6
“Kalau gak suka di sini, kamu keluar aja dari rumah! Makan tiap hari gratis. Minum gak pernah beli. Tidur enak di kasur!” Tegas mamaku ketika meluapkan segala emosinya yang membuat hatiku merasa sakit.
Aku ingat tahun itu. Tahun 2004. Pada saat itu aku sudah duduk di bangku SMA dan sebentar lagi akan lulus sekolah. Aku marah karena aku selalu saja dimaki dan dipersalahkan atas hal yang menurutku tidak kuperbuat. Dan jawaban yang di atas yang aku terima dari setiap riak perlawanan yang aku buat.
Aku benci mamaku. Aku sangat benci dia! Ketika kata-katanya kembali terngiang di benakku, hanya ada kemarahan yang membuncah di dalam dada.
Tanganku mengepal apalagi ketika melihat sosok yang sudah tua di depanku dari kejauhan. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri kalau aku tidak akan menginjak lagi ke rumah orang yang sudah mengusir aku dan membuatku seperti seonggok sampah.
Terkadang pikiranku selalu mengandaikan hal yang tidak perlu. Andai dulu mamaku tidak mengatakan hal-hal kejam semacam itu. Andai dulu dia tidak mencubiti dan memukuli aku. Semua pengandaian ini seolah-olah menjadi penawar dari amarah yang bergejolak dalam diriku. Dan karena itu tidak pernah terjadi, kemarahan ini menjadi semakin tak terbendung. Tidak heran setelah bertahun-tahun aku pergi dari rumahnya, rasa sakit ini tetap melekat di hatiku, luka ini tidak pernah benar-benar sembuh dan selalu menganga apalagi ketika melihat wajahnya.
Aku mengamati gerak langkahnya dari balik pohon jambu seperti anak kecil yang ketakutan ketika melihat harimau yang siap menerkam. Aku sadar di balik setiap kemarahanku kepadanya, ada rasa ketidakberdayaan yang menyelinap di relung hatiku yang terdalam. Trauma masa kecil yang aku rasakan membuatku merasa inferior di hadapan mamaku sendiri dan sebaliknya merasa superior di depan anakku sendiri. Hal yang sama mungkin mamaku rasakan ketika muda dulu.
Setelah puas mengepalkan tangan dan meninju angin karena tidak bisa melakukan apa-apa, aku memutuskan untuk pergi menjauh.
Di dalam perjalanan pulang dengan motorku, aku menemukan sebuah taman yang tertata dengan indah, yang terletak di daerah Pluit. Dengan pohon rindangnya yang mengelilingi taman tersebut memberikan kesan teduh dan syahdu.
Aku memarkirkan motorku di salah satu sisi taman dan kemudian duduk di sebuah bangku panjang yang tersedia di sana.
Aku berandai-andai jika aku menemukan taman seperti ini dulu, mungkin hidupku akan lebih baik dan tidak seberantakan sekarang. Andai saja aku tidak memiliki trauma ini.
Pikiranku kemudian mengembara ke pertemuanku dengan Pak Sunil yang berlangsung sebulan yang lalu. Janji dua minggu yang dia utarakan, tidak pernah terpenuhi. Beberapa pesan yang aku kirim lewat ponselku hanya sekadar dibaca. Belakangan dia mengubah settingan di aplikasi pengirim pesannya sehingga aku tidak bisa mengetahui apakah pesan-pesan yang beberapa hari aku kirim sudah dibaca atau tidak. Sebuah langkah yang dilakukan oleh orang yang super sibuk yang tidak ingin pikirannya yang penuh direcoki oleh hal lain. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang-orang yang tidak jelas kesibukannya apa, namun sering memberi harapan palsu.
Namun melihat taman ini, membuat pikiranku kembali ke masa kini. Taman ini memberikan ruang yang cukup bagiku untuk menghirup nafas dan untuk rehat sejenak dari kekhawatiran yang perlahan membunuhku.
Saking nikmatnya pemandangan dan udara yang ada di taman ini, aku melupakan seorang nenek yang duduk di sampingku. Nenek yang menaruh kedua tangannya di atas tongkat itu, nampak melakukan hal yang sama denganku. Menikmati pemandangan taman yang begitu indah sambil sesekali mencuri lebih banyak oksigen dari biasanya.
Wajah nenek ini seperti tidak asing. Rasa-rasanya aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat, entah di mana.
“Nenek tinggal di sini?” Aku tergelitik untuk bertanya.
Nenek ini menoleh kepadaku dan menyunggingkan senyuman yang lebar di bibirnya.
“Bukan. Nenek ndak tinggal sendiri. Nenek cuman berkunjung ke rumah saudara di belakang. Rumah yang ada pohon jambunya.” Suaranya nampak lemah dan sedikit bergetar. Aku bisa menebak usianya sudah hampir 80 tahun
“Oh.. Memang asal nenek dari mana?” Aku semakin penasaran, walaupun dari logat bicaranya aku bisa menebak kalau dia berasal dari Jawa Timur.
“Nenek dari Malang nak!”
Bingo! Tebakanku benar.