“Diri kamu sendiri bahagia?” Tanya Eila.
Pertanyaan mudah. Bahagia merupakan keadaan atau perasaan senang dan tenteram, bebas dari segala yang menyusahkan. Siapa saja mampu menjawab ‘Ya, saya bahagia’. Namun berbeda dengan gadis pencinta basket ini, ketika dia hendak membuka mulut untuk menjawab, seketika lidahnya kelu.
Tersentak, Aalok tidak bisa menentukan perasaan apa yang ada dipikiran maupun hatinya. Ada rasa senang di sana, tetapi bukan berarti tidak ada kesusahan di dalamnya. Kita akan bahagia ketika memetik bunga mawar namun tangan kita akan terkena duri tajam bukan?
Aalok berusaha menguasai dirinya lagi, dia melengkungkan bibir untuk menyegarkan pikirannya sendiri.
“I’m happy when the others too. Nothing would please me more.”
Aalok tidak berbohong, dia akan bahagia jika orang lain bahagia, apalagi karena dirinya. Hidup yang singkat ini harus dibuat berkesan dengan melakukan yang terbaik tanpa harus menilik susah dukanya.
Aalok mengafirmasi sendiri pikirannya, dia mengangguk mantap.
"Then, get the point." Lanjut Aalok. "Aku mau klarifikasi tuduhanmu tadi."
"Wait!" Eila melotot, "tuduhanku? Yang mana?"
"Yang dari tadi kamu omongin."
"Itu bukan tuduhan ya, Aalok. Itu berdasar. Fakta tentang kamu." Eila tak habis pikir, ternyata Aalok tidak satu frekuensi dengannya, sahabatnya itu belum menangkap maknanya.
"Aalok, aku bicara kayak tadi itu demi kebaikan kamu. Aku mengingatkan, aku-"
"Stop. Listen to me" Aalok segera memotong. "Sekarang, biarin aku jelaskan dulu."
Eila mengangguk.
"Semua orang berhak untuk segala kesempatan. Semua orang berhak melakukan apapun. Di dunia ini kita gak bisa menghindari kompetisi, right? Aku melakukan apa yang aku mampu dan orang lain pun begitu. Jika ada orang yang berpikir seperti yang kamu katakan tadi, mereka hanya membual alasan bodoh." Aalok melirik Eila, ekspresinya datar, tandanya Eila sebentar lagi akan menyetujui apa yang Aalok katakan.
"C'mon, hidupku hidupku, hidupmu hidupmu. Dan this world is yours."
Eila mengerjapkan mata, lalu meneguk tandas minumannya. Dalam hatinya dia bertepuk tangan untuk Aalok. Namun satu sisinya berkata lain. Ada hal yang keliru, ingin rasanya Eila menyuarakan.
Tidak. Aku belum mampu.
Aalok mengecek jam tangannya, “Hampir jam satu. Yuk balik ke kelas. Kamala mungkin udah ke kelas kali ya.” Tanpa menunggu persetujuan gadis berambut coklat itu, Aalok langsung melenggang pergi.
“Aalok, tungguin!” Eila berlari menyusul.