1
PROLOG
1994
Keringat dingin membasahi keningku. Air mata tidak lagi bisa dibendung. Luapan airnya mengucur ke pipi hingga ke mulut. Badanku gemetar bukan main. Saat itu bel sekolah sudah berbunyi. Murid-murid lain sudah berbondong-bondong keluar ruangan kelas memanggul tas ransel mereka dengan langkah yang cepat serta bibir penuh dengan senyuman. Di luar ada orang tua-orang tua mereka yang menyambut mereka dengan tangan yang terentang dan terbuka lebar. Memberikan pelukan hangat penuh cinta seakan-akan ingin mengatakan kepada semua anak mereka kalau mereka sudah berjuang yang terbaik dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
Aku sendiri menggigil kedinginan di dalam ruang kelasku. Angin semilir yang masuk melewati dinding ruang kelasku, yang separuhnya terbuka, membuat tubuhku bergidik. Bulu roma di leherku tidak berhenti berdiri. Seorang teman datang mendekatiku. Namanya Rudi. Dia memang yang paling perhatian denganku. Sudah tiga tahun kami berteman semenjak TK besar. Dia selalu membantuku di saat aku menemui kesulitan. Badannya yang lebih tegap dan tenaganya yang lebih kokoh selalu bisa menenangkanku di saat aku merasa sendiri dan terpojok. Namun hari ini berbeda..
Ucapan lembutnya serta tepukan hangatnya di pundakku tidak mampu mengusir ketakutan yang sudah menumpuk begitu tinggi. Tidak mampu menyingkirkan imaji-imaji tentang rasa sakit yang mendahului apa yang sebenarnya belum terjadi.
“Kok kamu gak pulang, Abimayu?” Katanya memecah keheningan.
Aku hanya bisa diam, tak mampu berkata sedikitpun karena sedari tadi mulutku gemetaran.
Rudi diam-diam melongok keluar.