Kaki bersepatu converse warna hitam putih itu menapak di sebuah stasiun setelah kereta yang ditumpanginya berhenti. Kepalanya ia tolehkan ke kanan dan kiri, untuk menentukan jalur terdekat menuju ke pintu keluar. Alunan lagu “Empat Penari” yang merupakan ciri khas stasiun kota ini menyambut penumpang-penumpang kereta yang baru sampai, salah satunya gadis yang baru menginjak usia delapan belas tahun itu, Prajna Padmaharani.
Kedatangannya ke sini adalah untuk yang ketiga kalinya setelah dua kali sebelumnya ia datang untuk keperluan tes kesehatan dan verifikasi berkas demi memenuhi serangkaian pendaftaran ulang di perguruan tinggi yang akan menjadi tempatnya menimba ilmu. Tidak seperti anak pada umumnya yang pada hari keberangkatan ke kota rantau ditemani oleh keluarganya, Prajna justru berangkat sendiri. Alasannya tidak banyak, orang tuanya hanya sedang kerepotan karena Kartika, kakak perempuan Prajna satu-satunya itu baru saja melahirkan. Dengan koper tak seberapa besar berwarna biru muda, ia tampak tidak canggung berjalan melewati kerumunan orang. Masalah barang-barang lain yang kiranya akan ia butuhkan selama hidup di kota orang akan dikirimkan dari rumah ke alamat indekosnya.
Perempuan dengan masker biru itu melangkah ke luar sembari mengutak-atik ponselnya untuk memesan taksi online. Panas terik membuat Prajna harus berteduh di salah satu emperan toko oleh-oleh yang berada di seberang, karena jujur saja ia takut dimarahi sopir-sopir taksi konvensional yang menempatkan diri mereka di halaman parkir stasiun. Ia tidak akan bisa naik bus rapid trans berwarna merah yang mondar-mandir melewati halte dengan membawa koper berat seperti itu karena sudah dipastikan isi bus kecil itu pasti penuh dan Prajna tidak mungkin memilih duduk ketika banyak orang tua yang lebih diutamakan. Jadi, demi kenyamanan saja karena jarak dari stasiun ke tempat yang akan ia tuju sekitar setengah jam perjalanan, Prajna memilih memesan taksi online saja.
Sebuah telepon masuk agak mengejutkan gadis dengan rambut ekor kuda itu. Dari nomor tidak dikenal yang sudah Prajna duga nomor driver taksi online yang ia pesan. Segera, Prajna melepas maskeernya dan menjawab panggilan itu.
“Halo?”
“Mbak Prajna ya? Posisi di mana, Mbak? Saya di deket beauty treatment yang ijo,” ujar driver tersebut.
Prajna menengok ke kanan-kirinya. Melihat plang tempat kecantikan berwarna hijau di mana di halamannya terdapat beberapa mobil dengan ragam model. Prajna menilik ponselnya, mengecek plat nomor mobil yang tertera di sana apakah ada yang sama dengan salah satu mobil di situ. Ada satu, sebuah mobil BMW berwarna silver. Prajna yakin itu taksi pesanannya!
“Saya ke sana ya, Pak. Tunggu sebentar.”
“Oke, Mbak.” Segera, Prajna menyeret kopernya menuju mobil yang ia maksud.
Driver itu membuka jendelanya bersamaan ketika Prajna sampai, lantas menyapa, “Siang Mbak, Mbak Prajna, ya?”
“Iya, Pak.”
“Kopernya mau ditaruh di bagasi atau nggak usah, Mbak?”
“Nggak perlu, Pak. Saya langsung masuk aja ya, Pak.”
“Oke, Mbak. Jalan sekarang, ya?”
Prajna mengangguk. Mobil itu melaju, membawanya ke tempat di mana ia akan menghabiskan waktu satu semester ke depan.
***
“Huah, akhirnya sampai. Ya ampun, untung kamarnya udah rapi. Aku nggak perlu beresin macam-macam, tinggal pasang sprei, makan, tidur. Jangan lupa nanti malem ada first gathering. Semangat, Prajna!”
Hal yang pertama gadis itu lakukan adalah membuka jendela. Setelah itu, ia membuka kopernya, mengambil kantung sprei bercorak garis hitam-putih, menyibak, lantas memasangnya. Ia juga memasang sarung bantal beserta guling, mengeluarkan selimut, lalu ia letakkan di atas bantal. Prajna kemudian keluar kamar dan menanyakan sapu kepada ibu penjaga indekosnya, karena untuk sementara ia belum memiliki sapu. Dengan sapu yang ia pinjam, Prajna sedikit membersihkan lantai kamarnya agar ia bisa makan dengan tenang.
Selesai beres-beres, ia mengeluarkan sebuah kotak berisi brownies yang ia buat sebelum berangkat. Lambungnya sudah meronta-ronta meminta diisi sejak tadi. Di kereta, gadis itu hanya bisa memakan snack ringan yang hanya membuat mulutnya capek mengunyah tetapi tidak mengenyangkan perut.
Sembari makan, Prajna memainkan ponselnya untuk mengurangi kebosanan. Ini kali pertamanya hidup sendirian dan hidup seperti ini membuatnya merasa tidak punya teman. Prajna memutuskan untuk menghubungi kedua orang tuanya, seperti pesan mereka sebelum ia berangkat: hubungi kami kalau sudah sampai. Sebagai anak yang berbakti, yang kini Prajna lakukan adalah menekan ikon call di nomor ibunya.
“Halo, Bu, assalamualaikum!” sapa Prajna setelah teleponnya terhubung.
“Waalaikumsalam, udah sampai, Nduk?”
“Udah, Bu. Ini lagi makan.”
“Baik-baik aja, kan? Nggak mabok? Nggak pusing? Kotak P3K-nya nanti Ibu kirim sama barang-barang yang lainnya, ya, Nduk.”
“Aku nggak papa, kok, Bu. Alhamdulillah sampai dengan selamat.”
“Maaf ya, Nduk, kamu jadi sendirian gini berangkatnya. Nanti Ibu sempatin ke sana ya sama Bapak.”
“Iya, Bu.”