Hanya ada dua jenis orang di dunia ini menurut mamaku. Orang yang berhasil, yang selalu duduk di barisan paling depan dan yang satu lagi adalah orang-orang yang gagal yang selalu menjadi yang paling belakang. Hal itulah yang selalu ditanamkan dalam diriku sejak kecil. Jiwa berkompetisi sudah ada di dalam diriku sejak saat itu.
Aku jadi ingat ketika mamaku membangunkan aku pagi-pagi di hari Minggu yang sebenarnya bisa kuhabiskan dengan rebahan di kasur. Waktu baru menunjukkan pukul 4.30 pagi, tapi tangannya dengan cekatan menepuk pantatku dengan sedikit keras. Cukup keras untuk bisa menarik aku keluar dari alam mimpi, tempat aku bersembunyi dari realitas yang kejam.
Dia lalu menggebah-gebah aku seperti ayam untuk segera mandi dan mengganti baju agar tidak hanya terlihat rapi, tapi terlihat sempurna dari luar. Tak bercela. Tujuan kita pagi itu hanya satu. Gereja. Waktu itu aku tidak mengerti kenapa kami harus bangun begitu pagi padahal misa baru dimulai pukul 6 pagi.
Tapi setelah sampai di sana, aku baru menyadari apa yang sebenarnya mamaku tuju. Bangku paling depan di gereja. Di barisan paling depan biasanya pastur akan memberikan berkat secara khusus. Selain itu berada di kursi paling depan memberikan kebanggaan tersendiri untuk mamaku. Orang-orang akan memujinya dengan sebutan rajin dan tentu saja itu akan membuat bibirnya berseri-seri. Sedangkan aku, harus menahan kantuk, bahkan seringkali gagal, ketika pastur sedang memberikan khotbah.
Aku memang terlahir cerdas. Aku mampu menghafal dengan cepat serta menghitung dengan cepat. Sebelum masuk kelas 1, aku sudah dipaksa oleh mamaku menghafal perkalian dan juga pembagian. Tidak lupa dia juga mengharuskan aku menghafal nama-nama presiden dari setiap negara beserta nama-nama Menteri di masa itu, yang tentu tidak ada gunanya di jaman sekarang karena sudah ada Mbah Google.
Di dalam hidupnya yang selalu merasa kalah, mamaku menjadikanku sebagai kuda pacunya. Dia akan senang jika nilaiku paling tinggi atau lebih tinggi dari para pesaingku, namun dia akan murka ketika nilaiku di bawah sainganku. Semakin besar aku menyadari kalau nilai bagus yang kudapat bukan untuk diriku, tetapi lebih untuk gengsi yang perlu dia jaga.