A Trip to Your Wedding

Rahmatul Aulia
Chapter #21

The End of They Trip

Dari dalam mobil, Zumi tertegun melihat Arfa yang keluar dari penginapan membawa barang bawaannya lalu berjalan ke arah tempat mobil mereka terpakir. Barang bawaan perempuan itu tak terlalu banyak sehingga ia bisa mengangkat sendiri ke dalam mobil, tanpa perlu bantuan Zumi. Setelah selesai, Arfa lalu membuka pintu depan mobil, kemudian duduk di samping Zumi.

“Gak ada yang ketinggalan kan Fa?” tanya Zumi memastikan sebari melihat barang bawaan Arfa di bagian belakang mobil.

“Gak ada.” jawab Arfa dengan menggeleng. Mesin mobil sudah dari tadi dinyalakan Zumi untuk dipanaskan, setelah segala sesuatunya telah siap, Zumi menjalankan mobil, meningalkan penginapan. Tak lama kemudian, mobil mereka telah masuk ke jalan Raya.

Suasana di dalam lagi-lagi senyap tak seperti biasanya, dan kali ini terasa lebih menyiksa karena Zumi tak menghidupkan tape mobil untuk memutar musik. Mereka berdua tak tahu harus mengobrolkan apa di saat-saat terakhir seperti ini. Arfa memandang Zumi yang terlihat sangat fokus menyetir, karena tak kunjung lelaki itu mengajaknya bicara, ia menatap ke panorama ke luar mobil, mengalihkan rasa hening di dalam mobil dengan melihat suasana kota Banda Aceh. Kota kelahirannya dan juga sebagian masa kecilnya dihabiskan di kota ini, sebelum orang tuanya di pindah tugas ke Jakarta setahun sebelum terjadinya musibah Tsunami, sehingga ia bisa berbahasa Aceh. Meskipun telah banyak terjadi perubahan, akibat bencana itu, dalam samar-samar masih terbayang dalam kenangannya tentang masa-masa kecil yang sangat indah yang ia habisi di kota ini. Bagaimana ia bersama teman-teman masa kecilnya bermain banyak hal, yang sebagian permainan itu telah punah sekarang akibat kemajuan teknologi. Meskipun tak satupun kawan masa kecilnya yang sekarang ia kenal maupun ia ingat namanya, karena ia masih terlalu kecil waktu itu dan hampir semua temannya telah meninggal dunia karena bencana Tsunami, tapi Arfa bersyukur karena mereka telah memberi kenangan yang indah baginya. Rasa syukur itu, menyimpulkan sebuah senyum di bibir Arfa.

Zumi melihat seutas senyum itu dari pantulan dari jendela kaca di samping Arfa duduk. Ia diam dari tadi untuk mengumpulkan keberanian. Semalam, ia tak bisa tidur karena memikirkan Arfa, ia tahu sudah sangat terlambat untuk menyatakan perasaannya sekarang pada perempuan itu. Tapi ia juga tahu, kalau ia tak berterus terang pada Arfa, sekarang, sebelum perempuan itu menikah, ia akan dihantui penyesalan seumur hidupnya. Semalam suntuk ia menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan. Akhirnya, tepat pada saat azan subuh berkumandang. Ia telah mengambil sebuah keputusan.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang di atas jalan raya yang lalu lintasnya tak terlalu ramai. Tiba-tiba, Zumi berbelok ke sebuah jalan yang berlawanan arah dari rumah Arfa, tempat yang mereka akan tuju. Menyadari itu, Arfa berbalik menatap Zumi, memandang lelaki itu dengan tatapan aneh meminta penjelasan. Zumi mengatur nafasnya, berusaha setenang mungkin meski dadanya bergemuruh.

“Sebelum pisah, gua mau ajak lo lihat suatu tempat, boleh gak?” Pinta Zumi pada perempuan itu dengan nada suara sehalus mungkin.

“hmmm, gimana ya?” tanggap Arfa sembari berpikir. Ia sebetulnya senang Zumi mengajaknya bicara setelah keheningan panjang yang menyiksa itu. Tapi karena Zumi akan kembali mengajaknya ke suatu tempat, padahal seharusnya Arfa sudah di tuntut untuk segera sampai ke rumah orang tuanya, membuat perempuan itu sedikit bingung.

“Emang lo mau ajak gua kemana lagi sih Mi?” tanya Arfa pada Zumi.

“Gua pengen ngasih surprise buat lo, semacam hadiah lah sebelum kita pisah. Jadi, kan gak etis dong kalo kejutan di kasih spoiler dulu.” ujar lelaki itu secara meyakinkan kepada Arfa.

“hmm..” desir perempuan itu lagi sebari berpikir.

“Gak jauh kok tempatnya, gak makan waktu juga!” tambah Zumi untuk meyakinkan Arfa. kemudian, perempuan itu melengguhkan nafas panjang.

“Hmm..Yaudah iya deh. Tapi, jan lama-lama yee Mik! Abah gua udah nungguin di rumah soalnya!” ujar Arfa dengan sedikit khawatir.

“Tenang aja Fa, gak sampe satu jam kok kita di sana. Dan habis dari situ, langsung gua anterin balik ke rumah lo, ok Fa?” Ucap Zumi secara meyakinkan pada Arfa. perempuan itu lalu mengangguk seraya mengacungkan jempolnya.

Tak lama kemudian, Mobil mereka telah terpakir di tempat yang di maksudkan Zumi, sebelum turun dari mobil, Arfa sudah tahu bahwa tempat itu bernama Taman Putroe Phang, sebuah tempat peninggalan Kesultanan Aceh pada abad ke tujuh belas. Bagi Arfa, selain merupakan sebuah situs sejarah, tak ada yang benar-benar istimewa dari tempat ini, dan ia kecewa. Sudah terlalu biasa ia ke tempat ini bila pulang sesekali ke Banda Aceh untuk lari pagi. Tapi ia tak ingin mengecewakan Zumi, maka ia ikut saja kemauan lelaki itu.

Suasana di Taman Putroe Phang tak ramai, bahkan bisa di bilang sepi karena saat ini waktunya menjelang siang dan hari ini adalah hari kerja. dan juga, situs sejarah ini tak terlalu menjadi favorit bagi warga kota maupun para pelancong, jadi Arfa maupun Zumi memaklumi mengapa tempat ini agak sepi, mereka berjalan lambat dan beringinan.

“Kenapa lu ajak gua kesini, Mi?” Tanya Arfa pada lelaki itu.

“Lu tau tempat apa ni?” Tanya Zumi balik padanya.

“Taulah, tempat ini kan namanya Taman Putroe Phang. Ya biarpun gue jarang pulang, gua kan tetap anak daerah. Gak ada orang asli Banda Aceh yang gak tau tempat ini!” Jelas Arfa pada Zumi disampingnya.

“Kalau itu lo tau apa?” Tanya Zumi kembali pada Arfa sambil menunjuk sebuah bangunan putih yang tak jauh dari mereka.

“Lu mau nge test gua apa gimana sih Mi?” Ujar Arfa yang mulai kesal pada Zumi yang terus bertanya padanya.

“Udah Fa, jawab aja dulu, entar gua sampein point gua.” Ucap Zumi meyakinkan Arfa.

“iya iya, tu bangunan putih namanya Gunongan. Terus apa lagi?” Ucap Arfa dengan masih sedikit kesal. 

“Lu tau gak, kalau Gunongan itu, Taj Mahal-nya Aceh?” Ungkap Zumi kembali padanya

“Hah?” Arfa tak mengerti dengan maksud Zumi.

“Jadi ceritanya, ni bangunan hampir sama kisahnya kayak Taj Mahal di kota Agra, India sana. Bedanya Taj Mahal kan makam. kalau yang ini, semacam miniatur gitu,” Jelas Zumi pada Arfa, Arfa masih tak mengerti kemana maksud Zumi, tapi ia mulai tertarik dengan topik pembicaraan kali ini.

“Jadi, dulu, pas masa Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke tujuh belas. Sultan pas waktu itu, Sultan Iskandar Muda, nikah sama salah satu puteri dari kerajaan Pahang, salah satu kerjaan Islam di Malaysia sana, untuk memperkuat pengaruh Aceh di sepanjang daratan Selat Malaka. Nah! Jadi nama putrinya itu, Putri Kamaliah. Dan karena dia dari kerajaan Pahang, dijulukilah ia dengan nama Puteri Pahang. Atau dalam kebudayaan Acehnya dipanggil dengan sebutan Putroe Phang.” Jelas Zumi pada Arfa di sampingnya. Mereka duduk di salah satu bangku yang teduh sambil menghadap bangunan putih yang sedang mereka bicarakan saat ini itu.

“Lo tau semua ini dari mana?” Tanya Arfa dengan tatapan curiga pada Zumi di sampingnya.

“Ya tau lah, gua kan pinter!” Jawab Zumi dengan santai dengan ekpresi sedikit sombong. Arfa lalu menunjukkan ekpresi wajah tak percaya pada pernyataan Zumi.

“Google sih, hehehe!” Ucap Zumi sambil tertawa kecil.

“Kan, bener tebakan gue, gak mungkin lo tau kisah roman se klasik itu...” Tanggap Arfa.

“hehehe...” Zumi terus tertawa kecil.

“Terus terus, gimana lagi?” tanya Arfa penasaran, meminta Zumi melanjutkan ceritanya.

Lihat selengkapnya