Tanpa sepengetahuan Arfa, sahabat-sahabat karibnya yang lain, yakni Sarah dan Peni tiba di rumah keluarga Arfa lebih cepat dari yang ia duga. Mereka datang tepat sebelum acara pertunangan Arfa di helat. Saat Arfa sedang di make up di kamarnya, mereka masuk dengan hebohnya. Lalu terjadilah drama opera sabun yang jauh lebih lebay dari saat kedatangan Ina. Tentang Arfa yang tak mengabari mereka kalau akan segera menikah dan Arfa yang meminta maaf akan hal itu pada mereka, begitu-begitu terus, penuh dengan bawang bombay banjiran air mata dan gelak tawa, hampir selama satu jam. Opera sabun itu sedikit kembali menghibur Zumi setelah semalaman ia tak bisa tidur.
Semalam merupakan malam terpanjang yang pernah dilalui Zumi seumur hidupnya. Bagaimana tidak? Karena besok ia melihat sendiri kebahagian orang yang dicintainya yang ternyata tidak seiring dengan kebahagiaanya. Sebuah frasa lama nan indah, yang mengatakan kalau yang terpenting adalah kebahagian dirinya, tak peduli harus bersama siapa, benar-benar sebuah frasa yang bullshit bagi Zumi sekarang. Ia bahkan sampai memaki-maki pencipta frasa indah itu. Katanya, penyair yang sok tahu itu pasti seorang pengecut, karena ia yakin pencipta frasa itu tak pernah menjadi pecundang, menjadi tamu undangan dalam pesta perkawinan kekasihnya, tanpa bisa melakukan apapun. Penyair itu tak pernah dalam kondisi yang hanya bisa menerima kekalahannya dengan lapang dada. sehingga mudah saja penyair itu merangkai kata-kata filosofis nan indah tanpa pernah merasakan sakitnya mencinta tanpa terbalas. Begitulah kurang lebihnya, bagaimana Zumi melewati malam yang panjang itu.
Tapi apa boleh buat, hanya frasa indah itu yang bisa menguatkan batinnya untuk menjalani hari-hari ke depan. Bukankah tujuan kita jatuh cinta untuk membuat orang yang kita cintai itu bahagia? Permasalahan dengan siapa ia bahagia adalah kasus lain yang tak relevan. Jadi, dengan kepala tegak, dengan senyum penuh kerelaan, Zumi hadir menyaksikan acara pertunangan Arfa. Melihat jauh ke dalam mata perempuan itu yang tengah haru saat calon mertuanya, ibunda dari Fajar memasukkan sebuah cincin emas yang sangat indah ke dalam jari manis Arfa. Memandang dengan rinci setiap garis-garis wajah Arfa yang dirias indah, sehingga perempuan itu terlihat makin rupawan, yang sekarang sedang melekukkan sebuah senyum yang indah ketika seorang Fotografer di depannya menuntun ia dan Fajar untuk melakukan berbagai pose romantis yang tetap santun. Lalu tawa-tawa manja yang terlempar darinya beserta sahabat-sahabatnya di muka acara itu. membuatnya sadar bahwa Arfa tak memerlukan dirinya untuk bahagia. Perempuan itu sudah memiliki segala dan Zumi tak menjadi bagian dari diri Arfa.
Maka yang bisa dilakukannya sekarang, adalah mengucapkan selamat pada calon suami Arfa, Fajar. Segera setelah acara selesai, Zumi langsung menghampiri Fajar yang tengah duduk bersama keluarga besar dua keluarga di ruang utama. Zumi ikut nimbrung dengan tongkrongan itu, dan tak butuh lama untuk ia membaur sebab latar belakang travelingnya yang dapat dengan mudah membuat orang terkesan. Dan tak butuh waktu yang lama pula bagi Zumi untuk tahu lelaki macam apa Fajar itu. dari gaya bicara dan pemilihan kata yang digunakan lelaki Itu, Zumi langusng segan dan minder, sebab selain ia berpenampilan tampan yang rapi, seluruh kualifikasi inner beauty-nya benar-benar beauty. Zumi kembali harus menelan pil pahit karena ia sedang mengalami apa yang kata pepatah bijak lama sering ungkapkan. Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah kurang lebih keadaannya sekarang. Arfa yang tak memilihnya dan sosok saingan sesempurna Fajar. Lengkap sudah penderitaannya, sempurna sudah kekalahannya.
***
Di tempat lain, di dalam kamar Arfa, empat sahabat itu tenga bercanda bercanda ria. Tiba-tiba, Peni ingat akan satu hal.
“Eh Fa! Ngomong-ngomong tentang ini, gue jadi ke inget tentang elu yang pengen buat tes aer garem itu buat calon suami elo?” Mendenfar kata-kata Peni membuat kumpulan sahabat itu diam dan saling memandang satu sama lain. Lalu, Sarah tersenyum.
“Buat yuk!” ajaknya pada mereka. Sahabatnya yang lain agak ragu, terutama Ina. Ia menganggap mereka sudah terlalu tua untuk melakukan hal semacam itu.
“Kita bukan anak SMA lagi Nik! Ada ada aja lo!” Tanggap Ina. Namun, Sarah punya pandangan lain.
“Udah lama juga kita gak gila kayak zaman-zaman SMA ya?” Sahut Sarah. Membuat wajah ragu para sahabatnya berubah.
“Buat gila lagi yuk?!” Ajak Sarah. Peni dan Arfa mengiyakan ajakan Sarah. Sedang Ina masih ragu.
“Yakin nih kalian? Kalau entar si Fajar sampe muntah-muntah depan orang rame gimana?” saran Ina Ragu. Di antara mereka, Ina lah yang paling dewasa.
“Gimana pendapat lo Fa?” tanya Sarah pada Arfa. perempuan itu berpikir sebentar, lalu tersenyum mengangguk.
“Gua sih ok aja. Penasaran juga gua bakal gimana...” sahut Arfa kemudian. Melihat persetujuan yang punya hajatan. Membuat Sarah makin bersemangat.
“Jadi gimana Na? Si Arfa udah oke nih!” kata Sarah pada Ina. Hebatnya geng ini, mereka tak pernah egois memaksakan kehendak mereka sebelum semuanya sepakat. Ina kemudian berdeham.
“Ya karena sistem negara kita menganut paham demokrasi, apa boleh buat.” Ucap Ina yang membuat mereka saling bertatapan.
“Let’s buat gila!” seru Ina, yang membuat para sahabatnya gegap gempita.
Kemudian, mereka berempat dengan antusias menuju dapur. Di sepanjang perjalanan mereka menusu kesana, beberapa orang melihat mereka dengan tatapan aneh, karena mendapati Arfa yang berbaju bagus berias indah, tapi tak mereka hiraukan pandangan itu sebab ketika mereka bersama-sama, mereka tak peduli lagi apa kata dunia. Sampai di dapur, mereka segera mencari toples yang berisi garam.
“Eh Na! Sekalian buatin minum buat yang lain, kan rame tuh! Untuk urusan air garem, biar Arfa aja yang buat. Kan khususan buat suami tercinta!” Ucap Sarah pada mereka di sambut dengan teriakan manja.
“Aaaa, tayang-tayang!” balas Ina manja