A Trip to Your Wedding

Rahmatul Aulia
Chapter #22

The Ceremony Start!

Seperti yang sering kita lihat di Film-Film India, Rumah keluarga Arfa yang memiliki halaman luas tampak megah dengan bermacam dekorasi, paduan berbagai warna kain khas Aceh yang indah tampak begitu serasi, hidup dan semarak di pandang mata. Juga pernak-pernik lampu neon berbagai warna semakin menambah semaraknya suasana. Orang-orang disana tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing, baik dari segi acara, perlengkapan, akomodasi dan konsumsi. Dan indahnya, semuanya tampak begitu bergairah karena ikut andil merayakan sebuah cinta. Semaraknya acara itu persis sama dengan yang apa sering kita lihat di Film-Film Bollywood. Bedanya hanyalah tak ada kerumunan orang yang menari-nari. Selain itu semua sama: Musiknya, antusiasnya, gairahnya, semaraknya dan juga kebahagiaanya.

Bapak Sofyan, ayah Arfa, empunya acara ini, membuat pesta besar-besaran karena inilah kali pertama ia menghelat acara pernikahan di tanah kelahirannya. Sebab anak-anaknya yang lain, berarti abang dan kakak-kakak Arfa, semuanya menikah di Jakarta, sewaktu beliau masih aktif menjadi seorang pegawai negeri di salah satu Kementrian di Republik ini. Setelah beliau pensiun dan pulang ke Aceh. Tak pernah lagi beliau membuat acara. Maka ketika Arfa, anak bungsunya itu akan menikah, inilah kesempatannya untuk membuat acara yang semarak, supaya bisa menghadirkan seluruh keluarga, sahabat dan koleganya agar dapat berjumpa lagi setelah sekian lama tak bersua, menjalin kembali jalinan silaturrahmi, untuk temu kangen maupun reoni. Sebab itu, Ayah Arfa tak segan menggelotorkan dana besar demi kesuksesan dan kemeriahan acara ini.

Yang paling bahagia selain ayahnya, tentu saja Arfa. Selain ia bisa bertemu dan berkenalan dengan seluruh keluarga besarnya. Akhirnya, setelah selama ini hanya berkomunikasi lewat telpon, ia akhirnya bertemu dengan Fajar, calon suaminya. Dan ia tambah bahagia karena lelaki itu melebihi dari ekspektasinya. Dari segi bibit, bebet dan bobot pemuda itu, semuanya memenuhi bahkan melebihi kriteria calon suami. Selain tampan, kaya dan berasal dari keluarga yang terhormat, lelaki itu ternyata sangat terpuji perangainya. Baik dari tutur kata, perilaku maupun dalam sisi beribadah. Terlebih ia merupakan alumni pondok pesantren, yang sangat paham ilmu agama. Singkatnya, kualifikasi yang dimiliki Fajar tidak hanya membuat para calon mertua senewen berebutan menjadikannya mantu, tapi juga mampu membuat para gadis mabuk kepayang. Fajar, adalah lelaki dengan paket lengkap, pesonanya mampu menggaet anak gadis dan orang tuanya sekaligus.

Lalu? Bagaimana kabar tokoh utama kita, Zafaruddin Maulana Ismail atau yang lebih kita kita dengan nama Zumi, yang sekarang sedang duduk sendirian di sebuah pojokan memandangi kesibukan orang-orang memeriahkan acara pernikahan Arfa, sambil memegang sebuah cangkir yang kopinya tak ia sadar telah lama dingin itu? Hanya satu kata yang dapat mendeskripsikan keadaaannya sekarang, menyedihkan. Dari tadi ia sibuk melayangkan senyum palsu pada keramaian yang menyapanya, sampai rangka gusinya letih.

Dalam konsep peraduan nasib, ada orang yang cukup beruntung yang diberikan kemewahan untuk merasakan jatuh cinta dua kali dalam hidupnya. Dan dalam sistem peraduan nasib yang tak satu setanpun tahu kebenarannya ini, ada orang-orang yang demikian malang seperti Zumi. Ketika nasib memberinya kesempatan kedua untuk kembali jatuh cinta lagi. Saat waktu memberinya kemewahan untuk bertemu lagi dengan seseorang yang mengajaknya terbang tinggi. Nasib dan waktu itu seakan bersekongkol, dengan amat sangat tega memotong sayap-sayap indahnya, merenggut kebahagiaanya itu. Sehingga membuat manusia-manusia malang seperti Zumi jatuh berbedam ke jurang kenelangsaan. Lihatlah ia sekarang, pura-pura tersenyum pada keramaian agar tak seorangpun tahu betapa hancur hatinya. Pandanglah ia sekarang, dengan wajah lugu ia memandangi Arfa yang tengah bercanda ria nan mesra dengan calon suaminya.

Sebenarnya, setelah mengantarkan Arfa pulang ke rumah orang tuanya, ia ingin langsung tancap gas, berlalu dari tempat itu. Karena ia kurang suka dengan keramaian yang manusianya tak ia kenal. Terlebih, tak kuat ia berlama-lama menyaksikan sebuah tontonan yang perlahan tapi pasti menggiringnya ke jurang kehancuran. Tapi saat Arfa menceritakan dengan jujur pada ayahnya mengapa ia terlambat pulang ke rumah, merincikan dengan detail padanya tentang siapa Zumi, yang merupakan teman sekolah Arfa, dan tanpa pamrih menolong dan mengantar Arfa pulang ke rumah dalam keadaan utuh sehat wal afiat tanpa kekurangan suatu apapun setelah Arfa ketinggalan pesawat. Membuat Ayah Arfa memaksanya untuk tetap tinggal sampai acara pernikahan selesai. Bahkan, dengan sangat tidak berlebihan, Ayah Arfa telah menganggap Zumi sebagai saudara karena telah menolong putri bungsungnya. Jadi, berdasarkan perintah Ayah Arfa, Zumi diperlakukan sebagai tamu khusus yang tak perlu membantu apapun, kerjanya hanya makan, tidur dan menikmati hidangan dan semarak pesta saja tanpa perlu turun tangan membatu. Bahkan, kata Ayah Arfa dengan wajah yang sangat serius, bila ia melihat Zumi ikut bekerja membatu keberhasilan acara, ia akan memarahi Zumi. Sebegitu baik dan ramahnya Ayah Arfa pada Zumi sehingga pemuda itu sangat berat menolak permintaan orang tua itu untuk tetap tinggal. Maka, disinilah Zumi sekarang, di sebuah pojokan yang tentram sambil memegang cangkir yang kopinya tak ia sadar telah dingin, memandangi kesibukan orang-orang menyiapkan acaranya.

Dan sialnya bagi Zumi, tidak hanya kemeriahan acara pernikahan ini seperti film-film Bollywood, diapun menjadi karakter dari cerita kebanyakan film romatis India. Yang mana saat seorang pecinta hadir sebagai tamu undangan di pesta pernikahan sang kekasih. Seperti Shah Rukh Khan dalam film Dilwale Dulhania Le Jayenge atau Saif Ali Khan dalam film Love Aaj Kal, dimana mereka mampu merebut kembali pujaan hati mereka tepat sebelum kekasih mereka itu melangkah menuju altar pernikahan. Sedang Zumi, tak seperti jagoan-jagoan romantis itu, ia hanya bisa duduk termenung tak berdaya di sebuah pojokan. Ia hanya punya cinta. Dan sialnya, cinta itupun tak berpihak padanya. Kalau ia tak memikirkan perasaan Ayah Arfa, sudah dari kapan tahu ia pergi, siapa yang sanggup di siksa perlahan-lahan namun pasti macam ini.

Yang membuat Zumi sedikit terhibur adalah saat salah satu sahabat dekat Arfa, yang kebetulan juga temannya, Ina, datang ke acara itu. Saat di sambut Arfa di halaman rumahnya, Ina tampak kesal karena Arfa tak memberitahunya lebih dulu tentang pernikahan itu. Terjadilah adegan lebay ala gadis-gadis muda yang dramatis dalam pandangan Zumi.

“Huhu, jahat banget lo Fa, gak ngabarin gua kalo lo mau nikah, huhuhu!” Tutur Ina sambil menagis, sebegitunya ia kesal dengan Arfa.

“Sorry, gua mau ngabarin kok...” hibur Arfa melihat sahabatnya yang sendu sedan.

“Apaan lu mau ngabarin, gua taunya lu mau nikah aja dari nih Cumik!” Sanggah Ina kembali sambil menunjuk Zumi

Jahat banget lu, kayak gua bukan sahabat lu aja. Huhuhu....” sambunngya. Ia kembali melanjutkan dramanya, menangis tersedu sedan. Arfa malah tersenyum melihat rasa sayang sahabatnya itu.

“Sorry Na, gak maksud kok gua. Lu kan sahabat gua yang paling. Jadi gak mungkin gua gak ngabarin elu. Maaf yaaa?” Kata Arfa lembut membelai pundak sahabatnya itu. Ina tak merespon apapun, ia terus menangis. Zumi yang melihat opera sabun itu sebenarnya ingin berkomentar, tapi sejurus kemudian ia sadar bahwa ucapannya sangat sensitif di telinga Ina dan bisa membuat suasana bisa menjadi tambah runyam. Maka ia memilih diam saja dan membiarkan Arfa menenangkannya. Karena Arfa punya karakter lembut yang tak hanya lelaki, perempuanpun akan luluh dengan kelembutannya.

“Kalau lu mau maafin gua, gua kasih deh, Na...” Tawar Arfa pada sahabatnya itu. Ina menghentikan sedikit tangisnya, karena tertarik pada penawaran Arfa.

“Apa?” tanyanya sambil sesenggukan.

“Ini!” Arfa mengangkat semangkuk kari kambing ke hadapan Ina. Yang malah membuat Ina berang.

“Apaan lu sogokin gua pake makanan murahan begini?! Lu kira gua gak punya harga diri apa?! Bisa disogok pake beginian, Hah?!” Ucapnya dengan nada tinggi, Ina benar-benar kesal pada Arfa.

Bukannya panik, Arfa malah tersenyum. Ia agak mendekatkan mangkuk yang isinya masih panas itu ke dekat wajah Ina, sehingga sahabatnya itu bisa mencium aroma lezat dari kari kambing khas Aceh yang aroma rempahnya sangat menggoda Ina. Tapi egonya masih demikian tinggi. sehingga ia masih berwajah cemberut.

“Ini enak banget lo Na! Apalagi di makannya ditemenin pake ini!” rayu Arfa dengan sangat menggoda sebari menyodorkan di hadapannya sepiring acar: yakni irisin bawang merah beserta beberapa cabe rawit yang masih segar, yang membuat Ina meneguk ludah, ia benar-benar tergoda, tapi sedikit egonya masih ada.

Lihat selengkapnya