Abadi Dalam Tulisan

Pena Akara
Chapter #1

Tentang Setelahnya

Oktober 2019

Rasa sebuah kehilangan adalah sepenggal kisah yang terekam nyata dalam ingatan. Jatuhnya kita ketika tak ada lagi yang bisa diartikan sebagai kenangan. Sedang aku hanya menyanggupi untuk terus belajar menjalani hari ini, esok, dan seterusnya. Sampai musim benar-benar menghapus segala cerita cinta yang pernah ada dalam sejarah kita. Hari memang terus memberikan warna baru. Namun, tidak seperti waktu bulan-bulan sebelumnya. Sedangkan yang sebenarnya kucari. Kini pergi meninggalkan jejak luka mendalam.

Dari puncak Bukit Kejora, angin bernyanyi seperti yang sering kali kudengar. Senyuman di bibirnya serupa bunga mawar yang tanganku penting menikmati harum pagi hari ketika bersama tubuhnya. Keindahan yang paling dinantikan oleh kedua mata yang memandang dari kejauhan. Tentang semua yang ada pada jiwanya!

Waktu telah mengubah ingatan itu, menjadi kumpulan filosofi kesedihan. Ada yang menggantung tinggi di galaksi, tak mampu kugapai. Membeku di kedalaman palung khatulistiwa. Menekan harap hingga tak mampu bernapas.

Agar saling mengobati hati yang terpaksa mati, semua seperti dua sisi yang harus disatukan kembali. Sementara kaki tak selamanya tegar, serupa pohon yang menua melepaskan ranting dan daun seiring masa.

Arunika yang lugas melukiskan warna di angkasa, seakan menjelaskan bahwa seisi dunia sedang jatuh cinta kepadanya. Hingga senja cemburu dengan gerak matanya yang mengamitkan sirat berbagai sisi, seakan nyala api mengobarkan asmara dua hati. Namun yang sebenarnya terjadi adalah, kita tak lagi bersama-sama.

Entah semesta sedang membenciku, atau tengah menguji diriku. Tapi percuma saja jika logika tidak lagi membersamai jiwa.

“Cinta ini seperti melahap warasku. Setelah hati dibawa pergi dengan ribuan rintik hujan musim semi. Kenangan itu membuatku seakan mati!” lirihku, menatap lurus kawasan Pangkal Pinang dari puncak Bukit Kejora.

“Mas … jangan menyalahkan cinta. Dia terkadang membuat kita memahami banyak pelajaran dari semua kejadian. Hati kita akan kuat, tergantung bagaimana diri menerimanya dengan lapang.”

Mataku menoleh ke arah sumber suara yang memperlihatkan wajah cantik seperti ketika matahari terbit.

“Kamu mengutip dari buku, siapa?” tanyaku bernada datar.

Dia mengubah posisi duduknya menghadap ke arahku. “Mas … tak selamanya aku berpikir seperti anak-anak. Ada masanya aku tumbuh menjadi pribadi yang dewasa, untuk diri sendiri. Mas, dulu sering mengatakan kata-kata bijak menyentuh hatiku dengan lembut. Ada perasaan menenangkan, juga kekaguman pada kalimat-kalimat yang selalu, Mas Nara ucapkan!”

Pikiranku tidak sedewasa yang dia katakan, atau bijak seperti yang dia senandungkan. Aku hanya berkata apa yang menurutku realistis.

Netra Najmi menelusuri lekuk wajahku, “Mas, itu tampan. Kulit sedikit putih; bola mata hitam; rambut lurus; alis sedikit tebal dan punya karisma yang cukup menarik untuk lelaki umur 23 tahun. Sayangnya, sudah jadi manusia dari Antartika.”

“Mas, tahu kalau tampan,” ujarku membanggakan diri.

“Idih ... sejak kapan, Mas suka memuji diri sendiri?” ejeknya seraya tertawa.

“Sejak kamu menjadi bijak,” kelakarku ikut tertawa mengiringi senyum manisnya yang menenangkan jiwa.

“Itu sudah takdir, Mas!” ucap Najmi dengan helaan napas, membuatku terdiam tanpa suara.

Imajinasiku melambung tinggi, menembus ruang bernama takdir menguasai sistem kinerja saraf motorik disekujur diri. Jiwa yang kehilangan akal sehat saat dada terluka hebat. Bahkan mematikan hati untuk waktu yang sangat lama.

Langit seketika muram. Angin pagi yang membawa udara dingin menyelinap ke dalam sum-sum tulang, menembus ulu hati, hingga membuat sesak begitu nyeri. Sangkala merangkak cepat dari semestinya, menelusuri jam dipergelangan tanganku.

Tak berapa lama aku terdiam, kedua sahabatku tengah berjalan menghampiriku yang duduk bersama Najmi. Mereka tiba di dekatku dengan dibanjiri keringat bening yang mengaliri wajahnya.

“Gue kira lu sendirian … ternyata sama malaikat satu ini. Syukurlah, lu baik-baik aja. Tadi gue mikir lu mau bunuh diri gara-gara Rainjani.” Sandi memperlihatkan rasa khawatir stadium satu.

“Rainjani?” aku keheranan menatap Sandi.

“Apa hubungannya dengan Rainjan, sampai kalian datang ke sini?” lanjutku bertanya.

“Iya, ini tentang Rainjani. Mungkin, kamu akan sedikit terkejut atau biasa saja,” ujar Alki.

Aku menghela napas, “Apa yang ingin kalian ceritakan tentang perempuan itu?” tanyaku dengan suara berat. “Sudah cukup telinga mendengar namanya. Aku ingin menata hidup setelah kepergian dia. Teramat sakit menjalani hari-hari tanpa kabar, atau penjelasan mengapa dirinya pergi!”

Alki mengelus pundakku, “Tapi, Nar ….”

“Buat apa lagi, Al? Sudah cukup, kepergian Rainjani membuat kehidupanku hancur!” raungku, dengan amarah tak dapat lagi diredam oleh sejuknya angin Bukit Kejora.

“Nara … lu harus mendengar kebenarannya!” Sandi menegaskan dengan suara yang dikeraskan.

“Kebenaran apa lagi, San, Al?” tanyaku bernada lebih tinggi. Hatiku membara ketika mengingat nama perempuan itu. Aku tidak tertarik membahasnya lagi.

Alki terdengar menarik napas panjang diikuti Sandi. Alki yang tadi menatap wajahku, kini ia mengalihkan pandangan lurus ke arah sang surya yang merekah naik.

“Nar, aku tahu sakit hati yang kamu rasakan. Namun, akan lebih menyakitkan seandainya kamu terlambat mengetahui kebenarannya. Tapi kalau kamu memang sudah tidak ingin mengingat dan mendengar tentang Rainjani lagi, tidak apa.” Alki menjelaskan dengan suara yang sedikit melunak, seraya mengelus pundakku dengan tangannya.

Aku meredam gemuruh emosi, “Apa yang tidak aku ketahui. Tolong jelaskan!”

Lihat selengkapnya