Banyak orang berdesakan di luar masjid kampung itu, laki-laki, perempuan, tua, muda, paruh baya sampai anak-anak, setelah mereka mendengar ada muda-mudi yang tertangkap mesum, mereka berebutan ingin melihat ke dalam mesjid. Sesuatu tengah terjadi di kampung mereka, dan kejadian itu berada tepat di dalam mesjid kebanggan mereka. Terlihat Arfa dan Zumi duduk di tengah muka majelis, mereka tengah di sidang di sebuah pengadilan adat dengan delik perzinaan, sebuah perbuatan yang akan dikenakan pidana jika dilakukan di kampung mereka. Beberapa orang tua, para tetua kampung yang berjumlah empat orang dan ketua pemuda kampung tadi yang juga ikut menangkap Arfa dan Zumi, juga turut duduk di depan mereka, menjadi semacam majelis hakim dari peradilan tradisional ini. Seorang bapak tua, yang duduk di tengah di antara majelis hakim tradisional itu, dari gesturnya, dari cara ia duduk, bagaimana orang memperlakukannya serta dari pakaian dan peci yang ia pakai, bisa dipastikan ialah yang memimpin peradilan ini. Dari tadi ia sibuk melihat kartu tanda pengenal Zumi dengan kacamata rabunnya yang tebal.
“Asalnya ananda dari Jakarta, ya nak? “ tanya sang ketua majelis itu pada Zumi. Suaranya teduh dan bersahabat, namun tak menghilangkan kharismanya sebagai orang yang di tuakan di kampung itu, yang masih sangat kental terasa dalam nada suaranya, hingga membuat nyali Zumi ciut.
“Ia pak!” jawab Zumi tegas. Sebisa mungkin ia tampakkan bahasa tubuhnya dengan kukuh, sebagai pertanda sekaligus pesan pada majelis bahwa ia dan Arfa tak bersalah.
“Sejauh yang saya dengar, di tempat ananda berasal, perbuatan semacam ini merupakan hal yang lumrah, mungkin juga bagian dari tata cara bersosial. Tapi di tempat kami ini, berduaan dengan lawan jenis di tempat tertutup, gelap lagi sepi, merupakan sebuah perbuatan yang tercela yang akibat dari perbuatan tersebut bukan cuma dosa pada Tuhan, namun juga terdapat sanksi sosial. Saya kira ananda sedikit banyak telah tahu bagaimana hukum yang kami jalani disini, bukan begitu?” Jelas bapak ketua majelis hakim dengan nada yang masih sama, lembut dan berkharisma.
Mendengar pembukaan yang sangat elegan itu, membuat Arfa dan Zumi terdiam. Begitu berkharismanya ketua majelis itu sampai nyali mereka ciut. Belum lagi euforia negatif dari khalayak ramai yang tak hentinya mencibir mereka. Hal itu, sedikit banyak, membuat mereka sadar, kalau probabilitas mereka untuk tidak terkena sanksi sosial terhadap tuduhan perbuatan asusila ini sangat rendah. Arfa tahu betapa tabunya membicarakan keintiman hubungan lelaki dan perempuan di luar pernikahan dalam masyarakatnya, tentu ia tahu berduaan dengan lawan jenis, di tempat tertutup, sepi dan gelap, tak peduli apapun alasannya, merupakan sebuah perbuatan menyeleweng dalam tata krama bersosial. Jadi, Arfa juga tahu dengan benar bagaimana masyarakatnya akan menyikapi ketika berhadapan dengan para pelanggar tata krama itu.
Dalam dari pada itu, Arfa sangat gelisah, yang paling ia takutkan ialah kalau peradilan ini sampai ke telinga keluarga besarnya, apalagi telinga ayahnya. Dan lebih dari pada itu, ia sangat takut kalau peradilan ini akan memutuskan kalau ia melakukan perbuatan asusila seperti yang telah dituduhkan, dan menghadapi sanksi dari putusan tersebut, ia sudah bisa membayangkan bagaimana wajah ayahnya yang kecewa, dimana seharusnya ayahnya bahagia karena putrinya pulang untuk menikah, malah mendapat kabar kalau putrinya telah mesum dengan lelaki lain. Gambar-gambar hitam putih model lama bermunculan di kepala Arfa. ayahnya yang mengalami stroke karena malu, wajah-wajah seluruh keluarga besar membencinya, tatapan sinis masyarakat kepada keluarganya. Tubuh Arfa bergetar, membayakannya saja ia tak sanggup. Zumi disampingnya juga bergetar, ia khawatir peradilan ini akan membuat Arfa masuk ke dalam situasi seperti yang tengah tergambar di kepala perempuan itu.
“Coba jawab yang jujur sama saya ya Nak! Apa-apa saja yang sudah kalian buat dalam mobil itu?” suara bapak ketua majelis mengaggetkan lamunan mereka. Arfa membetulkan posisi duduknya, bersikap tenang, memandang lurus ke arah ketua majelis duduk. Ia paham bahwa penerapan ilmu psikologi sedikit banyak akan menentukan hasil dari peradilan ini.
“Kami gak zina, mesum atau melakukan perbuatan Asusila seperti yang majelis ini tuduhkan, Pak! kami cuma berhenti sebentar disitu, buat istirahat aja kok Pak. Gak ada hal lain!” jelas Arfa dengan lembut tapi tegas. Zumi mengangguk, membenarkan perkataan Arfa.
“Kami gak bodoh ya nong[1]! Gak perlu jauh-jauh sampai ke Jakarta untuk tahu apa yang dilakukan laki-laki sama perempuan yang berduaan dalam mobil di tempat sepi dan gelap. Kan gak mungkin kalian main ludo disitu!” tanggap sang ketua pemuda kampung dengan sinis, perkataannya yang terakhir ditanggapi dengan tawaan oleh para warga kampung yang ikut menonton.
“Nyak Karim! Berapa kali saya bilang, sebelum dipersilahkan, yang boleh ngomong di dalam majelis ini cuma saya sama terdakwa!” sahut ketua majelis dengan tegas, ia memarahi ketua pemuda kampung karena pemuda itu berkomentar diluar kewenangannya. Lalu sang ketua majelis berdiri, menghadap ke kerumunan.
“Dan untuk kalian, ini bukan tontonan. Disini, kami duduk di depan ini, bukan mau melucu. Kita sedang menegakkan hukum Tuhan. Jadi, tolong! Jangan hinakan diri kalian sendiri, jadilah muslim yang baik!” lanjut bapak ketua majelis. Lalu semua orang merunduk khidmat, suara tawa yang baru saja terjadi langsung mendadak senyap. Bapak sang ketua majelis memang sangat disegani di kampung itu.
“Kepada anak-anak kecil, Pulang sana. Ini urusan orang dewasa. Tolong para pemuda dikondisikan!” suruh ketua majelis. beberapa anak muda bangun dan menyuruh beberapa anak-anak kecil dalam kerumunan untuk pulang.
“Baik! Kita lanjutkan lagi!” Ketua majelis kembali duduk di tempatnya dengan tenang karena situasi telah kembali kondusif.
“Polem! Tolong kau isikan lagi kopi ini!” suruh ketua majelis dengan menunjuk gelasnya yang sudah kosong pada seorang pemuda yang tak jauh darinya. Pemuda itu lalu bangkit dengan membawa sebuah teko kuning yang sering menjadi merchandise dari mereka yang baru pulang Haji. Setelah penuh gelas kopi bapak ketua majelis, pemuda itu kembali ke tempatnya.
“Kalau kalian gak zina, ngapain kalian di tempat gelap seperti itu? Seperti yang nyak Kasim sampaikan, tidak mungkin kalian main ludo di tempat sepi seperti itu, bukan?” Setelah menghirup kopinya yang hangat, ketua majelis kembali fokus kepada duduk perkara.
“Yaaa karena lelah, kami berhenti aja pak, sekedar mau istirahat disitu. Karena kalau lanjut, bisa bahaya Pak!” Sahut Zumi.
“Kenapa kalian gak istirahat di tempat lain yang lebih nyaman, kenapa harus di tempat seperti itu? Gak masuk akal saya kalo kalian sekedar istirahat di tempat gelap semacam itu!” sangah bapak ketua majelis. Ia lalu menyalakan rokoknya, pertanda beliau mulai serius.
“Kami gak zina atau mesum, Pak! Kami cuma berhenti, istirahat sambil ngobrol. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya, saya berani bersumpah WALLAHI!!! Sumpah! Demi Allah Kami tidak berzina, Pak!” sahut Arfa dengan sangat tegas, ia mencoba bersikap tegar dan berani untuk bersumpah walau tangannya gemetar karena ia tahu, tak baik mengeluarkan kata sumpah secara sembarangan. Tapi, ia tak melihat jalan lain selain dengan mengambil jalan itu.
“Kalau memang benar seperti yang kalian katakan, bisakah kalian buktikan pada kami kalau kalian tidak melakukan perbuatan senonoh seperti yang majelis ini tuduhkan?” Pinta sang ketua majelis.
Mendengar kata-kata beliau, Arfa dan Zumi terdiam. Seperti yang mereka takutkan, mereka pasti diminta untuk membuktikan bahwa mereka tidak melakukan perbuatan itu. Parahnya, semua yang berkaitan dengan ditangkapnya mereka: berduaan di dalam mobil ditempat sepi nan gelap dan kondisi kaca mobil yang tertutup rapat, sudah lebih dari cukup untuk mendelikkan mereka dalam perkara asusila ini.
“Tidak ada, bukan?” Tanya bapak ketua majelis kembali. Mereka berdua tetap diam.
“Kalian di dalam mobil yang terpakir di tempat gelap dan sepi. faktor-faktor itu sudah lebih dari cukup sebagai bukti kalau kalian berzina. Sedangkan pembelaan kalian? Hanya beristirahat dan mengobrol saja di tempat seperti itu? Dan kalian berani-beraninya bersumpah dengan Nama Tuhan secara sembarangan? Tolong ananda! Jangan hina diri kalian sendiri dengan kebohongan!” sambung Bapak ketua majelis. Meskipun kata-katanya sangat menohok, beliau mengatakannya dengan suara lembut lagi tenang.
Dan kata-kata itu membuat bibir Arfa dan Zumi menjadi kelu. Argumentasi, logika dan pemilihan kata-kata yang sangat terpelajar itu membuat mereka mati kutu tak bisa berbuat apa-apa. Sekarang, mereka hanya bisa pasrah. Wajah mereka pucat membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Jadi baiknya begini! Sesuai dengan hukum beserta adat yang berlaku, kami harus hubungi kedua orang tua kalian, untuk segera di nikahkan. dan juga...”
“Assalamualaikum!” seru seseorang dari keramaian. kata-kata bapak ketua majelis tiba-tiba berhenti karena seseorang itu menginterupsi beliau.
“Walaikum salam...” sahut para pemuka majelis hampir bersamaan. Dari raut wajah mereka, tampak mereka tak senang karena majelis terhormat ini diinterupsi, apalagi dilakukan oleh seorang anak muda. Namun, ketua majelis sangat demokratis. Ia dengan legowo menyambut anak muda itu. Dengan pasti dan percaya diri, pemuda itu melangkah menuju ke depan majelis lalu menjabat satu persatu tangan para majelis hakim. Melihat seseorang itu, raut wajah Arfa dan Zumi yang sejak tadi gelisah dan gusar, tiba-tiba berubah, mereka terlihat senang. Di saat-saat genting di ujung tanduk seperti ini, seseorang datang membawa harapan.