Abi di Dalam Botol

Yoseph Setiawan Cahyadi
Chapter #5

Elevator Pitch

“Pluuuushhhh” Bunyi suara kloset ketika mendorong apa yang ada di dalamnya masuk ke lubang dan tak pernah muncul lagi. Mungkin itu harapan semua orang, karena tidak ada orang yang ingin melihat sampah orang lain.

Sudah tiga kali aku memencet tombol flush itu. Perutku mendadak mulas. Akhir-akhir ini jika kegugupanku sudah mencapai titik nadir, perutku akan memberontak seolah memperingatkan aku untuk meredakan kecemasanku sendiri.

Sudah dua puluh tahun lebih aku hidup dengan penyakit maagku. Dulu aku rajin mengkonsumsi minuman energi yang rasanya masam serta saos tomat untuk cocolan ayam goreng, makanya penyakit ini datang menghampiri hidupku.

Tidak seperti kloset yang bisa menghilangkan segala sesuatu dalam sekejap dan tidak pernah kembali, aku tidak mampu menghilangkan penyakit lambung ini dan membuatnya tak pernah kembali lagi. Maag adalah penyakit kambuhan yang baru-baru ini aku menyadari kalau pemicu terbesarnya bukan karena makanan melainkan lebih disebabkan oleh aspek psikologis seseorang.

Penjelasan ini seolah memberikan pencerahan kepada diriku yang selama ini kebingungan mengapa di usiaku yang baru berusia 13 tahun, aku sudah terkena penyakit lambung seperti ini.

Setelah merasa enakan, aku memantapkan hati untuk keluar dari toilet untuk kembali menunggu di ruang tamu. Pikiranku kembali bergejolak walau seluruh isi perutku sudah kukeluarkan tadi. Rangkaian kegagalan demi kegagalan yang terekam di kepalaku kembali dipertunjukkan layaknya menampilkan sebuah film di gedung bioskop. Hanya saja ini bukan film yang siapapun ingin tonton. Hey, ini tidak seperti yang dulu. Hanya ada produser di sini dan bukan puluhan mata orang lain! Aku meyakinkan diriku terus menerus.

Aku sudah membuat janji pertemuan dengan produser keturunan India yang cukup terkenal karena membuat berbagai film-film popular yang ditonton oleh banyak orang. Produser-produser semacam ini biasanya akan lebih terbuka terhadap ide-ide baru dan hal inilah yang aku manfaatkan. Kalau boleh jujur, aku begitu mengidolakan dirinya sejak beberapa tahun ini. Kontrol yang dia miliki atas kreativitas di dalam produksinya luar biasa. Selalu percaya diri dalam mengkomunikasikan gagasan secara verbal dan sangat unggul di bidangnya. Dia seperti antitesis dari keadaanku sekarang ini. Dia begitu sempurna!

Dia juga seorang penulis skenario. Memulai bisnis rumah produksinya sejak nol. Dia cukup idealis dengan karya yang dia tulis. Bergeliat dalam ruang sempit yang diberikan oleh para produsernya dulu namun tetap mampu menelurkan karya yang baik. Itulah yang membuat aku yakin dia bisa memahami apa yang aku tulis di skenarioku. Dia pasti mampu mencerna keresahan yang kubawa di sana.

Andai aku bisa seperti dia.

Aku melirik ke jam tanganku dan rupanya, waktu sudah lebih dua menit dari yang dijanjikan. Aku setengah berlari menuju ruang tamu dan mendapati muka sekretaris yang sedikit kecewa dan pintu ruang produser yang sudah sedikit terbuka.

Dari bahasa tubuhnya aku mengerti kalau produser sudah meninggalkan sehingga aku buru-buru menuju elevator.

Lihat selengkapnya