3
Aku dan istri, Ambar, berpelukkan sambil berpengangan tangan di atas kasur kami yang sedikit amblas. Aku merasa setiap detiknya, kasur ini akan menghisap kami berdua ke dalam lubang hitam raksasa. Dan memang benar begitu adanya, karena semakin lama kami berada di atas kasur ini, semakin kami tidak bisa mengusir kesedihan kami sendiri.
Tangan Ambar sesekali gemetaran dan ketika itu terjadi, air matanya akan kembali deras mengucur dari matanya. Aku pun akan ikut menangis karena pikiranku dipenuhi dengan berbagai macam hal mulai dari kekhawatiran, ketakutan, kebingungan, serta kemarahan.
Lagipula siapa yang tidak khawatir jika anak kami nanti akan hidup dalam ketidakmandirian? Siapa yang tidak takut dengan apa yang terjadi dengan dirinya kelak, apalagi ketika dia tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain? Siapa yang tidak kebingungan memikirkan jalan-jalan apa saja yang mesti aku tempuh untuk menjadikan anakku NORMAL?
Lalu siapa yang tidak marah dengan keadaan yang aku alami sekarang? Ketika aku sendiri tidak mampu mengkomunikasikan apa yang ada di dalam kepalaku sekarang kepada orang lain dan menjadi orang yang tidak berguna. Sekarang anakku mengalami hal yang lebih parah. Kenapa Tuhan mengirimkan cobaan yang begitu besar di saat kedua kakiku saja belum bisa menapak dengan benar di bumi. Belum punya pondasi yang kuat.
“Sudah Ambar, sudah! Kita menangis pun percuma. Ini kan tidak akan menyelesaikan masalah kita!”
Aku berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan dirinya di dalam keadaan batin diriku sendiri yang sedang kacau. Dan itu tidak berhasil karena tangisannya semakin kencang.
“Bagaimana bisa tenang. Maaaas? Suaranya parau dan sesenggukan. “Anak kita nantiinyaaa gimanaaa?”