A Trip to Your Wedding

Rahmatul Aulia
Chapter #24

Miniatur Bangunan Putih yang bersejarah nan Romantis

Arfa duduk di depan cermin rias yang besar di dalam kamarnya. Di ruang itu, semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, para sahabatnya yang dari tadi bertengkar memilih baju mana yang terlebih dulu mereka pakai sebagai bridesmaid-nya Arfa. ada yang menganti seprai kasurnya, dan ada pula tim profesional yang sedang berkemas-kemas merapikan barangnya karena telah selesai mendadani wajah Arfa. Dengan gaun putih pernikahan, dengan muka yang telah di make-up, Arfa duduk di depan meja hias, memandangi dirinya sendiri dari pantulan kaca itu dengan perasaan yang ia sendiri sulit jelaskan. Bukan karena riasan para profesional itu mengecewakan, tidak! Bukan itu. Arfa malah terkejut melihat dirinya bisa secantik itu berkat tangan para profesional itu. melihat kaca itu, ia seperti melihat seorang putri kayangan dengan kecantikan yang tak pernah dapat digapainya. Namun, reaksi Arfa biasa saja melihat dirinya yang telah cantik itu.

 Saat tim perias profesional itu keluar dari kamar Arfa. sahabat-sahabatnya langsung merubung Arfa di meja hiasnya.

“Adu duh duh, cantik banget temen gua!” kata Ina dengan takjub melihat Arfa dari pantulan kaca.

“Iaa. Gak nyangka gua lu bisa secantik ini lo Fa!” tambah Sarah yang juga takjub seperti Ina melihat riasan Arfa.

“Ah! Pada lebay lo pada. Biasa aja sih menurut gua.” Ucap Arfa dengan senyum genit.

“Yee, dasar lo Fa!” ucap Ina dengan kesal sambil menjitak kepala Arfa,

“Aduh sakit, Na! Entar rusak lagi dandanan gua!” Rajuk Arfa dengan kesal.

“Hehe, sorry Fa. Geumeush banget gua soalnya liat elu!” kata Ina dengan manja. 

Ina lalu mencium pipi Arfa diikuti sahabat-sahabatnya yang lain.

Happy wedding ya Fa! Semoga lo ama dia langgeng ampe kakek nenek.” Ucap Ina dengan tulus. Arfa membalas ketulusan Ina itu dengan senyum. Disambut ucapan yang maknanya hampir sama dari Sarah dan Peni untuk pernikahan Arfa. Dengan senyum haru, mereka berempat lalu memandangi pantulan diri mereka dari kaca besar meja rias itu.

“Eh deng! Kita belum pake baju?!” Pekik Sarah dengan panik melihat diri mereka sendiri dari pantulan kaca.

“Jam berapa emang keluarga Fajar dateng, Fa?” tanya Ina pada Arfa.

“Jam-jam sebelas kayaknya...” kata Arfa santai.

Mendengar kata-kata Arfa, membuat mereka bertiga, yakni Ina, Sarah dan Peni langsung panik tak karuan, sebab sekarang menunjukkan pukul sepuluh lewat. Mereka segera menuju ke tempat beberapa baju yang tadi mereka tinggalkan.

“Baju mana nih? Baju yang mana nih?” teriak Sarah dengan panik.

“Yang mana aja deh Fa, yang penting nyaman.” saran Peni melihat Sarah yang panik.

“Enak aja lo bacot Nik! Gue mau keliatan cantik, siapa tau ada abang-abang Aceh yang kepicut ama gua!” Kata Sarah dengan nakal. Mereka berempat lalu ketawa.

“Yang ini aja gimana Rah?” Ina menunjuk satu setelan baju diantara tiga pilihan lain.

“Gak cocok warnanya sama kulit gua!” sanggah Sarah.

“Pake baju yang warna ini atau gak pake sama sekali. Kita udah telat banget Sarah! Belum lagi dandan. Kalo lo gak mau, yaudah! Kita pake karung goni atau sekalian pake kresek aja. Gimana?!” Ucap Ina dengan tegas. Ketika Ina mengeluarkan sikap itu, Sarah lansung tunduk. Tak berani membantah apapun. Memang, dalam geng ini, Sarah yang paling besar suaranya, tapi Ina-lah yang paling mereka takuti. Lalu, ketika dengan berat mereka mereka bergerak untuk bersiap-siap untuk mengganti baju, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.

“Siapa?” Tanya Ina dengan sedikit berteriak. Yang mengetuk pintu itu tak menjawab. Malah kembali mengetuk pintu.

“Udah masuk aja, gak di kunci kok! ” sahut Peni. Setelah mendengar suara Peni, seseorang itu lalu membuka pintu kamar Arfa.

“Eh si cumik, gua kirain siapa.” tanggap Ina melihat seseorang yang mengetuk pintu tadi adalah Zumi. Laki-laki itu lalu melambaikan tangannya pada mereka dengan tersenyum

“Hai semua!” Ucap Zumi sambil menyebut nama dan menyapa perkumpulan sahabat itu satu per satu.

“Ngapain lu masuk kamar cewe Mik? Gak sopan tau!” sahut Sarah dengan keras, dari gurat wajahnya, jelas ia tak suka dengan adanya Zumi, apalagi setelah di skakmat Ina. Zumi hanya tersenyum saja menanggapi teriakan Sarah.

“Udeh biarin aja dia Mik! Kalau lagi panik gini emang tuh cewe suka berubah jadi macan. kaya lo gak kenal aja ama Sarah!” Ucap Ina mendinginkan suasasana. Zumi menanggapi Ina dengan tersenyum.

By the way, kenapa lu kemari, ada perlu apa?” Tanya Ina dengan lembut pada lelaki itu. Zumi lalu mendekatkan tubuhnya ke Ina.

“Gua boleh minta tolong gak, Na?” Bisik Zumi.

“Apa?” Ina membalas bisikan itu.

Lihat selengkapnya