Sepulang sekolah, Aalok dan Eila menemani Kamala mampir ke toko bunga. Kamala harus membeli bunga titipan mamahnya. Mereka masing-masing membawa motor. Sesampainya di toko bunga, Aalok terpikat kepada seikat bunga carnation atau dikenal dengan bunga anyelir. Sejak zaman dulu, macam-macam bunga sering dijadikan simbol untuk melambangkan ungkapan perasaan. Sama halnya dengan bunga anyelir ini, namun hati-hati dalam memberikan bunga para dewa ini kepada seseorang. Setiap warna dan coraknya memiliki arti yang berbeda.
Aalok mengambil satu tangkai anyelir kuning. Manik cokelat terangnya menatap lekat bunga di tangannya. Sama indahnya dengan warna bunga lain, namun mengapa dengan warna kuning terang yang menyala ini memiliki makna penuh emosi dan kebencian? sangat bertolak belakang. Dalam hati Aalok menyerukan ketidaksetujuan. Baginya setiap bunga memiliki makna indah yang terdalam. Penuh cinta dan kasih sayang. Pun jika anyelir yang dia genggam sekarang memiliki arti kebencian bukankah akan tetap indah jika disatukan dengan warna dan corak lainnya? Bukankah itu makna sesungguhnya? Hidup tidak serta merta hanya ada cinta. Di dalamnya terdapat kebencian dan bahkan penolakan.
Tarikan Eila membuyarkan lamunan Aalok.
“Kamala pasti lama. Kita tunggu di kedai milkshake depan, yuk.”
Sembari menunggu Kamala, mereka memesan minuman dan mengobrol apapun yang terlintas dipikiran mereka.
“Aa, beneran minggu depan lo tanding sama timnya Birendra?” Tanya Eila. Aalok mengangguk.
Eila terlihat berpikir terlebih dahulu, seperti ragu akan mengatakan sesuatu. “Gue agak sanksi sama Birendra.” Ucapnya dengan raut wajah serius.
Aalok mengangkat alisnya, “kenapa gitu?” Tanya Aalok heran.
“Aalok, lo percaya sama feeling?”
Sebelum menjawab, cewek maniak basket itu menyeruput tandas minuman tiramisunya. Aalok menggeleng tipis, “kalo ada data dasarnya, mungkin bisa gue terima.”
Eila tersenyum dengan menekan giginya. Beda memang ngobrol sama calon profesor.