Seperti first gathering pada umumnya, malam itu memang Prajna merasa pertemuan angkatannya sangat santai. Dalam first gathering kali itu, tidak ada perkenalan masing-masing anak yang akan menghabiskan banyak waktu. Memang tidak semua anak ikut, tetapi jumlah mereka sudah hampir memenuhi ruangan. Dipandu Tara dan Anggara yang memang merencanakan pertemuan ini sejak awal, mereka justru lebih menonjolkan kekompakan kelompok dalam bentuk permainan “Sedang Apa Sekarang”. Ada lima kelompok dan yang kalah baru wajib memperkenalkan diri mereka, sehingga memang tidak semua anak berkenalan. Prajna beruntung kelompoknya tidak menjadi yang terburuk, meskipun sebenarnya andaikata ia disuruh perkenalan pun tidak keberatan. Toh, nantinya, teman-temannya juga akan mengenalnya.
Baru saja mereka selesai bermain dan hendak melahap makanan mereka, gerombolan pasukan dengan mengenakan jaket berwarna merah mendatangi disertai riuh tepukan dan nyanyian yang asing. Namun, lirik dari nyanyian itu seakan membenarkan kalau gerombolan itu datang di tempat yang tepat. Prajna dan teman-temannya tentu saja terkejut bukan main. Terlebih ketika nyanyian itu berhenti dan salah seorang lelaki dari gerombolan itu melangkah maju, memperkenalkan diri, dan membuat pengumuman aneh yang sangat tidak terduga.
“Selamat malam, maaf mengganggu waktunya. Mungkin kalian kaget, ya, atas kedatangan kami ini,” kata lelaki itu dengan tegas. Setelah melihat wajah panik dan raut ketakutan calon mahasiswa di depannya, lelaki itu melanjutkan lagi, “perkenalkan, nama saya Rio. Kami dari Teknik Sipil 2017. Dengan ini, kami datang untuk menyampaikan beberapa informasi penting, kepada kalian, mahasiswa baru Teknik Sipil angkatan 2018.”
Prajna menelan ludah. Kakak tingkat? Bagaimana bisa mereka tahu ada first gathering malam ini, di tempat ini, padahal mereka hanya berinisiatif sendiri? Memang saat sebelumnya Tara membicarakan terkait boleh tidaknya acara ini. Setelah diperbolehkan, sudah tidak ada apa-apa lagi yang dibahas. Bahkan tidak ada yang memberi tahu mereka.
“Informasi apa ya, Kak?” salah seorang teman baru Prajna, lelaki berperawakan tinggi yang mengenakan jaket cokelat, berdiri dan menyampaikan isi hati teman-temannya.
Kakak tingkat yang memperkenalkan diri bernama Rio itu mengeluarkan selembar kertas dengan berbagai catatan. Tepukan tangan dan nyanyian itu terdengar lagi, mengiringi Rio yang membacakan serangkaian aturan, tata tertib, dan penugasan-penugasan terkait pendidikan karakter setelah ospek universitas. Prajna berinisiatif merekamnya, takut terlupa dan membuat kesalahan. Ia menyerahkan ponselnya kepada salah seorang temannya yang duduk di dekat Rio agar suaranya lebih terdengar jelas.
“Jangan lupa nanti dishare di grup!” bisik Irma dengan suara yang hampir tidak terdengar. Prajna hanya mengangguk.
Selesai membacakan aturan, tata tertib, dan daftar penugasan yang dikerjakan, Rio mengangkat salah satu tangannya, yang merupakan sebuah isyarat untuk berhenti. Lelaki itu menutup kertas yang sebelumnya ia buka, lantas berseru, “Ada yang bersedia pegang kertas ini?”
Vincent mengangkat tangan, menjawab, “Saya, Kak!”
Mendapat anggukan Rio, lelaki itu berdiri dan menghampiri kakak tingkatnya, mengambil alih kertas sakral itu.
“Sekian informasi dari kami. Sekali lagi, maaf mengganggu waktunya. Silakan bersenang-senang lagi!” ujar Rio sebelum ia akhirnya mengajak teman-temannya pergi dari sana.
Satu hal yang dia tahu, setelah kepergiannya, adik tingkatnya tidak mungkin akan bersenang-senang lagi. Kekacauan yang baru saja ia dan teman-temannya perbuat, meski sejatinya bukanlah kekacauan, pasti akan membuat maba-maba itu memikirkan banyak hal terkait apa yang ia informasikan tadi.
Welcome to the hell! desisnya dalam hati.
***
“Eh pulangnya, yang cewek-cewek jangan sendirian. Yang bawa kendaraam kalau bisa nebengin temennya, ya!” Tara memperingatkan teman-temannya sebelum pulang. “Kita nggak tahu kating masih di sekitar sini apa enggak. Kayak salah satu aturan yang tadi diumumin, kalau bisa diterapin dari sekarang.”
Menyetujui saran Tara, kaum-kaum yang membawa kendaraan tersebut menanyakan siapa saja yang butuh tebengan, terutama kepada perempuan. Sudah cukup larut juga jika membiarkan teman mereka sendirian. Tidak semuanya mendapat teman pulang bersama karena mereka kebanyakan baru pindahan dan belum berani mengemudi di kota lain. Tapi setidaknya, seluruh anak perempuan dapat terbawa semua.
Prajna pulang bersama seorang laki-laki yang bahkan tidak ia tahu namanya. Lelaki itu hanya bertanya, “Kamu udah dapet tebengan apa belum?” dan dijawab gelengan kepala olehnya. Lelaki itu lantas menawarinya pulang bersama yang otomatis langsung disetujui Prajna.
“Eh, kamu asal mana?” tanya Prajna iseng di perjalanan. Sejujurnya ia canggung bertanya-tanya begini, tetapi akan lebih canggung lagi jika sampai ke tujuan mereka hanya saling diam.
“Aku? Dari Jogja. Kamu sendiri dari mana?”
“Jogja? Ibuku juga asal Jogja. Tapi rumah di Surabaya.”
“Sering ke Jogja dong?”
Prajna terkekeh. “Pernah, waktu kecil doang. Habis Eyang meninggal, seringnya malah keluarga besarku yang datang karena ibuku anak pertama.”
“Hoalah. Eh tapi kamu asal Surabaya, nggak ambil ITS?” tanya lelaki itu, sekali lagi, belum Prajna ketahui namanya.
“Emang pengen coba ngerantau, sih. Soalnya aku tipe orang gampang bosen aslinya. Kamu sendiri nggak ke UGM?” tanya Prajna balik.