A Trip to Your Wedding

Rahmatul Aulia
Chapter #25

Saajanji Ghar Aaye...

Semalaman, sehari sebelum hari pernikahannya, Giliran Arfa yang kini tak bisa tidur. Meski hari itu ia sangat kelelahan, mengikuti acara pertunagan dan berjumpa dengan keluarga besarnya, sudah ia pejamkan matanya dalam-dalam, tetap, ia tak bisa terlelap. Di atas ranjang itu, ia melihat sahabat-sahabatnya di samping, Sarah, Ina dan Peni sudah terlelap dari kapan tahu. Wajah mereka terlihat letih karena acara hari ini dan mereka butuh tidur untuk acara besok hari. Tinggal Arfa sendiri yang terjaga, melihat langit-langit kamarnya yang kosong. Memang ada beberapa orang yang juga ikut terjaga di luar, tapi mereka adalah para pemuda kampung yang di tugaskan untuk berjaga. Sedang Arfa di kamarnya, terlempar jauh ke dalam dirinya.

Kegundahan yang ia rasakan berbulan-bulan lampau, yang dikiranya telah hilang sebab healing, setelah melakukan travelling bersama Zumi, ternyata hanya bersembunyi. Dan tadi, kehampaan itu kembali menghantui dirinya, apalagi saat melihat Zumi meminum habis air camputan garam yang seharusnya diminum fajar, semakin menambah kehampaan dalam rasa gundahnya itu. Yang ajaib serta anehnya, sampai sekarang, tak ia pahami sebab musabab mengapa kehampaan ini muncul dan terjadi di dalam dirinya. Arfa makin tersiksa karena di langit-langit kamarnya itu, Ia melihat kilas-kilas dan gambar-gambar selama menghabiskan waktu bersama Zumi. Kekocakannya, isengnya ia, kata-kata bijaknya, caranya membuat Arfa nyaman serta kejutan-kejutan lelaki itu, yang terus berputar di kelapa perempuan itu meski ia paksakan untuk berhenti. Tapi gambar-gambar itu terus terbayang di langit-langit kamarnya itu.

Ia tak mengerti mengapa bayang Zumi terus berputar kepalanya. Apa mungkin ia telah jatuh hati pada pemuda yang tak tahu diri itu? Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan tegas. Saat ia pikirkan kembali, dalam keadaan sadar dan dengan analisa secara ilmiah, sisi dirinya yang sangat intelek dan waras itu menyimpulkan bahwa perasaannya dengan Zumi sekarang hanya sebuah gejala euforia rasa kangen yang hadir setelah berpisah. Sebab jujur, ia belum bisa move on dengan perjalanan itu. Dan harus di akui pula, berda di sisi dan bersama lelaki itu narsis itu, Arfa merasa nyaman dan sangat bahagia karena bisa menjadi dirinya sendiri. Dan itu, bukan rasa cinta. Namun sebagian dirinya yang lain memberontak, sesosok yang tak pernah ia tahu, yang mungkin menjadi aktor dari penyebab rasa hampa yang Arfa rrasakan selama ini, yang ia tak tahu telah berada lama dalam dirinya, menyangkal kesimpulan ilmiah itu. sosok itu menolak bahwa tak ada rasa pada Zumi.

Adu argumen panjang antara dirinya yang intelek dengan sosok penyebab rasa hampa ini terjadi sampai jauh malam, sampai Arfa lelah bertarung dengan dua sisi dirinya itu, yang satu sisipun, tak ada yang mau berkompromi. Maka, yang bisa dilakukan Arfa untuk mengakhiri pertikaian dalam dirinya tersebut adalah mengambil sikap tegas. Ok! Katakanlah telah ia jatuh hati pada Zumi, apa yang harus dilakukannya? Membatalkan pernikahan ini tepat di hari itu juga? Saat seluruh keluarga besarnya berkumpul? Saat seluruh sahabat dan kolega ayahnya datang bertamu? Dan pertanyaan yang paling dasar dan tentunya paling penting. Apakah Ia cukup berani untuk menyakiti hati banyak orang yang menyayanginya, yakni keluarga besarnya maupun keluarga calon besannya, dan tentu saja Fajar sendiri? Apakah ia sanggup melihat wajah ayahnya yang menanggung malu karena harga dirinya hancur lebur sebab mendapati putri bungsunya yang menjadi biang dari itu semua? Apakah sosok Zumi, yang baru saja di kenalnya cukup mampu menjadi alasan Arfa menyakiti semua orang, terutama ayahnya demi mengejar lelaki yang baru saja datang dalam hidupnya tersebut? Tentu, bagi mereka yang masih waras pikirannya, tentu sependapat dengan Arfa, tak sebanding mengorbankan banyak hal yang selalu ada untuknya semata demi memperjuangkan laki-laki yang baru saja di kenalnya.

Agar lebih memantabkan jiwanya dalam mengambil keputusan tegas atas pertikaian antar dirinya itu, Arfa lalu menggunakan studi komparatif, yakni sebuah metode yang digunakan untuk membedah suatu kasus dengan cara menbandingkan. Segera, melalui daya imajinasinya, Arfa menaruh gambar imajiner Zumi di sisi kiri dan dan gambar Fajar di sisi kanan pada langit-langit kamarnya itu. Serupa HRD yang akan memilih salah satu dari dua kandidat utama atas slot terakhir lowongan sebuah pekerjaan di suatu perusahaan, mulai dari atas sampai bawah, Arfa akan membandingkan Zumi dan Fajar secara menyeluruh,. Dari segi wajah, meski kulit Zumi sedikit lebih mulus karena faktor lelaki itu tinggal di Jakarta, tapi muka Fajar tak kalah menarik, manis legit ala-ala Orang India Punjabi, seperti kebanyakan wajah ketampanan lelaki Aceh pada umumnya. Maka dari segi tampang, mereka berdua sama-sama ganteng.

Dari segi postur, meski Fajar lebih tinggi sedikit dari pada Zumi. Namun, bukan karena itu Arfa kurang suka pada postur Zumi. Tubuhnya yang kurus, seperti tipikal kegantengan cowo di Jakarta, membuat Arfa lebih memilih Fajar dari segi ini. Dan tentunya, karena tubuh Fajar yang berisi itu merupakan tipe Arfa. Ini bukan persoalan Arfa mempunyai birahi pada laki-laki berotot yang suka nge gym, sebab bidang dada Fajar tidaklah sixpack atau memiliki lengan serta pundak yang sangat macho seperti Sidharth Malhotra maupun John Abraham. Postur Fajar yang agak tegap nan berisi itu, terlihat sangat nyaman di mata perempuan, karena sangat cuddleable.

Terus, dari segi harta, keduanya memang punya bisinis yang sukses dan sama-sama mapan pula. Tapi dari segi lain yang berhubungan dengan hal itu, yakni segi keluarga, sekali lagi Arfa harus mengakui bahwa Fajar sangat jauh lebih unggul. Memang, sangatlah jelek pribadi kita jika membandingkan secara apple to apple dengan sangat kasar macam ini. Tapi apa boleh buat, Arfa bukan sedang merencanakan untuk membangun yayasan amal, tapi ia berniat memilih suami. Keluarga Fajar yang merupakan keluarga yang amat terpandang di Kota Banda Aceh karena selain kaya, mereka juga memilki keturunan darah biru yang silsilahnya terhubung secara langsung dengan keluarga lingkar Kesultanan Aceh. Bisa dibayangkan bagaimana orang-orang menaruh hormat pada keluarga Fajar. Karena itu, tak perlu lagi kita jabarkan bagaimana background keluaraga Zumi yang amat pedih bila kisahkan itu.

Kemudian, seperti yang diajarkan Penghulu Sekalian Alam, Nabi Muhammad, tentang empat kriteria memilih calon pasangan hidup terbaik, setelah Arfa malam itu menelisik habis dari segi tampang, kemapanan maupun keturunan mereka, setelah Zumi kalah telak berkali-kali dari dari Fajar, macam Conor McGregor ditinju habis-habisan oleh Khabib Nurmagomedov di sudut arena dalam sebuah pertarungan memperebutkan sabuk gelar juara UFC, Zumi harus kembali mengakui keunggulan Fajar dalam sisi agama. Zumi yang membaca Al-Quran saja masih tak terlalu fasih tentu saja tak ada apa-apanya dengan Fajar yang pernah menimba ilmu di pesantren selama enam tahun. bila dibuatkan grafik atas perbandingan mereka, maka kita akan melihat perbandingan algoritma yang bertolak belakang akan profil mereka.

Memang, ada sisi yang Zumi unggul, yakni dari segi kedekatan dan kenyamanan berbincang dengan. Sebab selain demografi Arfa dan Zumi yang setidaknya memiliki sedikit masa lalu karena mereka satu SMA, mereka juga sama-sama hidup di Jakarta, jadi obrolan mereka nyambung dan juga sama-sama berbicara menggunakan bahasa Indonesia khas Jakarta. Lalu karakter Zumi lugas, eksentrik dan jenaka, yang seru dan mampu menghidupkan suasana jauh lebih disukai Arfa ketimbang sikap Fajar yang sopan dan kalem. Tapi, kembali lagi, Arfa sedang mencari sosok suami, bukan teman nonkrong maupun MC. Lagipula Arfa belum punya waktu yang sepadan dengan Fajar seperti yang dihabiskannya bersama Zumi. Jadi kekurangan Fajar satu ini tidak masuk hitungan, karena calon suaminya itu belum diberinya kesempatan. Dan lagi, keakraban dan rasa nyaman itu seiring waktu akan muncul bila sering bersama. Pernikahan bukan hanya persoalan ngobrol maupun diskusi. Inti dari pernikahan adalah komitmen dan kompromi. Dan ketika Fajar datang ke hadapan ayahnya untuk melamarnya, bukankah lelaki itu sudah siap, jiwa raga, secara lahir batin akan seluruh konsekuensinya? Lebih lemahnya Arfa, baik buruknya ia, kekurangannya, semuanya. Tentu sangat egois Arfa menolak lelaki yang menerima dirinya apa adanya itu karena problem belum nyambung obrolan.

Lama Arfa menganalsis dua lelaki yang kepribadiannya bertolak belakang itu, sampai jauh malam, demi menyelesaikan dengan cepat pertarungan dalam dirinya tersebut. setelah menimbang-nimbang, Arfa sudah punya keputusan. Zumi memang punya pribadi yang amat menarik, yang mungkin saja ia akan jatuh hati dan mau bersamanya jika ia tidak dalam kondisi akan dinikahi orang seperti saat ini. Paduan Karakter Zumi yang jenaka dan misterius tentunya sangat menyenangkan Tapi ironinya, setelah Arfa menemukan sebuah kesimpulan dari analisis panjang itu, bahwa lelaki seperti Zumi hanya cocok menjadi tipe pacar yang menggemaskan bukan sosok suami yang baik lagi bertanggung jawab yang sekarang dilihatnya dalam sosok Fajar. Bukan ia tak mau dengan Zumi, tapi konsep ruang dan waktu memang sudah menetapkan kalau mereka memang tidak bisa bersama. Terlebih, Arfa tak sanggup membayangkan bagaimana kondisi ayahnya nanti jika Arfa berani membuat keputusan seperti yang sering terjadi dalam drama romantis Film Bollywood itu. Maka, saat Azan subuh menggema seantero jagat. Keputusan perempuan itu sudah bulat, tak bisa di tawar-tawar lagi.

***

 Perias profesional sampai menghabiskan waktu yang lebih lama dari biasanya demi menutupi kantung mata panda Arfa karena semalam perempuan itu tak tidur. Ia melihat dirinya yang demikian anggun dalam pantulan kaca meja hiasnya. Dari situ juga, ia juga memandang para sahabatnya yang lagi bertengkar kecil sebab bingung memilih setelan baju bridesmate mana yang lebih untuk pesta pernikahannya. Arfa tadi juga melihat wajah bahagia ayah dan ibunya yang sempat masuk kamar untuk menyapanya. Mendapati itu semua, Arfa menyinggung sebuah senyum di bibirnya, ia bahagia karena keputusan bulat tanpa kompromi yang diputuskan semalaman ternyata turut membuat orang lain, orang-orang yang disayanginya, ikut bahagia.

Namun, ia tak pernah menyangka Zumi tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya, membawa ke-charming­­-an serupa Salman Khan saat melakukan penampilan spesial dalam film klasik Kuch Kuch Hota Hai, Zumi kembali hadir dengan sikap yang sangat gentleman, turut mendoakan kebahagian dirinya bersama Fajar dan menerima kekalahannya dengan lapang. Apalagi, saat Zumi menghadiahkan perempuan itu sebuah miniatur gunungan yang melagenda lengkap dengan karikatur wajahnya beserta Fajar memakai baju pengantin yang megah. Hal itu kembali mencuat sisi dirinya yang tidak setuju dengan keputusan waras berlogika lagi intelek yang telah Arfa teguhkan semalam. Bagian lain dalam dirinya itu meronta-ronta kuat, lebih hebat dari semua yng pernah ia rasakan. Terjadi kembali pergolakan yang begitu hebat dalam dirinya, yang lebih hebat dari sebelum-sebelumnya. Tiba-tiba, semua logika dan dan nalarnya menjadi kabur, perasaann telah mengambil kontrol atas dirinya sekarang. Lamat-lamat, sekeras apapun ia mencoba, sehebat apapun ia tepis gambar-gambar itu, ia tak bisa membohongi dirinya bahwa ia telah jatuh cinta dengan amat dalam pada Zumi. Sebuah perasaan cinta yang tak berdasarkan pada harta, tahta maupun keturunan. Sebuah bentuk cinta yang seakan menumbuhkan sayap di punggung Arfa, yang membuatnya sekarang akhirnya merdeka, lalu ingin terbang bebas, melayang ke segala penjuru arah, tak peduli lagi apapun rintangan dan halangan di depannya, tak peduli meski konsep ruang dan waktu yang demikian abstrak itu ingin menabrak dan memporak porandakan perasaannya yang sekarang demikian membuncah itu. Memang, tak ada yang bisa mengalahkan perasaan terbebas dari segala hal, tak ada yang bisa mengalahkan indahnya merasakan kemerdekaan.

Tapi, dalam euforia perasaaan indah yang membuncah itu, sebab akhirnya ia bisa merdeka, dapat jujur dengan dirinya sendiri, tiba-tiba muncul sosok gambar ayahnya yang tersenyum dengan sangat bahagia dalam kepalanya, yang membuat kemerdakaan itu kembali ambyar. Ia ingin bersama Zumi, tak peduli lagi pada pernikahan ini, pada orang-orang ini, pada dunia tapi ia tak bisa berpaling dari ayahnya. Hujan badai, topan, angin puting beliung, memporak-porandakan jiwanya. Ia tak sanggup melihat ayahnya sedih, kecewa dan malu karenanya. Demikian hebat gejolak dalam dirinya, sehingga, Arfa hanya bisa menangis menghadapi pusaran itu. Dan tangisnya itu, demikan pilu karena tak ada suara maupun air mata. Maka ia tak bisa berbuat apa-apa dan hanya mengikut saja saat Ina datang ke kamarnya dan menemaninya menuju ruang tengah rumahnya, tempat dimana ia sesaat lagi akan menikah. Tempat dimana kemerdekaannya kembali dijajah.

Ketika melewati lorong yang menuju ke ruang tengah rumahnya, dalam kepala Arfa terjadi paradoks, sebuah anomali ruang terjadi di hadapannya. Ia merasakan lorong menuju ruang tengah rumahnya itu terasa dekat dan jauh secara bersamaan. Ruang itu memuai dan menyusut secara serentak pada waktu yang persis sama dalam dimensi yang tak pernah dilihat Arfa. Arfa mengalami gejala psikologis sebab jiwanya bergejolak. Pemuaian dan penyusutan ruang yang di lihat Arfa mungkin bisa saja sebuah manifestasi atas dirinya kalau kemerdekaannya sebentar lagi akan kembali direnggut dan juga cintanya yang membuat ia kembali bebas akan terbang jauh meninggalkan dirinya sendiri. Arfa terus menapakkan kaki, selangkah demi selangkah melewati anomali ruang yang dimensinya sedang kacau balau itu.

Ketika Arfa sampai di ruang tengah, saat semua mata tertuju ke arahnya, melempar senyum seraya memuji kecantikaannya, saat ia melihat ayahnya memandang dirinya dengan bahagia, semakin membuat jiwa Arfa perih. Tangannya sampai bergetar hebat karena jiwanya ia berontak. Lalu saat ia duduk di sebuah tempat yang telah di sediakan di samping Fajar, dan lelaki itu dengan lugunya tersenyum padanya setelah Ina menyelimuti sehelai kain indah bermotif tenun khas kebudayaan Aceh, semakin menyayat-nyayat perasaan Arfa, pedih sekali jiwanya melihat semua itu, sulit sekali membahagiakan orang lain tanpa diri sendiri bahagia. Ah hidup! Ironi, ironi sekali.

Lalu, saat melihat tangan penghulu yang telah di walikan ayahnya untuk menikahinya dan tangan calon suaminya Fajar saling berjabat dengan teguh, perasaaannya semakin memberontak hebat. Saat penghulu itu angkat suara, suaranya berdengung, bergema-gema di dinding gendang telinga Arfa.

Baik... Bismillah hirrahman nirrahim. saya nikahkan engkau. saudara Teuku Fajar Sa’aduddin bin Teuku Syamaun Sa’aduddin dengan Arfaana Sofyan, puteri bungsu dari bapak Sofyan Hasan dengan mahar lima belas mayam emas. Tunai!

Demikian teguh dan berwibawa suara penghulu itu, gengamannya begitu kuat sampai menambah kepercayaan diri Fajar untuk segera menuntaskan prosesi akad ini. Dan Arfa semakin linglung, tak sanggup dengan kenyataan di depannya. Lalu ia mendengar gema suara Fajar yang teguh dalam indera pendengarannya, yang men-distorsi alam bawah sadar perempuan itu.

Dan selanjutnya, detik-detik kebenaranpun akhirnya tiba!

Saya terima nikahnya Arfaana Sofyan binti Sofyan Hasan. Dengan mahar emas lima belas mayam....

Belum sempat Fajar menghabiskan kalimat-kalimat sakti tersebut, secara tiba-tiba, dengan sangat spontan, di luar perkiraan siapapun, Arfa bangkit dari duduknya. Sehelai kain indah sejak tadi menaungi dirinya bersama Fajar terlempar ke lantai, yang membuat Fajar menghentikan kalimat-kalimat akadnya. Semua orang dalam ruang itu mendadak kaget dan bingung melihat Arfa yang tiba-tiba berdiri di tengah prosesi itu.

“Ada apa Nyak Arfa?” Tanya pak penghulu yang tak sadar bahwa mulutnya masih dekat dengan mikrophone sehingga suaranya bertalu-talu di seluruh ruangan. Arfa tak mengubris pertanyaan bapak itu. Ia sibuk memandangi seluruh orang dalam ruang itu, menyusuri dan memandangi dengan seksama wajah mereka satu persatu, yang membuat seluruh hadirin memandangnya dengan tatapan aneh.

“Kenapa Nak? Arfa cari siapa?” Ucap ayahnya dengan nada suara yang khawatir melihat keganjilan laku Arfa.

“Cari seseorang, Abi...” lirihnya lembut pada ayahnya sambil terus menyisiri kerumunan orang di ruang tengah itu, yang membuat Ayahnya tambah bingung.

Setelah sekian lama menyisiri kerumanan dan tak melihat sosok laki-laki yang menyebabkan ia nekat melakukan hal gila semacam, dengan gaun dan dandanan yang masih lengkap dan cantik, Arfa beranjak ke pintu, ingin mencari lelaki itu di luar.

Melihat sang pengantin wanita beranjak keluar dari ruangan tepat saat acara khidmat prosesi akad itu sedang berlangsung, menimbulkan situasi yang tak lagi kondusif. Semua orang yang dekat dengan Arfa, orang tuanya, abang dan kakaknya serta para sahabatnya tiba-tiba panik. Sarah dan Peni hanya bisa ternganga atas apa yang baru saja terjadi, sedang Ina segera mengambil inisiatif untuk mengejar Arfa ke luar.

“Lu cari siapa sih, Fa?” Tanya Ina dengan sedikit berteriak saat mendapati Arfa yang berjalan kesana kemari di luar yang kebingungan mencari lelaki itu. Ia juga melihat orang-orang memandang Arfa dengan tatapan aneh.

“Zumi...” ucap Arfa dengan singkat. Ina langsung kaget mendengar pernyataan sahabatnya itu. Ia segera paham apa yang sebenarnya telah terjadi.

“LU UDAH GILA APA, FA?!!” hardiknya pada Arfa dengan keras. Ina lalu merepet panjang, memberikan pandangan logis padanya, terhadap kegilaan yang dilakukan perempuan itu. kalimat-kalimatnya persis sama dengan semua yang sudah di prediksi oleh Arfa. Tapi, sedikutpun Arfa tak memperdulikan ceramah Ina. Ia sibuk mencari Zumi. Yang membuat Ina spanning.

“Lu denger gak omongan gua, Fa? Jangan buat gila deh!” Ucap Ina dengan keras sambil menarik paksa pundak Arfa, untuk mendapat mendapat perhatiannya. Kedua sahabat karib itu lalu beradu pandang. Ina melihat genangan air di mata Arfa yang memerah, yang membuatnya terhenyak.

“Ia Na! Gua tahu semua ini udah terlalu gila untuk di cerna. Tapi Na! Gua gak bisa bahagiain orang lain, kalau gua sendiri gak bahagia...” Genangan air mata itu jatuh di pipinya, membuat Ina terpaku memandanginya. Tangannya lemas, perlahan-lahan melepas cengkramannya pada Arfa.

“Jadi tolong Na! Sekali ini, bantu gua...” lirih Arfa kembali, lalu kembali menyusuri kerumunan, mencari Zumi. Meninggalkan Ina yang terpaku lama.

Lihat selengkapnya