perjalanan singkat ini menjadi demikian berkesan bagi traveller profesional, yang malang melintang, menjelajahi tempat-tempat indah dunia seperti Zumi? Jawabannya? Karena takdir. Travelling yang sudah ia lalui itu semua dilakukan karena adanya sebuah rencana, dan pertemuaan-pertemuannya dalam pengembaraan itu biasanya hanya persoalan syahwat atau paling tidak terjadi sebuah deal-deal-an agar terjadinya hubungan yang biasa disebut dengan istilah simbiosis mutualisme. Tapi, pertemuannya dengan Arfa berbeda. Mungkin, jika dipikir secara rasional, kemungkinannya sangat kecil untuk Zumi melakukan sebuah travelling dengan perempuan berkarakter mendekati sempurna seperti Arfa yang sangat profesional, pintar, cantik dan berhijab. Sebuah kombinasi yang sangat sulit ditemui Zumi dalam dunia travelling. Apalagi sampai melakukan traveling bersama. Dan hanya takdirlah yang bisa menjawab kenapa ia sampai bisa liburan bersama perempuan itu. Kiranya, bertemu dengan Arfa, adalah rentetan nasib yang telah Termaktub dalam Buku Tuhan.
Dan ketika pertemuan yang Telah Digariskan Tuhan, yang sangat berkesan ini berakhir, mereka agak sedih. Dan keheningan yang terjadi diantara mereka sekarang adalah momen yang biasa terjadi saat dua orang akan berpisah, mereka tak tahu harus berbicara apa untuk mengisi momen-momen sebelum mereka berpisah. Maka dari itu, mereka agak senang musik disko yang berisik mengisi kehengingan mereka.
Dalam lamunannya, Arfa melengguhkan nafas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Zumi, yang sedang menyetir. Ia menatap lelaki itu dengan lekat, teringat kembali ucapan-ucapan Zumi tentang “rumah” saat di pandai yang sekaranng terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Mengetahui Zumi tak punya tempat berpulang dan lebih parahnya tak ada yang menunggunya pulang, Ia menjadi kasihan pada lelaki itu. Arfa tahu, baik dari film, buku maupun referensi-referensi lain yang ia konsumsi, ada banyak para pengembara yang tak punya keinginan untuk pulang, bukan karena kesibukan, dendam atau lainnya, melainkan karena mereka tak punya rumah dan tak ada seseorang yang membuat pengembara itu punya alasan untuk pulang. Lihatlah mata lelaki yang sedang menyetir itu, berbinar namun kosong. Zumi mungkin tak menyadari kalau kebiasaannya melenguh panjang dapat diartikan oleh orang yang menyukai ilmu psikologi dengan sebuah kesimpulan kalau sesuatu berkelebat dalam dirinya, sesuatu itu sudah terlalu lama berada di dalam.
“Boleh gua saran satu hal, Mi?” Ucap Arfa pada Zumi ditengah berisiknya musik disko yang menggema di dalam mobil mereka
“Apa tu?” Respon Zumi sambil mematikan musik yang berisik itu, tampak jelas gurat wajahnya cerah karena selain akhirnya mereka punya bahan untuk berbicara, ia senang karena punya alasan mematikan genre musik yang ia tidak suka.
“Bisa pinggirin mobil dulu gak? Gua mau ngomongin sesuatu yang serius sama lo!” Ucap Arfa tegas dengan raut muka agak serius.
“Seserius itu?” tanya Zumi memastikan.
Arfa mengangguk. Zumi segera memarkir mobilnya di samping jalan di sebuah daerah yang agak sepi. Walaupun tempat itu berada di pinggir jalan dan waktu belum terlalu malam, baru sekitaran jam delapan, suasana agak gelap karena selain pencahayaan kurang, tak terlihat adanya aktifitas di tempat itu..
“Gini Mi. sebenarnya ya, ini berlaku buat gua juga sih. Dan sebenarnya juga, gua malas ngomongin ini, kaya udah bener aja hidup gua. Tapi karena lu temen gua. Gua harus bilang ini!” Ucap Arfa membenarkan posisi duduknya.
“Gak usah kebanyakan drama deh! Apa?” Seru Zumi tak sabaran. Arfa melengguhkan nafas panjang seraya menatap mata Zumi dengan lekat.
“Lu maafin diri lo sendiri!” Ucap perempuan itu dengan nada lembut pada Zumi. Lelaki itu terkesiap mendengar apa yang diucapkan Arfa. Tubuhnya terdiam lalu wajahnya menunduk.
“Banyak hal terjadi diluar batas kemampuan kita. Dan hal-hal yang terjadi diluar batas kemampuan itu, sering kali nyakitin kita. Apapun yang udah lo rasain, lo alamin, lo laluin, itu udah menjadi bagian dari diri elo. Semua luka dan duka itu yang membuat apa adanya lo sekarang!” sambung Arfa, wajah Zumi tetap merunduk.
“Lo orang baik Mi! gua suka ngelihat lu care sama hal di sekitar elu. Tapi...” Arfa mengantungkan kalimatnya, membuat Zumi mengangkat wajahnya.
“Lu lupa sama diri lo sendiri, lu gak akan pernah bahagia kalo elo belum bisa berdamai sama diri lo sendiri. fokus sama orang yang sayang sama elo. Jangan sama orang yang ngenyakitin elo. Gua tahu, Anatasia orang yang spesial banget buat elo. Tapi, harus lo akuin kalo bayangnya dia, yang selama ini menghatui ingatan elu, nge-nyakitin elo. Hingga elo gak mau buka hati, enggak mau buka diri lagi untuk mencoba bahagia. Gua tahu, tahu banget malah, karena kita sama-sama pengagum rahasia yang ditinggal nikah, sosok Anatashia segalanya buat elo. Tapi, entah dia nasib maupun takdir, dia bukan yang terbaik buat elo. So, mulai kisah baru lagi Mi. mulai buka hati lagi, berani buat jatuh cinta lagi. please Mi! Elu sahabat gua, gua pengen lu bahagia....” demikian lembut Arfa mengucapkan kata-kata itu sampai menyetuh relung dasar Zumi, matanya sampai berkaca-kaca. Ia terharu dengan kepedulian Arfa padanya, rasanya, telah lama sekali ia tidak dipedulikan sedalam ini.