4
2023
Tahun berganti namun kesedihan itu sulit untuk berlalu begitu saja. Di antara aku dan istriku semuanya nampak baik-baik saja. Kami nampak tenang namun minim bertegur sapa, seolah-olah ada sekam yang diam-diam membara, begitu gambaran hubungan kami. Suatu saat api itu akan membara begitu hebat. Semua hanya tinggal menunggu waktu.
Kami hidup tanpa harapan. Tidak pernah terbersit dalam hidup kami untuk mempunyai momongan lagi. Seluruh energi dan konsentrasi kami terpusat hanya kepada Ganindra. Tidak jarang aku yang sering meluap-luap dengan amarah apalagi ketika depresiku mulai kambuh. Seluruh minat terhadap hidup langsung hilang seketika dihisap oleh mesin vakum raksasa. Menyesakkan!
“Kamu marah ya?” Tanyaku latah
Kata-kata yang baru saja kukeluarkan adalah kata-kata sakti yang bisa membuat orang yang tidak marah menjadi marah. Kata-kata yang keluar dari perasaan bersalah yang tersimpan begitu rapat di dalam benakku sendiri. Seringnya aku tidak menyadari kata-kata itu bisa keluar dari mulutku. Yang jelas pada saat pertanyaan ini bergulir, aku ingin afirmasi yang lebih positif tentang diriku namun kali ini aku tidak mendapatkannya. Ambar hanya diam.
“Sekolah Ganindra bagaimana?” Suaraku gemetar tidak mampu menutupi keresahan yang kurasakan.
Istriku kembali diam.
“Ganindra kan sudah hampir 4 tahun.”
Pertanyaanku tetap tak berbalas. Aku sadar pertanyaanku datang di waktu yang salah. Ketika kami berdua sama-sama lelah sehabis pulang bekerja.
Mungkin Ambar tidak mau menjawab karena dia pun takut emosinya bakal meluap begitu saja, seperti yang beberapa hari aku lakukan kepada anakku.