“Hengset? Apa itu hengset?” Wakil Ka Regu melirik Revan dan April secara bergantian.
Dia merasa sangat penasaran sekali, akan keterlibatan kapten tim pemadam kebakarannya yang diketahui terkesan kurang berinteraksi dengan seorang wanita itu, bisa mendapati tangannya dicekal lumayan lama.
“Headset," balas teman April mewakili, menjawab rasa penasaran sang wakil Ka Regu. “Sebenarnya itu adalah earphone. Cuma, April sering memanggilnya demikian.”
“Oh~? Kenapa memang dengan earphone miliknya?” Tanya wakil Ka Regu itu sekali lagi, namun, kali ini pandangannya benar-benar fokus kepada Revan seorang.
“Aku tak sengaja menghancurkan earphone miliknya. Sudah pasti, aku harus menggantinya, kan?"
Kepada Revan yang dengan hati-hati melepas cekalan tangan April dari kain seragam bagian lengannya, lalu meraba-raba dirinya sendiri seperti sedang mencari sesuatu.
“Agis. Kau ….”
“Kenapa, Rev?”
“Apa kau bawa ponsel? Sepertinya punyaku ketinggalan di asrama.”
“Ada, bentar.”
Wakil Ka Regu cepat-cepat menggeledah dirinya sendiri seperti Revan tadi.
Tak lama kemudian, ia segera mengeluarkan benda elektronik berbentuk pipih, dan langsung menunjukkannya pada sang Ka Regu.
Bukannya diambil, Revan malah menyuruhkan hal lain.
“Tolong catatkan nomor teleponnya untukku,” tukasnya enteng, seraya menyelonong pergi mendekati pintu. “Aku akan menghubunginya saat mau mengembalikan ganti rugi itu. Terima kasih “
Dia langsung keluar segera setelah berkata demikian.
Meninggalkan wakil Ka Regu yang dihadapkan dengan situasi penuh kecanggungan.
“Ekhem, nomor teleponnya, Neng.”
Wakil Ka Regu, Agisna Haris, menyodorkan ponsel yang sudah diarahkan ke aplikasi tombol pembuat kontak baru, kepada April.
Yang dipintai nomor, Aprilia Putri Utari, cepat-cepat menyambar ponselnya yang ia taruh di nakas samping ranjang, dan kembali menghampiri si petugas kebakaran.
“Loh! Loh!”
Namun, malang tak disangka, ponselnya tak bisa dinyalakan.
“Arghh! Jangan sekarang!!”
“Kenapa Neng?”
“Baterai ponselnya habis.”
“Waduh! Anda ingat nomornya tidak?”
April mengerutkan keningnya kesal dan bibirnya dibuat maju sedikit, sehingga membuatnya terlihat cemberut.
“Tidak,” jawab April lemah, seraya menggelengkan kepalanya dengan lesu.
“Yah, bagaimana dong?”
Perhatian wakil Ka Regu mulai beralih.
Secara perlahan, manik matanya melirik si gadis berambut sependek bahu yang tersenyum kaku, saat mereka berdua bertatapan kembali itu.
“Neng, Anda ingat nomor temannya ini, tidak?”
“S-saya tidak tahu. Ponsel Saya juga sedang diisi dayanya di sana, karena baterai ponselnya benar-benar habis.”
“Ah.”
Sekarang apa?
Wakil Ka Regu tidak tahu harus berbuat apa, selain menampilkan senyuman yang benar-benar canggung.
Haruskah ia mengejar kepergian kepala regu yang tega meninggalkannya sendirian di sini, dan memberitahukan kalau permintaan nomor telepon tersebut tidak berjalan dengan lancar?
“Tetapi ….”
GREP!
“…!”
Sungguh mengagetkan.
Wakil Ka Regu yang di beberapa saat lalu merasa tak bersemangat karena tugas tambahan dari sang ketua tak berjalan secara lancar itu, kini terbelalak.
“… Saya ingat nomor ini.”
Dia dibuat terkejut oleh si gadis berambut pendek yang tiba-tiba mengambil sodoran ponselnya, menggerakkan jari-jemarinya yang lentik secara lihai tuk menekan-nekan tombol angka, lalu mengembalikan ponsel tersebut kembali kepadanya secara aman.
“…!”
Dilihatnya dengan lamat-lamat akan nomor yang baru saja didapatinya itu.
“Itu nomor Saya.”
Sintia Aresti.
Nama yang dibubuhkan pada nomor tersebut.