“Sst, Dais!”
Bisikan yang datang entah dari mana itu disusul dengan mendaratnya secarik kertas yang sudah diremas menjadi bola di atas meja seseorang. Daisy, si gadis yang mejanya menjadi tempat pendaratan bola kertas itu, langsung menghentikan kegiatan mencatatnya dan mendongak sedikit. Pelaku pelemparan kertas itu adalah Amy, rupanya.
Begitu tatapan Daisy dan Amy bertemu, Amy langsung menunjuk bola kertas tersebut dengan pulpen di tangannya. Daisy langsung mengangguk, paham. Toh ini bukan pertama kalinya mereka surat-suratan di kelas. Daisy mengacungkan jempol, lalu perlahan mengulurkan satu tangan untuk mengambil kertas itu. Sekilas, ia melihat Amy membalikkan badannya, kembali menghadap papan tulis.
Gerak-gerik Daisy sangat pelan, sudah seperti maling yang akan mencuri barang antik yang dijaga super ketat oleh banyak orang. Mungkin berlebihan, tapi itu karena Pak Andreas—guru fisika mereka—sangat galak. Kalau sampai ketahuan mereka saling mengirim surat di kelas, pasti habis mereka.
Daisy buru-buru membaca tulisan tangan Amy di kertas itu—sering surat-suratan membuatnya terbiasa membaca cepat—dan Daisy tidak menyangka isi suratnya dapat mengusir rasa kantuk yang sedang Daisy rasakan.
Dais, gue benci Yudhis.
Begitulah isinya. Singkat, padat, jelas. Membingungkan? Sangat. Bukannya Yudhistira sahabat mereka berdua juga? Dia tidak mengerti. Setahu Daisy, hubungan mereka bertiga baik-baik saja… Tidak ada perlakuan Yudhistira yang ia tahu dapat menyakiti hati Amy atau dirinya sendiri? Tapi, kalau memang tidak apa-apa, kenapa Amy tiba-tiba membenci Yudhistira? Daisy yakin Amy bukan orang yang membenci tanpa alasan. Dia termenung sesaat, banyak sekali pertanyaan berseliweran di kepalanya.
Daisy mendongakkan kepala, mengecek keadaan sebelum menulis balasannya. Pak Andreas sepertinya sedang menjawab pertanyaan murid yang kebingungan di mejanya. Aman, Daisy buru-buru menulis di bawah tulisan Amy.
Hah? Lo habis kepentok di mana?
Daisy melipat dan menyelipkan kertas tersebut di buku catatan kecilnya, lalu diam-diam memberikannya pada Amy. Tidak lama kemudian dia sudah mendapat jawaban.
Gue serius. Habis ini gue cerita. Yang pasti gue udah gak bisa temenan lagi sama orang egois dan brengsek kayak dia.
Daisy tidak membalas suratnya lagi. Dia hanya mengangguk pada diri sendiri, menghela napas, kemudian melirik jam dinding yang berada di atas papan tulis. Dia masih harus menunggu 15 menit sebelum waktu istirahat. Gadis itu mengetuk-ketukkan kakinya pelan, berharap waktu berlalu sedikit lebih cepat.
***
“Amy, lo sama Yudhis ada masalah apa?” Tanya Daisy, badannya condong ke depan karena penasaran.
Sekarang sudah waktu istirahat. Amy dan Daisy sudah duduk berhadapan di salah satu meja yang ada di kantin. Tadinya Yudhistira akan bergabung dengan mereka, tapi karena tiba-tiba ada pertemuan dengan klub jurnalistik, dia tidak jadi ke kantin. Diam-diam Daisy lega karena kalau Yudhistira tetap bergabung, dia pasti akan menyadari perubahan dari sikap Amy kepadanya.
“Lo udah lihat post website jurnalistik sekolah yang baru tadi malam?”