Saat itu adalah suatu malam yang gelap dan diamuk badai. Di dalam kamar tidurnya di loteng, Margaret Murry, yang terbalut sehelai selimut perca usang, duduk di kaki tempat tidurnya dan memperhatikan pepohonan yang bergoyang-goyang di tengah terpaan angin yang dahsyat. Di belakang pe pohonan itu, gumpalan awan bergerak cepat di langit. Se tiap beberapa saat, bulan mengintip di antara gumpalan awan itu, menciptakan bayangan-bayangan hantu pucat yang berlarian di tanah.
Rumah itu bergetar.
Terbungkus di dalam selimutnya, Meg gemetaran. Tidak biasanya dia takut terhadap cuaca. Ini bukan sekadar cuaca buruk, pikirnya. Cuaca buruk ini lebih dahsyat daripada segalanya. Lebih dahsyat daripada diriku. Lebih dahsyat dari pada Meg Murry yang selalu melakukan segala sesuatu dengan salah.
Sekolah. Segalanya yang ada di sekolah itu salah. Dia adalah murid terbodoh di kelasnya. Pagi itu, salah seorang gurunya berkata dengan marah, “Sungguh, Meg, aku tidak mengerti bagaimana anak dengan orangtua segenius orangtuamu bisa menjadi murid yang bodoh. Kalau kau tidak berhasil sedikit memperbaiki nilaimu, kau harus tinggal kelas tahun depan.”
Selama jam makan siang, dia bersenang-senang sedikit, berusaha untuk menghibur dirinya agar merasa sedikit lebih baik, dan salah seorang anak perempuan berkata dengan sinis, “Lagi pula, Meg, kita bukan murid-murid Taman Kanak-Kanak lagi. Kenapa kau selalu bertingkah seperti bayi?”
Dan, dalam perjalanan pulang dari sekolah, dengan buku-buku yang memenuhi pelukan lengannya, salah seorang anak laki-laki mengatakan sesuatu tentang ‘adik laki-laki kecil nya yang tolol’. Mendengar ini, dia melemparkan buku-buku itu ke sisi jalan dan menerjang anak itu dengan setiap kekuatan yang dia miliki, dan tiba di rumah dengan blus yang sobek dan memar besar di bawah salah satu matanya.
Sandy dan Dennys, adik laki-laki kembarnya yang berusia sepuluh tahun, yang pulang dari sekolah satu jam lebih awal dari dirinya, merasa sebal. “Biarkan kami yang berkelahi kalau memang diperlukan,” mereka berkata.
Berandal, itulah aku, Meg berpikir dengan muram, itulah yang akan mereka katakan setelah ini. Bukan Ibu. Tapi Mereka. Semua Orang Lain. Kuharap Ayah—
Namun, rasanya masih tidak mungkin untuk memikirkan ayahnya tanpa kemungkinan bercucuran air mata. Hanya ibunya yang bisa berbicara tentang ayahnya dengan biasa-biasa saja, dengan berkata, “Jika ayah kalian kembali—”
Kembali dari mana? Dan kapan? Pasti ibunya mengetahui pembicaraan orang-orang, pasti mengetahui gosip keji yang mengesalkan. Pasti dia terluka mendengarnya, seperti Meg. Namun, jika memang begitu, dia tidak menampakkannya. Tidak ada yang mengusik ketenangan ekspresinya.
Kenapa aku tidak bisa menyembunyikannya juga? Meg berpikir. Kenapa aku harus menunjukkan segalanya?
Jendela bergetar liar di tengah terpaan angin, dan Meg menarik selimut perca itu semakin rapat ke tubuhnya. Di atas salah satu bantalnya, seekor anak kucing berbulu kelabu tebal sedang meringkuk dan menguap, menunjukkan lidah nya yang berwarna merah muda, menyelipkan kepala lagi ke dalam selimut, dan kembali tertidur.
Semua orang sedang tidur. Semua orang, kecuali Meg. Bahkan Charles Wallace, si ‘adik laki-laki kecil yang tolol’, yang memiliki suatu cara misterius untuk bisa mengetahui kapan Meg terjaga dan sedih. Biasanya, pada malam-malam saat Meg merasa begitu, Charles Wallace akan berjingkat-jingkat menaiki tangga loteng ke kamarnya—tapi bahkan dia pun tertidur malam ini.
Bagaimana mereka bisa tidur? Sepanjang hari, di radio terdengar peringatan-peringatan tentang badai. Bagaimana mereka bisa meninggalkannya sendirian di atas loteng, di ranjang kuningan yang sudah berderit-derit, mengetahui bahwa atap mungkin saja tertiup hingga terlepas dari rumah, dan dia terlempar ke langit malam yang liar lalu mendarat di suatu tempat antah-berantah?
Gigil gemetarnya semakin tidak dapat dikendalikan.
Kau yang meminta kamar di loteng, dia berkata kepada dirinya sendiri dengan galak. Ibu mengizinkanmu mendapatkan nya karena kau anak sulung. Itu adalah keuntungan bagi anak sulung, bukan hukuman.
“Tapi selama badai, itu bukanlah keuntungan,” dia berkata keras-keras, melemparkan selimut perca itu ke kaki tempat tidur, lalu berdiri. Si anak kucing menggeliat dengan nikmat, dan menatapnya dengan mata yang besar dan tak berdosa.
“Kembalilah tidur,” Meg berkata. “Bersyukurlah karena kau adalah seekor kucing dan bukan sesosok monster seperti diriku.” Dia menatap dirinya sendiri di cermin yang menempel ke lemari pakaian dan membuat wajah yang menyeramkan, menyeringai sehingga menampakkan sebaris gigi yang ditahan oleh kawat gigi. Tanpa sadar, dia membetulkan letak kacamatanya, menyapukan jari-jarinya ke rambutnya yang berwarna cokelat seperti bulu tikus, sehingga ujung-ujungnya mencuat dengan liar, lalu mengeluarkan suara desahan sekeras angin.
Lantai kayu yang lebar terasa dingin di bawah kakinya. Angin bertiup di celah-celah di atas bingkai jendela, meskipun seharusnya lapisan atas jendela itu melindungi dari badai. Dia bisa mendengar angin melolong di cerobong-cerobong asap. Dari bawah tangga, dia bisa mendengar Fortinbras, si an jing hitam besar, mulai menggonggong. Dia pasti ketakutan juga. Apa yang dia gonggongi? Fortinbras tidak pernah meng gong gong tanpa sebab.
Tiba-tiba saja, dia ingat bahwa ketika dia pergi ke kantor pos untuk mengambil surat, dia mendengar tentang seorang gelandangan yang diduga mencuri dua belas seprai milik Mrs. Buncombe, istri polisi desa. Mereka belum berhasil menangkapnya, dan mungkin gelandangan itu saat ini sedang mencoba masuk ke rumah keluarga Murry, yang terpencil di sebuah jalan kecil; dan kali ini, mungkin si gelandangan berniat mencuri sesuatu yang lebih daripada sekadar selimut. Meg tidak terlalu memperhatikan pembicaraan tentang si gelandangan saat itu, karena perempuan penjaga kantor pos, dengan senyum semanis gula, bertanya apakah Meg akhir-akhir ini mendengar kabar dari ayahnya.
Dia meninggalkan kamar tidurnya yang sempit dan berjalan menuju ruang utama loteng yang temaram, lalu menabrak meja pingpong—sekarang aku akan memiliki memar di pinggulku, menambah parah keadaan, dia berpikir.
Kemudian, dia menabrak rumah bonekanya yang sudah tua, kuda-kudaan Charles Wallace, dan kereta api listrik si kembar. “Kenapa semua ini harus terjadi kepadaku?” Dia bertanya kepada boneka teddy bear besar.
Di kaki tangga loteng, dia berdiri tanpa bergerak dan mendengarkan. Tidak ada suara dari kamar Charles Wallace di sebelah kanan. Di sebelah kiri, di dalam kamar tidur orang tuanya, tidak ada suara sedikit pun dari ibunya yang ter tidur sendirian di ranjang besar untuk dua orang. Dia berjingkat-jingkat menyusuri lorong dan menuju kamar si kembar, menaikkan lagi kacamatanya agar bisa melihat lebih baik di dalam kegelapan. Dennys mendengkur. Sandy menggu mamkan sesuatu tentang bisbol dan terdiam. Si kembar tidak memiliki masalah apa pun. Mereka bukan siswa yang cemerlang, tapi mereka pun bukan siswa yang bodoh. Mereka sudah puas dengan serangkaian nilai B, dan kadang-kadang A atau C. Mereka kuat, pelari cepat, dan terampil dalam permainan-permainan, dan saat para anggota keluarga Murry dicemooh, Sandy dan Dennys tidak pernah mengalaminya.
Meg meninggalkan kamar tidur si kembar dan turun ke lantai bawah, menghindari anak tangga ketujuh yang selalu berderit. Fortinbras telah berhenti menggonggong. Bukan karena si gelandangan kali ini, kalau begitu. Fort akan terus menggonggong jika ada orang di dekat-dekat situ.
Namun, bagaimana jika gelandangan itu memang datang? Bagaimana jika dia memiliki sebilah pisau? Tidak ada orang lain yang tinggal cukup dekat untuk mendengar jika kami menjerit, menjerit, dan terus menjerit. Tidak akan ada yang peduli, sungguh.
Aku akan membuat minuman cokelat untuk diriku, Meg memutuskan. Minuman cokelat akan menghiburku, dan jika atap tertiup hingga lepas, setidaknya aku tidak akan ikut bersama atap itu.
Di dapur, lampu sudah menyala, dan Charles Wallace duduk di depan meja sambil minum susu serta makan roti dan selai. Dia tampak sangat kecil dan rapuh saat duduk sendirian di dapur bergaya kuno yang luas, anak laki-laki kecil berambut pirang dalam piama terusan biru yang sudah memudar, kakinya berayun-ayun lima belas sentimeter di atas lantai.
“Hai,” Charles Wallace menyapa dengan ceria. “Aku sudah menunggumu.” Dari bawah meja, tempat dia berbaring di kaki Charles Wallace, mengharapkan sedikit remah roti, Fortinbras mengangkat kepala berbulu gelapnya yang ramping untuk menyapa Meg, dan ekornya berayun memukul-mukul lantai. Fortinbras dulu muncul di tangga depan rumah mereka, sebagai seekor anjing kecil yang mulai tumbuh, kurus dan tidak terurus, pada suatu malam musim dingin. Ia, ayah Meg telah memutuskan, adalah campuran anjing setter Llewellyn dan anjing greyhound, dan ia memiliki kecantikan tersendiri dengan tubuhnya yang ramping dan bulunya yang gelap.
“Kenapa kau tidak naik ke loteng?” Meg bertanya kepada adiknya, berbicara seakan-akan Charles Wallace se baya dengannya. “Aku ketakutan setengah mati.”
“Angin terlalu kencang di lotengmu itu,” anak laki-laki itu menjawab. “Aku tahu kau akan turun. Aku memanaskan sedikit susu di tungku untukmu. Pasti sudah hangat sekarang.”
Bagaimana Charles Wallace selalu mengetahui apa pun tentang diri Meg? Bagaimana dia selalu bisa mengungkapkan pikiran Meg? Dia tidak pernah mengetahui—atau tampak memedulikan—apa yang Dennys dan Sandy pikirkan. Namun, pikiran ibunya dan Meg bisa dia ketahui dengan akurasi yang menyeramkan.
Apakah itu karena orang-orang sedikit takut terhadap di rinya, anak bungsu keluarga Murry yang dibicarakan diam-diam oleh orang banyak, tidak terlalu cerdas menurut rumor? “Aku pernah mendengar bahwa orang-orang pintar biasa memiliki anak-anak yang di bawah normal.” Meg pernah mendengar secara tidak sengaja. “Dua anak laki-laki itu sepertinya anak-anak baik dan normal, tapi gadis yang tak menarik dan bocah laki-laki itu jelas sama sekali tidak pandai.”
Memang benar Charles Wallace jarang berbicara jika ada orang lain di dekatnya, jadi banyak orang berpikir dia tidak akan pernah bisa belajar bicara. Dan memang benar, Charles Wallace belum berbicara sama sekali hingga umurnya hampir empat tahun. Meg memucat dan murka jika orang-orang menatap Charles Wallace sambil mendecak dan menggelengkan kepala dengan sedih.
“Tak usah mengkhawatirkan Charles Wallace, Meg,” ayahnya pernah berkata kepadanya. Meg ingat sangat jelas karena kata-kata itu diucapkan beberapa saat sebelum ayahnya pergi. “Tidak ada masalah dengan pikirannya. Dia hanya melakukan hal-hal dengan cara dan waktunya sendiri.”
“Aku tak ingin dia tumbuh menjadi orang bodoh seperti aku,” Meg dulu berkata.
“Oh, Sayangku, kau tidak bodoh,” ayahnya menjawab. “Kau mirip Charles Wallace. Perkembanganmu memiliki kece patan tersendiri. Perkembanganmu hanya tidak terjadi dalam kecepatan yang biasa.”
“Bagaimana Ayah bisa tahu?” Meg mendesak. “Bagaimana Ayah tahu aku tidak bodoh? Bukankah itu karena Ayah menyayangiku?”
“Aku menyayangimu, tapi bukan itu yang membuatku mengetahuinya. Ibumu dan aku telah memberimu sejumlah tes, kau tahu.”
Ya, itu memang benar. Meg telah menyadari bahwa beberapa ‘permainan’ yang dilakukan oleh orangtuanya bersamanya adalah semacam tes, dan pasti ada sesuatu yang lebih dari dirinya dan Charles Wallace daripada si kembar. “Tes IQ, maksud Ayah?”
“Ya, di antaranya.”
“Apakah IQ-ku lumayan?”
“Lebih daripada sekadar lumayan.”
“Berapa?”
“Aku tidak akan memberitahumu. Tapi, angkanya membuatku yakin bahwa kau dan Charles akan mampu melakukan ham pir semua hal yang kalian sukai saat kalian dewasa. Kau hanya perlu menunggu Charles Wallace mulai berbicara. Kau akan tahu.”
Betapa benarnya sang ayah tentang itu, meskipun dia sendiri telah pergi sebelum Charles Wallace mulai berbicara, tiba-tiba, tanpa sedikit pun cadel yang biasa terdengar dalam omongan bayi, dan menggunakan kalimat lengkap. Betapa bangganya ayah mereka jika mengetahuinya!
“Sebaiknya kau memeriksa susunya,” Charles Wallace berkata kepada Meg sekarang, diksinya lebih jelas dan lebih baik daripada kebanyakan anak berusia lima tahun. “Kau tahu, kau tidak suka kalau susunya menggumpal di bagian atas.”
“Kau memasukkan lebih dari dua kali lipat jumlah susu yang kubutuhkan.” Meg mengintip ke dalam panci.
Charles Wallace mengangguk dengan tenang. “Kupikir Ibu juga ingin sedikit.”
“Aku ingin apa?” sebuah suara bertanya, dan tampaklah ibu mereka, berdiri di ambang pintu.
“Minuman cokelat,” Charles Wallace menjawab. “Apakah Ibu mau roti lapis liverwurst dan krim keju? Aku mau membuatkan satu untuk Ibu.”