A Wrinkle in Time

Noura Publishing
Chapter #2

DUA Mrs. Who

Ketika Meg terbangun mendengar alarm bekernya yang berdentang-dentang, angin masih bertiup kencang, tapi matahari bersinar; badai yang terburuk sudah berlalu. Dia duduk di atas tempat tidurnya, menggeleng untuk menjer­nih­kan pikirannya.

Pasti itu adalah mimpi. Dia ketakutan karena badai dan ketakutan karena si gelandangan, jadi dia pasti bermimpi telah turun ke dapur dan berjumpa Mrs. Whatsit, lalu me­nyak­­­sikan ibunya sangat ketakutan dan bingung karena men­­­­de­ngar sepatah kata—apa kata itu? Tess—tess sesuatu.

Dia terburu-buru berpakaian, meraih si kucing kecil yang masih meringkuk di atas tempat tidur, kemudian men­jatuhkannya dengan asal-asalan ke lantai. Kucing kecil itu menguap, menggeliat, mengeong dengan menyedihkan, ber­ja­lan keluar dari loteng, dan menuruni tangga. Meg mem­be­reskan tempat tidurnya dan terburu-buru mengejar si kucing. Di dapur, ibunya sedang membuat French toast dan si kembar sudah berada di depan meja. Si kucing kecil menjilati susu dari sebuah pisin.

“Di mana Charles?” Meg bertanya.

“Masih tidur. Kita mengalami gangguan tadi malam, kalau kau ingat.”

“Kuharap itu hanya mimpi,” Meg berkata.

Ibunya membalik empat iris French toast dengan hati-hati, kemudian berkata dengan suara mantap, “Bukan, Meg. Jangan harap itu hanya mimpi. Aku tidak lebih paham da­ripada dirimu, tapi satu hal yang telah kupelajari adalah, kau tidak perlu memahami sesuatu untuk menerima bahwa se­suatu itu memang ada. Aku minta maaf telah menunjukkan ke­padamu kalau aku sedih. Ayahmu dan aku biasa bercanda ten­tang tesseract.”

“Apa itu tesseract?” Meg bertanya.

“Itu adalah sebuah konsep,” Mrs. Murry memberikan sirop kepada si kembar. “Aku akan berusaha menjelaskannya kepadamu nanti. Tidak ada waktu sebelum sekolah.”

“Aku tidak mengerti kenapa kalian tidak memba­ngun­kan kami,” Dennys memprotes. “Sayang sekali kami keting­gal­an seluruh kesenangan itu.”

“Kalian akan lebih mampu terjaga di sekolah hari ini di­ban­dingkan aku.” Meg mengambil French toast-nya yang ada di meja.

“Siapa yang peduli,” Sandy berkata. “Kalau Ibu mem­biarkan gelandangan tua itu masuk ke rumah pada tengah malam, harus ada Den dan aku di sana untuk melin­dungi Ibu.”

“Lagi pula, Ayah akan mengharapkan kami melaku­kan­nya,” Dennys menambahkan.

“Kami tahu Ibu memiliki otak cemerlang dan semuanya,” Dennys berkata, “tapi Ibu tidak memiliki cukup akal sehat. Jelas Meg dan Charles pun tidak.”

“Aku tahu. Kami ini orang-orang tolol,” Meg berkata dengan pahit.

“Kuharap kau tidak sebodoh itu, Meg. Siropnya, to­long.” Sandy mengulurkan tangan di atas meja. “Segala se­sua­tu­nya jangan dimasukkan ke dalam hati. Cobalah un­tuk bersikap biasa-biasa saja. Kau selalu saja membuat kesa­lahan di sekolah dan memandang ke luar jendela, tidak mem­per­hatikan apa pun.”

“Kau hanya mempersulit keadaanmu sendiri,” Dennys menambahkan. “Dan Charles Wallace pasti akan mengalami kesulitan tahun depan saat mulai bersekolah. Kami tahu dia cerdas, tapi dia sangat aneh saat sedang berada di dekat orang lain, dan mereka biasanya berpikir dia bodoh, jadi aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepadanya. Sandy dan aku akan memukul siapa pun yang akan mengganggunya, tapi hanya itu yang bisa kami lakukan.”

“Tidak perlu mengkhawatirkan tahun depan hingga kita melewati tahun ini,” Mrs. Murry berkata. “Mau French toast lagi, Anak-Anak?”

Di sekolah, Meg begitu lelah dan kelopak matanya te­rasa be­rat, pikirannya mengembara. Dalam pelajaran Ilmu Sosial, dia diminta menyebutkan barang-barang utama yang diim­por dan diekspor oleh Nikaragua, dan meskipun dia sudah mem­bacanya dengan patuh tadi malam, sekarang dia tidak da­pat mengingat satu pun. Sang guru bersikap sarkastis, seisi ke­las ter­tawa, dan dia mengempaskan diri ke kursinya de­ngan murka. “Lagi pula, siapa yang peduli terhadap impor dan eks­­por Nikaragua?” dia menggumam.

“Kalau kau berniat bersikap kasar, Margaret, kau bisa me­ninggalkan kelas,” sang guru berkata.

“Oke, saya akan pergi.” Meg melompat dari kursinya.

Meg lalu disuruh menghadap Kepala Sekolah. “Apa ma­sa­lahmu sekarang, Meg?” dia bertanya dengan cukup lunak.

Meg menunduk menatap lantai sambil merengut. “Tidak ada apa-apa, Mr. Jenkins.”

“Miss Porter memberi tahu bahwa kau bersikap sangat kasar.”

Meg mengangkat bahu.

“Tidakkah kau menyadari bahwa kau hanya memper­sulit keadaanmu sendiri dengan sikapmu?” Kepala Sekolah ber­tanya. “Nah, Meg, aku yakin kau bisa menyelesaikan tu­gasmu dan terus mempertahankan nilaimu kalau kau bekerja keras, tapi para guru tidak yakin. Hanya kau sendiri yang bisa mem­perbaiki dirimu. Tidak ada yang bisa melakukannya un­tuk­mu.” Meg diam saja. “Bagaimana? Apa pendapatmu, Meg?”

“Saya tidak tahu harus melakukan apa,” Meg menjawab.

“Kau bisa menyelesaikan pekerjaan rumahmu, misalnya. Bukankah ibumu pasti mau membantu?”

“Kalau saya meminta.”

“Meg, apakah ada sesuatu yang mengganggumu? Apa­kah kau tidak bahagia di rumah?” Mr. Jenkins bertanya.

Akhirnya, Meg menatap sang Kepala Sekolah sambil men­do­rong kaca­matanya dengan gayanya yang khas. “Se­mua­nya baik-baik saja di rumah.”

“Aku senang mendengarnya. Tapi aku tahu pasti sulit bagimu karena ayahmu pergi.”

Meg mengamati Kepala Sekolah dengan waspada, kemu­dian menjilati garis kawat giginya yang berjeruji.

“Apakah ada kabar dari ayahmu akhir-akhir ini?”

Meg yakin bahwa hanya imajinasi yang membuatnya merasa bahwa di balik kepedulian Mr. Jenkins, ada sekilas rasa penasaran yang sangat. Pasti Mr. Jenkins ingin tahu! dia berpikir. Dan jika aku tahu sesuatu, dia adalah orang terakhir yang akan kuberi tahu. Yah, salah satu orang terakhir.

Wanita penjaga kantor pos pasti tahu bahwa hampir se­tahun berlalu sejak surat terakhir ayahnya tiba, dan hanya Tuhan yang tahu berapa banyak orang yang akan menda­patkan informasi tersebut darinya, atau prasangka-prasangka bu­ruk yang akan terlintas di benak wanita itu karena tidak ada lagi surat yang datang untuk waktu yang lama.

Mr. Jenkins menunggu jawaban, tapi Meg hanya meng­angkat bahu.

“Jadi, apa pekerjaan ayahmu?” Mr. Jenkins bertanya. “Se­macam ilmuwan, bukan?”

“Dia fisikawan.” Meg menyeringai dan menam­pakkan dua baris kawat giginya yang mengerikan.

“Meg, tidakkah kau pikir kau akan lebih mampu me­nyesuaikan diri dengan kehidupan jika kau menerima kenya­taan?”

“Saya sudah menerima kenyataan,” Meg menyahut. “Itu lebih mudah dihadapi daripada menghadapi orang-orang, asal Anda tahu saja.”

“Kalau begitu, kenapa kau tidak menghadapi kenyataan tentang ayahmu?”

“Jangan kaitkan ayahku dengan ini!” Meg berteriak.

“Berhentilah berteriak,” ucap Mr. Jenkins ta­jam. “Apa­kah kau ingin seisi sekolah mendengarmu?”

“Memangnya kenapa?” Meg menantang. “Aku tidak malu dengan perkataanku. Apakah Anda malu?”

Mr. Jenkins mendesah. “Apakah kau suka menjadi anak paling bandel dan tidak kooperatif di sekolah?”

Meg mengabaikan ini. Dia bersandar di meja, memi­ring­kan tubuh ke arah Kepala Sekolah. “Mr. Jenkins, Anda telah bertemu ibu saya, bukan? Anda tidak bisa menuduhnya me­nolak kenyataan, bukan? Dia seorang ilmu­wan. Dia memiliki gelar doktor dalam bidang biologi dan bakteriologi. Pekerja­an­nya adalah hal yang nyata. Kalau dia bilang ayah saya ti­dak akan pulang, saya akan memercayainya. Dan kalau dia bilang ayah saya akan pulang, saya juga akan percaya.”

Mr. Jenkins kembali mendesah. “Tidak diragukan lagi ibu­mu ingin percaya bahwa ayahmu akan pulang, Meg. Baik­lah, aku tidak dapat melakukan apa-apa lagi terhadapmu. Kem­balilah ke kelas. Cobalah untuk sedikit me­ngu­rangi sifat antagonismu. Mungkin semuanya akan mem­baik kalau keseluruhan sikapmu lebih terkendali.”

Saat Meg pulang dari sekolah, ibunya berada di labo­rato­rium, si kembar sedang mengikuti Liga Kecil, se­mentara Charles Wallace, si kucing kecil, dan Fortinbras menunggu­nya. Fortinbras melompat, meletakkan dua kaki depannya di bahu Meg, lalu memberikan sebuah kecupan. Si kucing kecil berjalan cepat ke pisin yang kosong dan mengeong keras.

“Ayolah,” Charles Wallace berkata. “Kita pergi.”

“Ke mana?” Meg bertanya. “Aku lapar, Charles. Aku ti­­­dak ingin pergi ke mana-mana sampai aku makan se­suatu.” Dia masih merasa kesal karena percakapannya de­ngan Mr. Jenkins, dan suaranya terdengar marah. Charles Wallace me­natapnya dengan saksama saat dia pergi ke lemari es dan memberi si kucing kecil sedikit susu, kemudian dia sendiri menenggak satu cangkir penuh susu.

Lihat selengkapnya